Chereads / Ayah Tiriku Idolaku / Chapter 42 - Part 42 : Bang Kia

Chapter 42 - Part 42 : Bang Kia

''Bang Kia! ... Bang Leno!'' seru Oppo. Dia lari tergopoh menghampiri dua laki-laki berbadan tinggi besar di depan tenda itu.

''Hai, Po ...'' sahut Bang Kia singkat dengan melepas senyuman yang cukup manis. Sementara Bang Leno hanya tersenyum simpul tak kalah manisnya. Mereka berdua sama-sama ganteng. Sama-sama menarik. Berkulit eksotik. Jantan. Maskulin.

''Kok Abang bisa ada di sini?'' tanya Oppo heran.

''Ya, kebetulan kami sedang melintas di tempat ini, dan kami melihat ada sebuah tenda yang kukenali, ini tenda gue yang lo bawa, Po,'' jawab Bang Kia.

''Bohong!'' timpal Oppo, ''pasti disuruh nyusul sama Mamah, iya 'kan?'' tambahnya.

''Beneran, iya, 'kan Len?'' tadah Bang Kia seraya melirik laki-laki di sebelahnya.

''Yups!'' sahut Bang Leno membenarkan.

''Ah, gue gak percaya ... lo pasti disuruh Mamah untuk memata-matai kami ...''

''Ya udah, kalo lo tidak percaya, gue juga tidak memaksa!'' Bang Kia mengacak-ngacak rambut Oppo hingga berantakan. Namun Oppo malah terlihat kegirangan. Meringis tak jelas. __Aneh! Ucapku membatin.

''O, ya, Bang ... kenalin nih, teman Oppo, Vivo namanya ...'' ujar Oppo tiba-tiba setelah daritadi mengacuhkan keberadaanku.

Bang Kia dan Bang Lenovo serempak menatapku. Aku jadi tertunduk malu.

''Vivo ... kenalan tuh sama Abang gue ... galak tapi baik, sih ...'' Oppo menyentuh bahuku.

''Hahaha ...'' Bang Kia dan Bang Leno tertawa.

Dengan ragu dan malu-malu anjing, aku menyalami mereka berdua.

''O, jadi ini yang namanya Vivo,'' Bang Kia tampak manggut-manggut memperhatikan aku dengan seksama. Aku hanya melepas senyuman tipis.

''Kasep juga, ya ...'' puji Bang Leno yang membuatku makin tersipu.

''Iya, sweet boy ... manis pisan,'' sambung Bang Kia masih menatapku dengan sebegitu detailnya.

''Bang Kia, udah tau belum ... kalau dia ini anak tirinya, Bang Sam.'' Oppo merangkul bahuku.

''Ya, Abang juga baru tau sih ... mungkin kita pernah bertemu tapi waktu itu belum begitu ngeh. Kalau tidak salah lo pernah datang ke tempat gym bersama Sam, iya nggak?''

''I-iya, Bang.''

''Hahaha ... gue pikir lo brondongnya Si Sam. Ternyata anak tirinya.''

Aku melempar satu senyuman lagi. Senyuman kaku untuk menutupi kegugupanku. Untuk sekian lama, kami berempat terpaku. Saling memandang tanpa berbuat sesuatu. Hingga Advan dan Evcoss keluar dari tenda dan menemui kami.

''Wah, rame amat. Ada apa ini?'' celetuk Advan.

''Ada dua malaikat tak bersayap turun ke bumi. Anjriit ... ganteng-ganteng banget!'' pekik Evcoss melanjutkan.

''Hahaha ...'' Kami semua jadi tertawa.

''Evcoss ... ini tuh Abang gue, Dodol!'' Oppo menabok punggung Evcoss.

''O, pantesan ganteng!''

''Hahaha ...'' Kami tertawa lagi.

''Buruan sungkem!'' titah Oppo.

Kemudian Advan dan Evcoss pun bersalaman dengan Bang Kia serta Bang Leno. Mereka menyebutkan nama mereka masing-masing sambil berjabatan tangan. Layaknya perkenalan pada umumnya.

Setelah semua sudah saling mengenal. Selanjutnya kami menggelar tikar di depan tenda dan berkumpul untuk menikmati hidangan santap malam bersama-sama. Sungguh, kenikmatan yang tiada tara. Kami bisa makan di tempat terbuka. Di alam yang penuh daya pesona dan keindahan. Walaupun hanya dengan lauk yang seadanya tapi rasa nikmatnya benar-benar luar biasa. Alhamdulillah. Kami kenyang. Kami senang. Kami riang.

Usai makan Bang Kia dan Bang Leno pamitan. Entah, mereka mau kemana. Katanya sih mau mencari penginapan. Buat apa? You know-lah. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Aku tidak peduli. Aku tidak mau ikut campur urusan mereka. Walaupun aku tahu, apa yang terjadi di antara mereka. Namun aku tetap menutup mulutku dan menjaga rahasia mereka berdua dengan baik-baik.

Setelah kepergian dua makhluk rupawan itu, tinggallah kami berempat. Aku, Oppo, Advan dan Evcoss. Dan karena malam semakin larut serta udara yang dingin menjemput. Membuat kontol-kontol jadi mengkerut. Tanpa banyak tingkah akhirnya kami pun hanyut. Hanyut ke dalam dekapan selimut. Kami tidur lelap seperti empat ekor curut. Berhimpitan. Saling mendekap dan saling memeluk. Agar tercipta kehangatan yang absolut.

Kami tertidur pulas. Dininabobokan alam yang tak culas. Yang tak pernah mengharap budi balas. Hingga kami terbangun saat telinga kami mendengar suara kokokan ayam-ayam alas. Membangunkan pria-pria malas. Yang setiap isi celananya terdapat benda yang mengeras.

Ya ... Pagi itu kami terjaga dari dunia mimpi dalam keadaan ereksi yang frontal. Kontol-kontol kami ngaceng seperti tiang portal. Panas membara, seolah ingin memuntahkan cairan kental. Namun, kami masih sadar dan berakal. Kemudian untuk mengusir kehornian pagi yang nakal, kami langsung membuka baju dan menjeburkan diri ke dasar kolam. Kami mandi bersama.