Pagi baru menetas dari cangkangnya. Udara pun masih terasa dingin menusuk tulang. Kabut tipis bertebaran. Melukis alam desa yang masih perawan dari jamahan polutan. Dengan perasaan hati yang berkelakar. Seperti bunga melati yang baru mekar. Semerbak indah nan wangi menebar. Aku dan lelaki idolaku, Ayah Tiriku, Bang Sam pergi ke pasar.
Bersama motor kesayangannya, kami bergerak memecah dingin. Meluncur bagai angin. Menjelajahi jalanan basah karena hujan kemarin. Hati-hati tapi tangkas. Pandai berkelit saat nge-gas. Dia buas. Bringas. Seperti batuan cadas. Keras. Namun, tetap selaras dengan pemikirannya yang cerdas. Dialah Bang Sam. Lelaki berahang tegas yang penuh welas. Memberi kasih tanpa mengharap balas. Saat ia berpikiran waras. Tentunya. Karena terkadang ia menunjukkan sisi lain yang membuatku menahan napas. Waswas.

Setelah berjibaku dengan berbagai unsur alam. Menantang sengatan matahari. Menendang udara pagi. Menyapa makhluk-makhluk dengan wajah berseri. Aku dan Bang Sam akhirnya tiba di tempat interaksi penjual dan pembeli. Melakukan ijab qobul saat bertransaksi. Sesuai dengan harga yang telah disepakati. Hingga mengurangi rasa sakit hati. Akibat permainan harga yang kurang manusiawi.
Tanpa banyak berpikir, kami berdua langsung melenggang ke kios buah. Untuk berburu bahan-bahan pembuatan rujak. Nanas, bengkoang, ketimun, dan kawan-kawannya. Lengkaplah, dari buah yang rasanya manis, masam, asam, sepet dan sebagainya. Seperti nano-nano. Tak hanya membeli buah-buahan. Kami juga membeli bumbunya. Garam, terasi, cabe dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bang Sam menenteng dua keranjang belanjaan. Di tangan kanan dan kirinya. Aku juga. Dan ternyata belanja di pasar tradisonal itu sangat melelahkan. Berdesak-desakan dengan ratusan orang yang aromanya bermacam-macam. Harus pandai bernegosiasi. Harus sabar saat diserebot emak-emak. Dan harus kuat di suasana yang lembab, becek dan bau.
''Hehehe ...'' Bang Sam tersenyum menatapku dengan pandangan mata yang sayu. Aku tahu dia juga pasti lelah dan lesu. Wajah tampannya jadi tampak lusuh. Tertutup banyak peluh.
''Kenapa Abang menatapku seperti itu?''
''Karena kau lucu, Vo ...''
''Apanya yang lucu?''
''Ya ... lucu aja ... saya tidak menyangka kalau kau ternyata pintar berbelanja. Pandai tawar menawar, mahir berargumen dengan ibu-ibu penjual di pasar. Tidak sia-sia saya mengajak kamu.''
''Hehehe ... aku sering belanja bareng Ibu di pasar, Bang.''
''O, ya ... pantesan.''
''Iya, Bang ... hehehe ... tapi aku lelah, Bang ...'' gumanku sambil menyeka keringat yang mengucur di pelipisku dengan ujung lengan bajuku.
''Ya ... tenang aja, habis ini kita istirahat. Kita cari warung buat melepas lelah. Oke!''
''Oke!'' Aku menyunggingkan senyuman. Menunjukkan gigi-gigiku yang putih cemerlang. Seperti model iklan pasta gigi. Cling! Dan Bang Sam pun tergoda. Manja.
Usai meletakan barang-barang belanjaan di body motor. Aku dan Bang Sam berkelana mencari warung terdekat. Dan kami pun menemukan warung angkringan. Di sini kami memesan sepoci teh manis hangat dan gorengan tempe mendoan. __Uh ... nikmat tenan!
Puas menyantap hidangan di warung tersebut, kami pun cabut. Kemudian kami kembali ke motor dan bersiap-siap untuk ngebut. Kami pulang dengan memasang wajah imut. Tanpa cemberut ataupun keriput. Crut ah .... Tanpa membiarkan waktu yang berlarut-larut. Aku dan ayah tiriku ini, bergegas menghempas rasa takut. Berselancar di jalananan bebatuan yang berurut. Membuat badan berkedut-kedut. Serasa ingin kentut.
''Terima kasih, Vo ...'' ujar Bang Sam saat kami tiba di rumah.
''Kembali kasih,'' sahutku sembari memanggul barang-barang belanjaan itu dan membawanya ke ruang dapur.
''Vivo ... kalian sudah balik, Nak?'' sapa Ibu menyambutku.
''Iya, Bu ...'' sahutku sambil meletakan barang-barang belanjaan ini di tempat yang longgar.
''Gimana, capek, ya?'' tanya Ibu.
''Lumayan!'' jawab Bang Sam menyerobot dari depan. Aku hanya tersenyum tipis-tipis.
''Hehehe ...'' Ibu tersenyum lepas dan menghampiri Bang Sam. Dengan lembut beliau menyeka keringat yang mengucur deras di tubuh Bang Sam dengan sebuah kain handuk. Mesra. Penuh pengertian dan kasih sayang.

Aku hanya tercengang menatap kemesraan itu. Rona kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Saling menatap. Saling memanjakan. Saling memberikan kehangatan. Lewat senyuman dan pelukan. Aku turut senang. Apalagi melihat kondisi perut Ibu yang kian membuncit. Ada nyawa baru di sana. Jiwa baru yang suci tanpa dosa. Buah cinta mereka berdua.
''Lap keringatmu, Nak!'' Bang Sam melemparkan kain handuk itu ke arahku. Dan jatuh tepat di bahuku. Aku meraih handuk ini dan mulai menghapus bulir-bulir keringat yang membasahi tubuhku. Sendiri. Dengan telapak tangan ini. Ngenes. Terkadang aku iri. Namun aku segera membuang rasa iri ini.
''Vivo ... ada jus kesukaanmu di kulkas!'' pekik Ibu menyadarkan aku dari lamunan, ''Ibu membuatkan khusus untukmu!'' lanjutnya.
''O, ya? Benarkah?''
''Iya, Sayang!''
Aku berlari mendekati kulkas dan membuka pintunya. Ada segelas jus buah sirsak. Jus yang bentuk, warna, aroma serta kekentalannya menyerupai sperma. Sari kejantanan laki-laki. Tetesan madu sang pria. Aku menyukai jus ini, sama seperti aku menyukai pejuh ... Oooopss! Maaf, keceplosan, hehehe ....
__***__
Acara 7 bulanan kehamilan Ibu akan dilaksanakan besok pagi. Persiapan perhelatannya hampir seluruhnya terpenuhi. Bahan-bahan rujak dan tetek bengeknya sudah ada di sini. Namun, entah mengapa aku merasa gelisah malam ini. Tidak dapat memejamkan mata dan segera berlabuh ke dunia mimpi. Padahal badanku sudah terasa letih. Ingin beristirahat dan memanjakan diri. Akan tetapi, mata dan pikiranku tak mau diajak kompromi. Enggan terpejam seperti orang yang sedang horny.
Aku melongok jam beker yang berdiri di atas meja belajar. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka 2. Waktu telah menempati dini hari. Namun mata ini masih kedap-kedip. Seperti lampu pijar yang tertiup angin. Tak menyala sempurna tapi juga tak bisa padam.

Aku keluar dari kamar tidurku. Untuk menghirup udara segar. Namun, baru selangkah kaki ini berpijak, aku berhenti. Jantungku berdetak lebih cepat, ketika kedua mataku melihat sebuah penampakan. Sesosok laki-laki berdiri tegap dengan tatapan mata menerawang menghadap jendela yang terbuka. Itu Bang Sam, Ayah Tiriku, Idolaku. Apa yang dia lakukan di sana? Mungkinkah ia tak dapat tertidur juga?
Perlahan aku mundur, dan ingin masuk kembali ke kamarku. Akan tetapi, aku terlambat. Bang Sam lebih cepat menoreh ke arahku dan mendapati aku berdiri terpaku di depan pintu.
''Vivo ...'' ujar Bang Sam pelan setengah berbisik. Kakinya bergerak lincah mendekati aku.
''Kau belum tidur?'' ucapnya tepat di depanku.
''I-iya ... dan Abang juga?''
Bang Sam mengangguk.
''Kenapa?'' ungkap Bang Sam dan Aku bersamaan. Kompak. Selaras. Senada. Dengan volume yang pas.
''Hehehe ...'' Kami jadi tersenyum.
''Entahlah ...'' Kembali ujaran kami sama. Dengan tempo dan nada yang sama pula.
''Hehehe ...'' Aku dan Bang Sam tersenyum kembali. Senyuman kaku. Canggung. Penuh rasa kegugupan.
''Insomnia ... mungkin,'' ungkapku perlahan.
''Apa kau tahu obatnya, Vo?''
''Masturbasi ... onani ... coli ...''
''Hehehe ...'' Aku dan Bang Sam jadi terkekeh. Geli sendiri.
''Darimana kau mendapatkan jawaban itu?''
''Aku pernah baca di artikel ....''
''Apa kau mau melakukannya sekarang?''
''Hehehe ... aku tidak tahu.''
''Bagaimana kalau kita lakukan bareng-bareng?''
Aku jadi terdiam. Tak tahu harus menjawab apa? Iya ... atau tidak!