Dalam dunia persilatan terdapat berbacai macam falsafah dan cara berpikir, yang kemudian dilaksanakan sebagai suatu sikap dalam percaturan politik dan perwujudan berbagai jurus ilmu persilatan. Orang-orang awam yang belum pernah melihat atau menyadari kehadiran seorang pendekar pun dalam hidupnya, misalnya, setidaknya pernah mendengar terdapatnya dua golongan besar, yakni golongan hitam dan golongan putih. Keduanya memang selalu berhadapan, karena masing-masing saling menganggap musuh satu sama lain, tanpa harus ada masalah yang menjadi sebab pertentangan.
Golongan hitam memang menempuh jalan kehidupan yang kelam. Bagi mereka, mencuri, merampok, membunuh, dan memperkosa sama sekali bukanlah suatu kesalahan. Penipuan, kecurangan, dan kelicikan adalah jalan yang dianggap sahih untuk mencapai kemenangan. Bagi mereka, apa yang dipercaya sebagai salah dan benar nyaris menjadi kebalikan dari kepercayaan golongan putih. Ini bisa dilacak dari ilmu silat maupun bentuk persenjataan golongan hitam yang seperti diciptakan hanya untuk menyiksa dan menyakiti. Begitu pula dengan jurus-jurus ilmu silatnya yang licik, kejam, langsung, dan mematikan, seperti tidak mengenal seni gerak sama sekali. Dalam persenjataannya pun mereka tidak sungkan untuk menggunakan senjata-senjata rahasia yang licik seperti uap dan bubuk beracun, maupun berbagai jebakan maut yang tidak bisa diduga.
Tentu ini sangat berbeda dengan sikap golongan putih, yang menjunjung tinggi segala sesuatu yang mereka anggap luhur dan agung, tetapi yang terhadap golongan hitam suatu pertimbangan kembali tidak pernah dimungkinkan. Bagi golongan putih, dengan atau tanpa masalah, golongan hitam harus dibasmi sampai ke akar?akarnya. Persenjataan dan ilmu silat golongan putih selalu lugas. Senjata mereka adalah senjata yang juga dikenal dalam kehidupan sehari-hari seperti pedang, dan kebanyakan memang pedang, tombak, atau yang agak berbeda sedikit adalah trisula. Sangat berbeda dari golongan hitam yang berbagai bentuk senjatanya seperti karya seni, tetapi mewakili pemikiran untuk membunuh dengan kejam-senjata dan segala jurus ilmu silat golongan putih dikembangkan untuk melumpuhkan, dan hanya jika terpaksa mereka terpaksa menewaskan. Namun perkembangan zaman memperlihatkan bahwa para pendekar golongan putih ini lebih sering membinasakan lawan mereka, daripada melumpuhkannya dan menyerahkan kaum penjahat kepada pengadilan.
Telah kusebutkan betapa orang-orang golongan hitam tidak begitu saja bisa dilumpuhkan, apalagi jika mereka kemudian diserahkan kepada orang-orang awam yang ilmu silatnya tidak mengenal tenaga dalam. Munculnya para pendekar di sungai telaga dunia persilatan justru karena ketinggian ilmu silat orang-orang golongan hitam yang semakin sulit diatasi. Demikianlah para pendekar golongan putih mengabdikan dirinya kepada kemanusiaan, membela orang-orang awam yang lemah dan tertindas oleh kezaliman golongan hitam.
Namun ternyata dunia persilatan tidaklah begitu hitam dan putih saja adanya, yang ditandai oleh kehadiran para pendekar yang disebut sebagai golongan merdeka. Sebetulnya para pendekar ini tidak akan pernah bisa digolongkan oleh suatu persamaan, karena masing-masing mempunyai sikap yang bebas dan merdeka, sehingga masing-masingnya menjadi begitu berbeda, tidak terikat kepada suatu kebijakan dan kebajikan yang dianut banyak orang. Misalnya saja mereka tidak berasal maupun bergabung dalam suatu perguruan tertentu. Jika sebuah perguruan silat bisa mempunyai murid mulai dari seratus sampai lima ratus orang, maka guru-guru para pendekar merdeka ini lebih sering hanya menerima murid antara satu sampai dua orang-bisa juga sampai tiga orang, tetapi tidak akan lebih dari itu.
Kemudian jika murid-muridnya ini kelak mengangkat murid, juga sangat jarang yang akan mengembangkannya menjadi sebuah perguruan silat. Mereka juga hanya akan menerima satu atau dua orang murid, atau kadang-kadang mereka pilih sendiri-tak jarang melalui suatu pengajaran rahasia. Sehingga sangat mungkin bahwa di antara para pendekar golongan merdeka, banyak yang belum pernah bertemu muka dengan gurunya sama sekali-entah karena sang guru memang menghindar untuk bertemu langsung, atau memang sudah mati dan hanya meninggalkan kitab atau gambar-gambar orang bersilat di dinding batu, yang bisa ditemukan dan dipelajari siapa saja yang berminat dan mampu. Seperti yang sering terdengar kisahnya di dunia awam, para pendekar memang sangat mungkin menemukan kitab-kitab ilmu silat yang sengaja tidak diwariskan kepada murid tertentu, karena para pendekar ini memang mengerahkan segenap daya hidup untuk mencarinya. Seorang pendekar berkelana, mengembara dari gunung ke gunung, naik turun bukit, lembah, dan jurang untuk mencari ilmu-terutama demi peningkatan ilmu silatnya itu sendiri. Ini membedakan falsafah para pendekar merdeka dari falsafah golongan putih, yang sudah menjadikan pembasmian golongan hitam sebagai pengabdian hidupnya. Aku adalah salah seorang dari mereka yang dahulu mencari ilmu seperti itu, dan karena itu aku tahu betapa sebagian besar dari para pendekar yang disebut merdeka tersebut adalah orang-orang yang sangat mementingkan dirinya sendiri. Merdeka berarti bebas dari segala kewajiban, termasuk kewajiban membasmi kejahatan.
Memang ada kalanya mereka menggasak habis orang-orang golongan hitam yang sedang melakukan kejahatan, tetapi berbeda dari para pendekar golongan putih, mereka lebih suka menjauh dari keramaian, mengembara menuruti langkah kaki dan kata hatinya, tidak ingin mencampuri urusan banyak orang. Sebagian besar dari mereka hanya peduli kepada diri mereka sendiri, dan pada umumnya mereka berpendapat semakin tinggi ilmu silat yang mereka miliki, semakin tinggi pula pencapaian mereka akan kesempurnaan dalam hidup. Begitulah, ilmu silat dianggap sebagai ilmu kesempurnaan hidup.
Di samping, ketiga golongan yang telah kuceritakan, masih ada satu golongan lagi yang harus kuceritakan, yakni golongan para pendekar bayaran. Namun ini akan kusampaikan nanti, karena aku baru menyadari keberadaanku di tengah mayat-mayat bergelimpangan.
***
Siapa yang telah mencuri Pedang Naga Emas? Aku masih tertegun. Menjauhkan diri dari peradaban selama 25 tahun membuat aku kehilangan pedoman untuk menimbang. Siapakah kini para pemeran utama dunia persilatan? Mengapa orang-orang militer terlibat dalam perburuan diriku sampai ke dalam gua? Bagaimana caranya mereka menemukan aku? Siapakah yang kini berkuasa di Yawabumi? Masih adakah kerajaan Sriwijaya yang ketika kutinggalkan telah menampung dan merajakan Balaputradewa di Suwarnadwipa? Bagaimanakah saling berebut pengaruh antara para pendeta Siwa dan Buddha telah mempengaruhi kehidupan awam maupun dunia persilatan? Waktu 25 tahun seperti telah membuat aku kehilangan kekinianku. Aku seperti manusia salah tempat. Bahkan Pendekar Melati yang selalu membuatku terpesona berniat membunuhku.
Di antara mayat-mayat bergelimpangan aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Adakah pengaruh umurku yang 100 tahun kepada kerja kepalaku? Aku sangat takut diriku telah menjadi pikun dan kehilangan hubungan dengan dunia nyata sama sekali.
Lantas terdengar suara seruling.
Hmm.
Aku merasa bagaikan ikan yang masuk ke dalam air kembali. Bahaya telah membuat aku berumah, seperti yang semestinya kuhayati di rimba hijau dunia persilatan yang telah lama kutinggalkan.
Aku melesat ke atas pohon dan segera terlibat suatu pertarungan dalam pikiran. Ada jurus yang menyerang tubuh, ada jurus yang mempermainkan pikiran, dan ada pula jurus yang mengguncangkan jiwa. Seruling itu mencoba menyerap pikiranku, membuat aku tenggelam dalam nada-nadanya yang penuh kesenduan. Aku pernah mendengar tentang ilmu ini, suatu kemampuan untuk membuat suara bernada untuk menggoncangkan jiwa, dan pada gilirannya mampu membuat nada-nada bagaikan zat padat yang menggasak jasmani manusia-sehingga lawan akan rebah berbuncah darah bagai terpapas senjata tajam ketika lagu seruling itu merambati udara.
Ini berarti aku harus bergerak lebih cepat dari suara, masalahnya suara itu sendiri sangat memengaruhi jiwa. Aku harus bergerak lebih cepat menuju ke asal suara, tetapi siapa sudi dikejar untuk dilumpuhkan pula? Ia melesat berkelebat dari pohon ke pohon sembari meniup serulingnya. Seperti menghindar, tetapi suara seruling itu selama masih terdengar adalah serangan melumpuhkan. Aku melesat dan melompat-lompat seperti menghindari empasan ombak di pantai setiap kali gelombang suara itu mengepungku. Meminjam udara sebagai penyampai suara, membuat aku harus menandai bagian mana yang tersibak oleh suara seruling itu-suara yang mempunyai ketajaman sebuah pedang mustika.
"Huaaahhhh!"
Aku berteriak dengan tenaga dalam untuk memukul kembali suara seruling itu. Peniup seruling itu berhasil menghindar, tetapi sebagian pohon-pohon tumbang dan membuat burung-burung beterbangan. Suatu bayangan berkelebat mendekat. Astaga, kini ia langsung menyerangku!
Aku bersalto ke atas tiga kali untuk membuat jarak, tetapi ia menjejak pohon dan mengejarku. Aku menggerakkan tangan ke depan, mengeluarkan Jurus Mendorong Angin yang jarang sekali kugunakan. Ia terlontar kembali ke bawah, kulihat sebatang seruling bambu melayang pelan di udara. Aku menarik nafas, tubuhku menjadi sangat ringan dan tidak segera kembali turun ke bumi, sehingga bisa kuraih seruling itu dan meniupnya sembari turun perlahan-lahan.
Kutiupkan lagu sendu yang sama dan peniup seruling yang terkapar itu kini berurai airmata. Senjata makan tuan! Dengan Jurus Bayangan Cermin aku akan selalu membuat setiap ilmu yang digunakan untuk menyerangku berbalik ke arah pemiliknya sendiri. Aku turun seperti dewa dari langit yang meniup seruling. Airmatanya berderai dan mulutnya bersimbah darah. Aku telah mengenainya dengan telak. Ia akan menambah jumlah mayat yang bergelimpangan. Masih kupegang serulingnya ketika aku mendekatinya.
"Engkau akan segera mati," kataku, "katakanlah sesuatu untuk mengurangi dosa-dosamu."
Napasnya tinggal satu-satu. Ia menggeleng dengan lemah. Apakah maksudnya dia tidak beragama? Atau agamanya tiada mengenal pengertian dosa? Di Yawabumi pada masaku, terlalu banyak orang menerima ajaran Siwa maupun Buddha Mahayana secara bersama. Jika dilepaskannya Siwa dan diterimanya Buddha belum tentu ia meninggalkan Siwa sama sekali. Apalagi jika terlanjur diterimanya pemahaman tentang kekuasaan Siwa yang matanya seluas langit yang membungkus dunia. Di Yawabumi, agama-agama yang datang diterima sebagai tamu yang dihormati. Diterima dengan penghargaan, tetapi dimanfaatkan hanya sejauh iman mereka semula memberikan tempatnya. Sehingga tidak pernah bisa dikatakan, orang-orang Yawabumi sebetulnya beragama apa.
"Katakanlah sesuatu yang menjelaskan kenapa aku
"Katakanlah sesuatu yang menjelaskan kenapa aku diburu!"
Umurku memang 100 tahun, tetapi aku bukan seorang pendeta yang bijak dan sabar, lagipula meski berumur 100 tahun, semangat perlawananku akan tersulut dalam penindasan.
Matanya menatapku dengan kosong. Ia sudah tidak bernyawa lagi. Kuperhatikan dandanannya yang mewah. Ia tampak kaya dan hidup berkecukupan. Busana memang busana persilatan yang disiapkan untuk bertarung, tetapi bahan kain dan tenunannya yang halus menyatakan cita rasa tinggi.
Ia mengenakan gelang manik-manik, kalung perak, cincin emas, dan di balik bajunya terdapat kantong berisi banyak uang logam. Rambutnya yang panjang terikat dengan ikat-rambut yang disulam dengan indah.
Perutnya kulihat penuh lemak, tanda makanan yang memasukinya selalu mewah dan banyak. Bahkan kantong serulingnya dari kulit ular yang disamak dengan mutu tinggi. Mengapa seseorang yang berharta menempuh bahaya untuk memburuku?
Aku tidak punya uang sepeser pun, jadi kuambil kantong uangnya. Dia bermaksud membunuhku bukan?
Aku memerlukan uang itu jika aku memasuki peradabankarena roda peradaban, termasuk diriku di dalamnya, tidak pernah akan bisa berjalan tanpa kehadiram uang.
Waktu aku mengambil pundi-pundi kulit itu, sebuah lembaran daun tal ikut tertarik keluar. Mungkinkah bisa kuketahui sesuatu dari daun tal yang disebut kara s setelah siap menjadi bahan untuk ditulisi ini?
Aku terperanjat ketika menengoknya. Terdapat gambar diriku di situ. Lengkap dari kepala sampai ujung kaki. Aku tampak seperti orang sadhu, hanya berkancut dan berambut gimbal.
Gambar itu sangat kasar dalam goresan pengutik yang disebut tanah, tetapi sangat mirip. Di bawahnya terdapat tulisan dengan huruf dan bahasa Kawi.
Pendekar Tanpa Nama
Pengkhianat Negara
10.000 keping emas
Jika berhasil membunuhnya
Dadaku bergetar karena menahan amarah, tetapi kepalaku berdenyut karena pusing dengan ketidak jelasan yang mengharubiru. Jadi yang tewas ditanganku ini adalah seorang tikshna, seorang pembunuh bayaran-yang kali ini memburu hadiah besar. Dengan 1.000 keping emas saja dengan ukuran Yawabumi yang sederhana, seseorang bisa hidup mewah semewah-mewahnya selama satu tahun, apalagi dengan 10.000 keping emas. Siapa kiranya yang tidak akan tertarik mendapatkannya?
Kuingat serangan Pendekar Melati. Apakah ia juga memburuku karena uang? Di antara para pendekar merdeka, Pendekar Melati sangat akrab dan dihormati golongan putih, artinya pemikiran perempuan pendekar itu akan sama: tidak akan menggunakan ilmu silatnya demi uang. Lebih tepat jika ia memburuku karena percaya aku memang seorang pengkhianat negara.
Semua peristiwa ini berhubungan dengan apa? Adakah hubungannya dengan hilangnya Pedang Naga Emas?
Secara keseluruhan aku menghilang dari dunia persilatan selama 50 tahun. Pada 25 tahun pertama aku menghilang dengan cara melebur dalam kehidupan sehari?hari, dan itu berarti aku berada dalam sebuah wilayah bernama negara.
Aku tidak bisa mengingat sesuatu pun dari masa itu yang bersangkut paut dengan negara, juga tidak dari masa sebelumnya, ketika aku masih malang melintang di dunia persilatan. Ataukah hubungannya terletak pada 25 tahun yang kedua, ketika aku mengundurkan diri sama sekali dari peradaban, dan tidak mengetahui perkembangan apa pun tentang negara?
Dua puluh lima tahun bukanlah masa yang singkat. Umurku sudah 100 tahun tetapi pengetahuanku tentang negara pada masa 25 tahun terakhir seperti bayi yang baru lahir. Aku memulainya dari kekosongan. Mengisinya dengan pengetahuan. Tidak akan mudah bagiku dengan daya tangkap usia 100 tahun.
Kuambil pundi-pundi kulit dan gambarku itu. Namun lantas kebingungan untuk menyimpannya, karena bukankah aku hanya mengenakan kancut?
Aku melihat ke sekeliling. Mayat-mayat bergelimpangan. Kuda-kuda juga bergelimpangan sebagian dan sebagian lagi mencari rumput. Mereka tidak memerlukan pakaian lagi. Jika gambarku sebagai orang sadhu sudah beredar ke mana-mana, aku harus mengubah penampilanku. Aku harus menyamar.
Maka aku pun mengambil berbagai potong pakaian itu dari sana-sini di antara mayat-mayat bergelimpangan itu dan memilih seekor kuda. Betapapun aku harus menghindar untuk dikenali sebagai diriku maupun sebagai orang lain. Aku pernah gagal dalam penyamaran dalam 25 tahun pertama pengunduran diriku. Kini hal itu tidak boleh terjadi lagi.