Chereads / NAGABUMI / Chapter 4 - Naga Emas

Chapter 4 - Naga Emas

Kuda itu melaju meninggalkan debu melewatiku. Kuperhatikan sekali lagi sarung pedangnya yang berlapis emas, masih jelas bagiku ukiran gambar naga yang sangat kukenal. Pegangan pedangnya terbuat dari gading yang juga terukir dengan indah.

Bila pedang itu dicabut akan terlihat ukiran tipis naga keemasan. Pedang itu sangat tipis, digerakkan sedikit saja langsung bergoyang, menandakan pedang itu akan selalu dipegang seorang pendekar bertenaga dalam-karena jika tidak begitu, pedang ini hanya akan menjadi hiasan dinding. Dengan saluran tenaga dalam, bahkan pedang yang berasal dari batu meteor pun akan dengan mudah ditebasnya seperti pohon pisang.

Aku sangat mengenal pedang itu, karena pernah berhadapan dengan pemiliknya, yakni Naga Emas dari Negeri Tiongkok. Mengingat ketajaman luar biasa pedang itu, aku mempersenjatai diriku dengan sarung pedang tersebut yang kusambar dari punggungnya sembari bersalto di atas kepalanya.

Kami bertarung jurus demi jurus sepanjang malam dan selama itu aku menggunakan ilmu pedang Cahaya Naga untuk menghadapinya. Memang, tidak setiap saat aku memanfaatkan Jurus Tanpa Bentuk, karena jurus ini selalu membuat aku menang terlalu cepat dan itu berarti aku tidak bisa mempelajari ilmu silat lawan-lawanku. Kegagalan mempelajari ilmu lawan bagiku adalah suatu kekalahan.

Salah satu jurus dalam ilmu silat yang gunanya menyerap ilmu silat lawan disebut Jurus Bayangan Cermin. Dengan jurus ini, selama bertarung lawan tidak akan sadar bahwa setiap kali suatu jurus dikeluarkan, saat itu pula lawan akan menguasai jurus tersebut, dan kemungkinan besar akan berbalik menyerang dirinya sendiri-tetapi tidak selalu dalam bentuk yang dikenalnya.

Dalam keadaan seperti ini kedudukan seseorang yang terserap ilmu silatnya menjadi sangat berat, sebagian besar lantas bisa dikalahkan dengan jurus -jurus andalannya sendiri, yang sudah tidak dikenalnya sama sekali. Dengan cara itu pula aku bukan hanya dapat mengimbangi Naga Emas, tetapi juga menyerap ilmu silatnya, yakni ilmu pedang Aliran Naga yang luar biasa indah, cepat, dan sangat mematikan.

Dalam sekilas, terlintas kembali pertarunganku melawan Naga Emas yang juga selalu mengenakan busana kuning keemasan seperti penunggang kuda itu. Ilmu pedang Aliran Naga yang diperagakan Naga Emas itu memang gerakan-gerakannya indah seperti tarian burung elang, yang mengepak dan meluncur dengan segenap pesona, hanya untuk menukik dan membuat lawannya binasa.

Busana sutra kuning keemasan dan pedangnya yang keemas-emasan itu pun menjadi bagian dari jurus?jurusnya yang seperti memanfaatkan berbagai macam pantulan cahaya berkilauan.

Ilmu pedang Aliran Naga sungguh mewakili kewibawaan naga emas yang anggun dan keindahan geraknya yang sangat mengecoh itu sungguh bagaikan keindahan maut yang tiada mengenal ampun.

Begitulah dengan ilmu pedang Cahaya Naga aku mengimbangi kecepatannya yang tidak bisa diikuti mata, dengan Jurus Bayangan Cermin kuserap ilmu pedang Aliran Naga yang telah dikerahkan Naga Emas. Sepanjang siang aku bertahan dalam gempuran cahaya berkilatan, tetapi memasuki malam segenap jurus ilmu pedang Aliran Naga telah bisa kumainkan dengan penafsiran baru yang membingungkan Naga Emas sendiri.

Putaran pedang yang telah menjadi baling-baling cahaya keemasan dan memburu bagian-bagian tubuh mematikan, selalu tertahan oleh sarung pedang yang juga keemasan dan bergerak sama cepatnya dengan pedangnya.

Pedang Naga Emas, sudah berumur ratusan tahun semenjak dihadiahkan kaisar Negeri Atap Langit kepada Naga Emas sebagai kepala pengawal rombongan rohaniwan I-t'sing, yang menjelajahi negeri-negeri di seberang lautan, untuk mempelajari agama Buddha di Suwarnadwipa maupun Nalanda di India.

Rohaniwan I-t'sing tiba di kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 dan mempelajari Sabdavidya, yakni tata bahasa Sansekerta, selama enam bulan, sebelum berangkat ke Nalanda untuk mempelajari kitab-kitab Buddha yang semuanya tertulis dalam bahasa tersebut.

Ketika I-t'sing berangkat ke Nalanda, ditinggalkannya kepala pengawal yang bergelar Naga Emas itu di Suwarnadwipa, untuk menjaga kelompok kecil masyarakat asal Tiongkok yang bermaksud menetap untuk selama?lamanya. Suatu tugas yang akan diemban Naga Emas dan keturunannya selama 200 tahun lebih, karena memang akan selalu ada Pendekar Naga Emas yang bersenjatakan Pedang Naga Emas dan berilmu pedang Aliran Naga yang bertugas menjaga keselamatan masyarakat pendatang dari Negeri Atap Langit.

Keturunan Naga Emas bisa berarti anak cucunya, bisa pula berarti murid yang mewarisi ilmu pedang Aliran Naga lengkap bersama Pedang Naga Emas, yang tentu saja akan berasal dari masyarakat yang sama, mengingat tujuan ditinggalkannya Naga Emas di Suwarnadwipa dahulu kala memang untuk melindungi mereka.

Orang-orang yang datang mencari kehidupan baru dari Tiongkok, datang sedikit demi sedikit menempuh jalur perjalanan I-t'sing, maupun para rohaniwan lain seperti Hui-ning dan Yun-k'I yang menyeberang ke Yawabumi untuk mempelajari dan menerjemahkan naskah-naskah Sansekerta, bersama rohaniwan setempat yang terkenal sebagai Jnanabhadra. Dalam catatan I-t'sing yang pernah kubaca, Nan-hai-chi-kuei-nai -fap-ch'uan (Catatan tentang Agama Buddha seperti yang Dijalankan di India dan Kepulauan Melayu), masih ada Fa-lang, Hoai-ye, dan dua rohaniwan lagi yang tidak disebut namanya dalam catatan tersebut.

Para rohaniwan yang berangkat atas restu penguasa tidak akan begitu saja berangkat sendiri ke negeri asing di seberang lautan. Mereka seperti rombongan kecil yang terdiri dari para rohaniwan yang merangkap sebagai ilmuwan berbagai bidang, mata-mata militer, termasuk juga di dalamnya para pengawal yang berilmu silat tinggi. Mereka menempuh jalur para pendahulu, seperti rohaniwan Fa-chien yang pertama kali berziarah ke India, tanah asal Buddha, selama 15 tahun dari tahun 399 sampai 414...

Namun selain melacak jejak, mereka memperluas wilayah pengembaraannya, antara lain karena Suwarnadwipa dan Yawabumi sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya sejak 200 tahun lalu itu juga merupakan pusat ilmu pengetahuan tentang agama Buddha yang penting?terutama ajaran Buddha murni upadesa tentang bodhicitta...)

***

Pertarunganku dengan Naga Emas berhenti menjelang fajar menyingsing. Aku tidak bisa memastikan Naga Emas yang kuhadapi adalah cucu-murid dari Naga Emas pertama yang keberapa, tetapi harus kuakui jika aku tidak memanfaatkan Jurus Bayangan Cermin, maka ilmu pedang Cahaya Naga hanya akan bisa mengimbangi ilmu pedang Aliran Naga dan pertarungan tidak akan pernah ada habisnya.

Kami berada di sebuah padang rumput yang basah karena embun. Aku masih memegang sarung pedangnya. Hanya sarung pedangnya itulah yang bisa menangkis ketajaman pedang Naga Emas. "Dengan ilmu silat seperti yang Anda miliki, siapakah yang bisa mengalahkan Anda selain waktu?"

Aku mengangguk penuh hormat dan bersoja sesuai adat mereka.

"Ilmu pedang Aliran Naga terbukti sebagai ilmu pedang yang indah, penuh pesona, anggun tetapi sangat mematikan, saya berterimakasih atas pelajaran yang saya dapatkan dari pendekar Naga Emas yang ternama."

Naga Emas membalas bersoja.

"Sayalah yang telah mendapat pelajaran berharga, ilmu pedang Aliran Naga tiada artinya di depan Jurus Bayangan Cermin."

Hmm. Ia tidak menyebutkan Ilmu pedang Cahaya Naga, tanda ia masih merasa Aliran Naga adalah ilmu pedang terunggul. Namun ini sudah bukan masanya ilmu silat mempertahankan kemurnian ajaran, dalam pertarungan sesungguhnya yang menjadi pertaruhan adalah kemenangan, bukan kemurnian atau keindahan, karena dalam dunia persilatan tidak ada pendekar yang terkalahkan-yang ada hanyalah pendekar yang menang dan yang mati.

Kuanggap diriku tidak bertarung melawan Naga Emas, kami hanya saling menguji kepandaian. Kulemparkan sarung pedangnya karena ia akan terlalu tinggi hati untuk meminta-dan akan sulit menyimpan pedang berkilauan tanpa sarung pedang yang sengaja dibuat bersamaan itu.

Ia mengulurkan pedangnya dan sarung pedang itu menancap dengan tepat, untuk segera disandangkan kembali ke punggungnya. Sarung pedang lain akan pecah atau hancur bersentuhan dengan Pedang Naga Emas.

"Hari ini Naga Emas telah mendapatkan pelajaran berharga, meski yang dibayangkannya adalah pelajaran yang lain dari penemu Jurus Tanpa Bentuk. Selamat berpisah-semoga tidak pernah akan terjadi anak-cucu, murid saya bentrok dengan pendekar yang hanya bisa dikalahkan oleh waktu, karena saat itu akan berarti kekalahan bagi ilmu pedang Aliran Naga."

Ia bersoja kembali, lantas menghilang sebelum cahaya pertama melesat dari balik bukit. Peristiwa itu terjadi sebelum Pembantaian Seratus Pendekar dan aku masih sangat bernafsu menguasai segenap ilmu silat yang ada di dunia ini.

Keingintahuanku yang besar kuolah dalam perenungan dan pemikiran yang sangat keras, sampai aku menemukan Jurus Bayangan Cermin yang membuat aku bisa mempelajari suatu ilmu silat tanpa harus berguru bertahun-tahun lamanya. Sebaliknya, aku cukup menempur siapa pun yang kupikir layak kupelajari ilmu silatnya. Semakin tinggi ilmu silatnya, setinggi itu pula ilmu silat yang kudapat, bahkan setelah kuolah kembali tidak pernah mampu diatasi oleh pemiliknya semula. Menguasai Jurus Bayangan Cermin, yang mampu menyerap dan mengolah ilmu silat dari aliran mana pun di rimba hijau, adalah langkah pertama ke arah penguasaan Jurus Tanpa Bentuk.

Sudah kukatakan, aku tidak pernah mempelajari jurus-jurus sebagai gerakan dengan bentuk yang baku; yang kupelajari adalah pemikiran yang menyebabkan jurus?jurus tersebut berbentuk seperti itu, yang tentu saja harus melalui penguasaan atas jurus -jurusnya juga, dari langkah ke langkah, dari gerak tipu ke gerak tipu, dari seni gerak satu ke seni gerak yang lain. Hanya kali ini dengan seketika saat pertarungan berlangsung, meski tetap untuk menguasai pemikiran di baliknya. Lantas aku akan membalik-balik pemikiran untuk mengubah jurus -jurus yang kuserap menjadi berbentuk baru. Penguasaan ini membuat aku bisa membuat lawan terperangah oleh jurus yang sangat mereka kenal karena mereka kuasai, tetapi yang ternyata tidak bisa mereka atasi dengan jurus -jurus yang mereka kuasai tersebut, karena telah kukuasai dan kuolah kembali ke tingkat yang lebih tinggi.

Hanya dengan penguasaan atas Jurus Bayangan Cermin, aku mampu melangkah ke penemuan Jurus Tanpa Bentuk, karena keberadaan Jurus Tanpa Bentuk sangat tergantung kepada keberadaan bentuk-bentuk itu sendiri --sedangkan Jurus Bayangan Cermin memberi aku peluang menyerap segala bentuk ilmu persilatan tanpa kecuali.

***

Jadi siapakah penunggang kuda hitam berbaju kuning keemasan yang melaju meninggalkan kepulan debu? Dia membawa pedang Naga Emas. Kemungkinan besar dia pewaris terakhir ilmu pedang Aliran Naga. Namun kenapa ia mesti tergopoh-gopoh menunggang kuda? Naga Emas yang bertarung denganku memiliki ilmu meringankan tubuh sempurna. Kami bertarung seperti dua bayangan yang saling berkelebat tak bisa dilihat mata biasa. Hanya desir angin gerakan kami dan kilau pedang yang sesekali melentikkan bunga api setiap kali sarung pedang yang kupegang berpapasan dengan pedang Naga Emas itu. Maksudku, seorang pendekar kelas atas tidak membutuhkan kuda untuk berkendara. Ia bergerak secepat angin, meluncur secepat cahaya, dan melesat lebih cepat dari pikiran.

Maka aku bertanya-tanya apakah yang telah terjadi di sungai telaga dunia persilatan setelah kutinggalkan selama 25 tahun? Apakah yang telah terjadi semenjak kutinggalkan dunia ramai maupun dunia persilatan yang sunyi tapi penuh dengan percikan darah selama kukubur diriku dalam meditasi tanpa ujung selama 25 tahun? Aku masih terbungkuk-bungkuk sambil bersila dalam penyamaranku sebagai pengemis, mengacung-acungkan mangkok waluh dengan penuh hiba seperti aku ini memang begitu hina dan amat sangat terlalu dina.

Kuda hitam itu menghilang, tetapi dari getaran tanah tempat aku bersila kuhitung sekitar duapuluh penunggang akan muncul dari balik kelokan mengejar Naga Emas, yang entah kenapa tidak menghabisi saja orang-orang berkuda itu.

Dengan cepat aku memikirkan sesuatu.

Begitu rombongan itu muncul, aku sudah tengkurap di tengah jalan, mencoba menghalangi pengejaran mereka. Namun pimpinan mereka berteriak.

"Jangan berhenti!"

Kuda-kuda itu dipacu melewati diriku. Hampir semuanya melindas tubuhku -meski bagiku tiada artinya sama sekali.

Dalam sekejap semuanya lenyap meninggalkan kepulan debu yang jauh lebih banyak lagi. Aku bangkit dan membersihkan tubuhku. Orang-orang ini tidak mempunyai perikemanusiaan sama sekali. Apa yang terjadi jika aku memang seorang pengemis tua yang sedang sekarat di tengah jalan? Aku pasti sudah mati dilindas kaki-kaki kuda yang menggebu seperti roda-roda maut itu.

Aku melesat dengan cepat ke arah hilangnya rombongan berkuda itu. Jika mereka berhasil mengejar Naga Emas yang masih membutuhkan seekor kuda untuk menghindarkan diri dari pengejaran musuh-musuhnya, kukira ia juga tidak akan mampu melawannya. Suatu hal yang tidak bisa kubayangkan dari seorang pewaris Pedang Naga Emas!

Namun apa yang kutemukan di luar dugaanku sama sekali. Bukan saja aku merasa telah melesat cepat dan berkelebat seperti bayangan, tetapi juga bahwa dalam waktu singkat keadaannya sudah berubah sama sekali.

Di ujung jalan kedua puluh penunggang kuda itu sudah terkapar sebagai mayat. Salah seorang bahkan masih mengerang oleh senjata rahasia yang bidikannya tidak terlalu tepat sehingga tidak langsung mematikan. Aku mendekatinya. Ia tampak terkejut melihat diriku. Tangannya terulur menunjuk wajahku. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tetapi keburu tewas karena jarum?jarum beracun telah membekukan aliran darahnya.

Aku melihat sekeliling, dan terkesiap melihat lelaki berbaju serbakuning itu juga telah tewas oleh jarum -jarum beracun. Melihatnya selintas, aku sudah tahu, Pedang Naga Emas sudah lenyap!

Aku mencoba menyusun kembali urutan kejadiannya. Pendekar Naga Emas tewas oleh serangan gelap. Orang?orang yang menyusulnya berhenti karena melihat Naga Emas sudah tewas, dan juga mereka semua tewas oleh penyerang gelap yang sama. Aku memeriksa tanah dan jejak - jejak kaki kuda. Kuperkirakan Naga Emas kehilangan kewaspadaannya ketika kaki-kaki kudanya tersandung tali yang tiba-tiba terpentang setinggi lutut kaki kuda itu, sehingga terpelanting dan barangkali bahkan jatuh menindih tubuhnya. Orang-orang yang menyusulnya berhenti dan tanpa kewaspadaan segera mengerumuni jenazah Naga Emas. Sangat mudah bagi para penyerang gelap dengan senjata-senjata rahasia untuk menghukum kelengahan seperti itu.

Aku menghela napas. Di sungai telaga dunia persilatan, ternyata kita tidak bisa mengharap semua orang jadi pendekar.