Selangkah demi selangkah aku menuju tubuh pria yang terkapar di depan bar. Matanya masih terbuka tapi ia tak sadarkan diri. Perlahan aku menggerakkan tanganku ingin memeriksa urat nadinya.
—kekasihnya penuh amarah membentakku, aku jadi tak bisa menyentuhnya. Linang air mata seorang gadis adalah bukti kecintaannya pada kekasihnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada pria itu?
Jika ada yang harus disalahkan—bukankah kekasihnya lebih mungkin untuk disalahkan? Karena mereka baru saja bertengkar! Tidak-tidak… itu adalah sudut pandangku, sesaat pria itu menyebutku sebagai kekasih barunya otomatis aku adalah orang ketiga dalam hubungan mereka.
Seluruh orang-orang di bar ini sudah memberiku label pelakor, pantas saja mereka menuduhku atas apa yang terjadi pada pria itu. Bahkan orang-orang meneriakkiku, dan berani melempariku telor busuk. Bukankah saat ini lebih penting menyelamatkan pria yang pingsan itu, kenapa mereka malah sibuk meluapkan emosi padaku? Yaa mungkin itulah sifat asli manusia—suka menghakimi orang lain.
Sepuluh menit kemudian, seseorang yang mengaku dari ekskul PMR datang untuk memeriksanya. Tubuhnya mengalami epilepsi, dia terkujur kaku. Para PMR langsung menyuntikkan serum untuk menstabilkan kondisi tubuhnya, lalu membawanya ke ruang medis.
Aku mulai muak dengan orang-orang di bar, sorot mata mereka masih menuduhku sebagai pelaku atas kejahatan pada pria itu. Bagaimana aku bisa membersihkan namaku, jika mendekat saja tak bisa. Aku menjernihkan pikiran pindah ke ruangan sebelah yang lebih sepi.
Ada satu hal yang selalu bisa mengembalikan mood-ku, lantas aku mengeluarkan earphone di kantong mencoba mengurai kabel-kabel yang terbelit, kurasa hanya musik yang mengerti diriku. Kusentuh tanda play pada Youtube, 'STAY' adalah lagu yang bisa membuatku tenggelam dalam lantunan nada. Aku lebih memilih memutar music video di kala sendiri, sambil menikmati lantunan lagu aku bisa menyaksikan empat orang gadis yang powerfull di stage memberikan semangat padaku untuk lebih berjuang menghadapi dunia. Mereka yang selalu energik dan terlihat berkilau, entah mengapa aku bisa ikut merasakan kebahagiaan yang mereka alami.
Sayangnya seseorang tak membiarkan aku larut lebih lama dalam musik, Dia adalah Obama—yaa murid dari kelas D, yang pernah membantuku saat magang. Dengan sopan ia berusaha menghiburku, dan meminta maaf atas perbuatan temannya. Bertele-tele dia mengbrolku topik yang kurang jela atau mungkin dia ini gugup bicara denganku? Yaa… kurasa harus tetap mendengar apa yang ia katakan, bagaimana pun dia mengambil andil dalam penangkapan bandar narkoba di pabrik kertas. Sepertinya dia juga mendapat lencana atas hasil kerja kerasnya—terlihat dari lencana yang menempel di blazernya.
Ocehan Obama akhirnya berhenti, bukan karena dia lelah berbicara atau aku yang menghentikannya. Hanya karena seorang pria tampan lewat di depan kami yang beradu mulut dengannya. Aku pernah sekali bertemu dengan orang ini, nampaknya dia anak kelas D sama seperti Obama.
"Waaahh… waaahh… waaahh… ternyata nona ini bukan hanya pelakor—tapi juga seorang latjur! Maukah kau kencan denganku?" kata orang tampan bermulut busuk yang memegang daguku
"tiiidaaakkk!!! Alice bukan orang seperti itu!" desis Obama yang membentak mencoba membelaku.
Tentu saja pria tampan itu tak terima dirinya dibentak orang kecil seperti Obama, dia merasa diremehkan. Langsung saja dia mengajak Obama berkelahi diawali menarik kerah Obama ke atas. Kupikir Obama akan melawan, ternyata ia malah memalingkan wajahnya. Obama, hanya seorang pecundang! Anak culun yang tak berani berkelahi, dia tak berani membalas lawannya—hingga tersungkur ke tanah. Merasa simpati—aku mencoba menghibur Obama.
"padahal kau tak perlu membelaku"
"gak papa… gak usah dipikirkan. aku hanya ingin melakukannya supaya terlihat keren di depanmu—malah babak belur begini hahaha…"
Untuk membalas tingkah sok kerennya itu aku mengantarnya ke ruang medis. Kurasa dia membutuhkan obat merah supaya luka bekas tonjokkan cepat kering. Sejak di ruang medis Obama tak mengucapkan sepatah kata pun, padahal sebelumnya dia mengoceh terus tanpa henti.
"dasar pelakor mau apa kau di sini?"
Sungguh sialnya diriku bertemu dengan gadis cerewet ini, aku lupa jika sepasang kekasih itu berada di ruang medis. Bahkan dia memarahiku atas luka pada wajah Obama. Aku tak membalas sepatah kata pun, usai mengenakan perban pada Obama aku meninggalkan ruangan itu. Sepertinya gadis ini lebih menyeramkan daripada pria tadi, bahkan Obama tak berani menyangkal kata-kata gadis itu.
Hari kian sore—menikmati senja dimakan laut adalah hal yang indah. Menyipitkan mataku dan tersenyum tenang aku terhipnotis. Serasa lupa alasan aku berada di sini, suara ombak yang terus menghantam kapal menjadi lantunan nada yang merdu dalam hatiku. Hingga petang pun datang bersamaan dengan suara teriakan yang memecahkan ketentraman hatiku. Suara itu berasal dari luar ruangan. Seseorang sepertinya jatuh dari kapal. Sungguh tindakan bodoh—entah apa yang dipikirkan mereka berada di luar ruangan, sudah sejak pagi keluar peringatan agar tidak menuju ke tepian kapal. Orang-orang mulai berkumpul ke pusat suara, anak yang berteriak itu melihat seseorang jatuh dari kapal mencoba memberi peringatan, namun sudah terlambat—kini mungkin ia sudah menjadi hidangan makan malam para hiu.
Untung saja bukan aku, yang di dekatnya. Bisa-bisa kesialanku bertambah parah—mogoknya kapal ini tak bisa dibiarkan lebih lama lagi, bisa jadi ada korban selanjutnya. Rasa penasaran membawaku untuk menyelidiki misteri dibalik mogoknya kapal.
Penyelidikan pun dimulai-aku memeriksa setiap ruangan dan sudut. Tak lupa ruangan mesin-seperti yang dikatakan staf kapal tak ada kerusakan mesin. Artinya tak ada kerusakan signifikan. Kemudian aku teringat saat Ringgo terjatuh, sepertinya kapal menabrak sesuatu—apa mungkin kita menabrak karang?
Cepat-cepat aku menuju ruangan bawah, dengan dugaan terjadi kebocoran. Jika benar hanya menunggu waktu hingga kapal ini tenggelam. Aku harap dugaanku ini salah, jika benar semua akan tamat di sini.
Lagi-lagi aku bertemu dengan Ringgo, dan kedua kalinya dia sudah berada dua langkah di depanku. Di dasar ia menaiki sekoci membawa gadis yang baru saja terjatuh tadi. Aku sedikit curiga kenapa gadis ini bisa jatuh dari kapal, apa seseorang mendorongnya? Atau mungkin dia terpeleset?
Jika memang benar begitu, orang ini pasti memanfaatkan situasi genting ini untuk melakukan sesuatu yang buruk. Dia pasti mengincar seseorang di kapal ini, tapi siapa? Aku mencoba menelusuri kembali ingatanku sejak awal menaiki kapal ini, mencari petunjuk yang saling berhubungan. Seketika kilat menyambar otakku—semuanya seperti terhubung. Mungkin besok orang itu akan menunjukkan dirinya, saat itulah aku akan menangkapnya.
Keesokan harinya,
Saat fajar menjemput kami bekerja sama untuk membuat kapal bergerak kembali. Satu per satu dari kami mulai keluar ruangan, berkelompok untuk mengusir para burung pemakan bangkai—ini adalah strategi pertama.
Kejadian yang langka terjadi semalam, kami telah melakukan musyawarah untuk pertama kalinya terdiri dari seluruh siswa kelas A sampai kelas D. Fenomena mengejutkan di sini adalah kelas sosial terwujud secara nyata. Anak dari kelas A secara penuh memegang kendalli dan mengarahkan berjalannnya musyawarah. Hasilnya kelas B bertugas mengusir burung pemakan bangkai, dan kelas C serta D yang bernasib malang harus terjun membetulkan kipas pendorong kapal yang rusak.
Pada akhirnya kelas C dan D yang mempertaruhkan nyawa menghadapi tantangan maut, semua peserta telah menyepakati hasil keputusan. Hanya ada 4 orang yang terjun ke air, dua orang perwakilan kelas D dan dua orang perwakilan kelas C. Dari kelas C adalah Leo dan Dav, sedangkan dari kelas D adalah Obama, dan pria tampan Oki. Tak kusangka Oki mau bekerjasama, padahal sejauh yang kulihat dia tipe orang yang sombong dan memiliki harga diri tinggi. Mungkinkah dia terlibat dengan sang pelaku?
Mereka berempat turun melalui tangga yang terbuat dari tali, menuju area belakang kapal. Leo yang sampai duluan segera mengetahui bahwa kipas pendorong tersangkut pada bangkai paus bungkuk. Sepertinya paus itu mati dan terombang-ambing di laut, hingga kipas pendorong menancap pada tubuhnya. Semua pertanyaan menjadi jelas, kenapa banyak hiu dan burung pemakan bangkai terus berada di sekitar kami—tapi bukanlah kami tujuan mereka. Tentu saja jasad ikan paus bisa menghentikan kapal ini seutuhnya, beda cerita jika hanya seekor hiu yang menancap pada kipas pendorong, pasti tubuhnya langsung tergerus oleh putaran kipas.
Aku jadi teringat awal naik kapal, pinggiran pantai begitu kotor. Dugaanku paus ini mati karena terlalu banyak memakan sampah. Melihat dari ukuran tubuhnya itu adalah paus yang masih muda. Buktinya tubuhnya tak cukup besar dibanding dengan kapal ini. Jika memang itu paus yang mati karena umur tua, pasti bangkainya akan sangat besar dan mudah dilihat.
Manusia memang makhluk rendahan, apa saja yang dilakukan dengan otaknya selalu merusak alam. Di belahan dunia manapun sudah menggembor-gemborkan pengurangan penggunaan plastik. Kampanye itu tidak lebih dari sekedar omong kosong, biarpun para pengguna plastik sudah sadar akan dampak yang ditimbulkan pada lingkungan. Jika pabrik-pabrik plastik di seluruh dunia masih beroperasi, apa yang kami lakukan menjadi percuma. Sama halnya seperti petani yang rajin menabur tapi tak pernah menuai.