Aku belum memutuskan akan menyamar sebagai apa, tetapi penampilanku sudah berubah ketika berada dalam sebuah kedai di jalan raya yang menuju ke kotaraja. Orang tidak akan melihat aku sebagai orang sadhu yang hanya berkancut dan berambut gimbal. Rambutku yang sudah memutih kucuci bersih dengan perasan daun lidah buaya di bawah sebuah air terjun, lantas setelah kusemir menjadi hitam mengkilat berkat ramuan berbagai tumbuhan tertentu, kemudian kugelung dengan sangat rapi. Aku akan tampak sama dan tersamar, karena tidak akan pernah terlihat mencolok-aku tampak sama saja seperti semua orang lain. Memang aku sudah berumur 100 tahun dan hidup dalam gua selama 25 tahun terakhir, tetapi itu tidak berarti aku terlihat begitu kurus kering dan tanpa daya. Tentu saja aku tetap tampak seperti orang tua, tetapi tidaklah terlalu tua dan renta sehingga akan menjadi aneh jika terlihat menunggang kuda.
Kedai itu menjadi tempat persinggahan orang-orang yang melakukan perjalanan ke luar maupun menuju ke dalam kota. Aku datang seolah-olah akan menuju kota dan singgah untuk makan dan minum. Di luar banyak kuda, berarti banyak pula yang sudah ada di dalam. Kedai itu berada di dekat sebuah pemukiman yang hanya terdiri dari beberapa gubuk. Aku tahu itulah gubuk tempat berjudi maupun pelacuran.
Tidak seorang pun memperhatikan aku masuk, karena perhatian mereka tertuju kepada seseorang yang sedang berbicara dalam kerumunan.
"Berpihak kepada siapakah Rakai Kayuwangi sekarang? Samarattungga telah membangun candi Mahayana termegah di seantero jagad, Kamulan Bhumisambhara, yang berdiri di atas pembebasan tanah nenek moyang kami di desa Tepusan, Mantyasih, dan Pamandayan. Bukan hanya tiga desa yang dibebaskan, melainkan 24 desa, lengkap dengan sawahnya, demi pemenuhan lingkungan berkiblat delapan. ''Tapi bagaimana nasib mereka kemudian? Semenjak Jatiningrat menikmati kekayaan Pramodawardhani, bukan hanya kaum Brahmana menguasai jaringan istana kembali, tetapi juga fitnah dilancarkan kepada segenap ajaran Tantrayana, yang dituduh sebagai aliran sesat! Bukankah Rakai Kayuwangi itu Dyah Lokapala yang beribu Pramodawardhani dan berkakek Samarattungga yang telah menirwanakan bumi bagi para pendeta Buddha? Mengapa dia biarkan kami semua tertindas oleh para penjahat Siwa?"
Terdengar gumam panjang. Kemudian seseorang berkata.
"Hati-hati bicara, yang menganut Siwa tiada kurang yang berbudaya."
"Apakah kamu sendiri memeluk Siwa?"
"Bukan, aku pengikut Wisnu, tetapi keluargaku dahulu semuanya memeluk Siwa, dan telah merelakan tanahnya demi candi Buddha bertingkat sepuluh itu."
"Dan bukankah tanahmu tidak diganti?"
"Memang tidak, tetapi kami semua tercatat sebagai saksi dalam prasasti, dan penghargaan semacam itu lebih dari cukup bagi kami."
"Lantas kalian semua tinggal di mana?"
"Keluarga kami boleh membuka hutan di mana saja yang berada di bawah kekuasaan wangsa Syailendra, tetapi orang tuaku mengikuti Balaputradewa ke Suwarnadwipa."
"Itu berarti kalian menjadi orang-orang terusir! Mengapa kalian terima saja Brahmana Jatiningrat itu menginjak kepala kalian?"
"Jangan berkata seperti itu, Jatiningrat telah membela kepentingan Pramodawardhani dari nafsu berkuasa Balaputradewa. Putri raja lebih berhak atas singgasana daripada saudara muda raja bukan?"
"Ya, tetapi siapa kemudian yang bercokol di istana?"
"Itu sudah lama berlalu. Kini Lokapala yang Buddha berkuasa, apa salahnya?"
"Ia masih penguasa wilayah yang sama. Tanah kami harus diganti!"
"Tidakkah rakyat itu bahkan nyawanya milik raja?"
"Kalau cara berpikir kamu seperti itu, jangan pernah mengaku Buddha, bahkan jangan mengaku beragama!"
Perdebatan masih berlangsung, tetapi orang-orang mulai bosan, atau kelaparan, dan kembali ke mejanya masing-masing untuk memesan makanan. Arak mulai diedarkan. Perjudian masih berlangsung seru. Rombongan penari topeng yang baru tiba di luar kedai menandak?nandak. Seorang perempuan pelayan yang kukira merangkap pelacur datang ke mejaku dengan secawan arak. Ia tersenyum menggoda, tetapi kepalaku masih memikirkan perdebatan tadi.
Aku juga pernah membaca prasasti Sri Kahulunan yang merupakan gelar permaisuri, dan diresmikan tahun 842 tersebut. Dalam prasasti itu tertulis persumpahan perihal pembebasan tanah. Malah aku masih ingat terletak di baris 26-33.
seperti halnya dengan telur,
jika telah dirusak tidak lagi dapat menetas,
demikian pula siapa merusak batu ini.
ia akan musnah.
jika masuk hutan, semoga ditelan harimau
jika berjalan di ladang, semoga digigit ular
jika ke sungai, semoga dimakan buaya
demikianlah,
semoga musnah
barang siapa yang berani merusak
tanah Sri Kahuluna
Setiap kiblat dari kiblat delapan itu terdiri dari tiga desa, maka jumlah seluruh desa yang dibebaskan memang jadi 24, yang terbagi menjadi tiga lapis. Di pusat lapisan itulah terdapat desa Mantyasih. Berdasarkan lapisan ini bisa diurutkan ke arah selatan terdapatnya desa Pamandayan, Tepusan, yang berakhir di Teru. Semuanya di daerah Kedu. Dengan persumpahan ini, semuanya menjadi tanah perdikan Sri Kahulunan yang disebut Kamulan. Tepatnya menjadi sima atau tanah perdikan candi, karena memang untuk mendirikan candi jinalaya, candi untuk memuliakan nenek moyang-dalam hal ini menuju kebuddhaan.
Melihat kepentingannya, yakni demi keluarga raja, sebenarnya adalah rakyat yang dianggap memberikan hadiah tanah kepada raja. Atas pemahaman ini, sesusai dengan tatatertib, rakyat yang tanahnya terbebaskan itu akan hadir sebagai saksi peresmian prasasti.
Ada kalanya bahkan nama-nama mereka disebutkan dalam prasasti tersebut. Dalam prasasti Sri Kahulunan juga banyak nama rakyat, di antaranya pembesar desa, Mudra, dan istrinya yang bernama Widya. Namun pembebasan tanah juga bukanlah sekadar pemberian hadiah dari rakyat, melainkan juga pengorbanan, karena tanah ini sangat mungkin sudah menjadi sawah kanayakan, sawah wikenas atau sawah para petugas, maupun ladang para kawula. Disebutkan bahwa mereka menerima hadiah yang berbeda-beda. Artinya bisa juga ada yang mendapatkan ganti tanah dan ada yang tidak. Sehingga masih menimbulkan masalah puluhan tahun kemudian, seperti yang baru saja kudengar di kedai ini.
Benarkah karena perbedaan agama? Aku selalu berpendapat perbedaan agama bukan alasan timbulnya perpecahan. Adalah persaingan kekuasaan, yang memanfaatkan segala perbedaan, termasuk agama, yang justru menghendaki perpecahan tersebut. Dengan terdapatnya perpecahan, suatu bangsa menjadi rapuh, dan mereka yang berkepentingan dengan keadaan ini akan mudah merebut kekuasaan.
Aku menengok sekeliling. Mereka yang singgah untuk minum tampak seperti rombongan pedagang. Di luar memang tampak sejumlah gerobak sapi yang berisi barang-barang dagangan yang diturunkan kapal-kapal dari pantai utara Yawabumi. Selain pedagang, tampak pula para pengawal bersenjata yang memang selalu mengiringi konvoi gerobak pengangkut barang. Di berbagai sudut, duduk sendirian, tampak seperti pengantar surat, peziarah, atau juga yang tidak jelas pekerjaannya seperti aku. Kusapu mereka sekilas dengan pertanyaan dalam kepala: Seberapa jauh mereka semua berpikir tentang agama?
Bahkan sebelum aku menghilang dari dunia ramai, agama Siwa dan Buddha hidup berdampingan. Meskipun agama Buddha terlahirkan dalam ketidak puasan Siddharta Gotama terhadap agama Hindu di India, kesepakatan Sang Buddha terhadap Hindu itu sendiri jauh lebih banyak daripada ketidak sepakatannya. Di Yawabumi pada zamanku, pedanda Siwa maupun pedanda Buddha bahkan bisa menghadiri upacara yang sama, karena keduanya mendapat tempat dalam pengaturan kepangkatan istana di berbagai kerajaan.
Maka mengatasnamakan agama sebagai pembenaran atas perpecahan membuat darahku naik karena mencium kejahatan yang dilahirkan oleh kebodohan.
Dengan ketajaman pendengaran, kuikuti percakapan serombongan orang di seberang mejaku yang sejak tadi kucurigai karena selalu berbisik-bisik.
"Sulit sekali melacak jejak Pendekar Tanpa Nama itu sekarang! Itulah akibatnya kalau tidak langsung bisa membunuhnya! Semua orang tidak percaya kalau dia begitu sakti! 'Orang berumur seratus tahun mana bisa bertarung', kata mereka. Sekarang mereka rasakan akibatnya..."
Aku terkesiap mendengar diriku disebut-sebut.
"Aku tidak mengerti, kenapa penguasaan Jurus Tanpa Bentuk itu yang harus membuat Pendekar Tanpa Nama itu dicurigai..."
Kutajamkan pendengaranku. Dicurigai?
"Dicurigai? Sudah pasti dia yang menyebarkan ajaran rahasia itu!"
Ajaran rahasia?
"Gambarnya sudah disebarkan di antara para pembunuh bayaran, setelah pasukan pengawal istana gagal membunuhnya. Pendekar Melati bahkan terbujuk untuk mencarinya setelah mendengar berita bahwa Pendekar Tanpa Nama membunuh putrinya. Padahal Pendekar Tanpa Nama itu sudah menghilang selama 25 tahun, sebetulnya bahkan sudah 50 tahun ia mengundurkan dari dunia persilatan."
"Menghilang? Itu bisa berarti dia selalu bergerak secara tersembunyi!"
"Hmm. Itu memang bukan tidak mungkin. Tapi... Aaaakkh!"
Sebilah pisau terbang telah menembus tengkuknya. Ia ambruk ke depan dan wajahnya masuk ke mangkok bubur sumsum yang sedang disantapnya. Bubur sumsum yang putih itu langsung berubah merah karena darah.
Aku sebetulnya melihat pisau itu meluncur, tetapi aku merasa sebaiknya tidak melibatkan diri jika ingin melihat peta masalahnya terangkat ke permukaan. Tentu aku juga seharusnya memaksa salah seorang dari antara yang berbisik-bisik itu untuk bicara-tetapi aku khawatir apa yang dikatakannya justru akan menyesatkan, karena rupa?rupanya semua orang tidak tahu semua hal.
Orang-orang di meja seberang itu segera melejit ke atas, tetapi pelempar pisau terbang itu menyambutnya dengan selusin lagi pisau terbang yang melesat sangat cepat. Mereka semua tiba kembali di bumi sebagai mayat, masing-masing dengan dua pisau di tubuhnya. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Bagi orang-orang yang berada di kedai bahkan tidak bisa diikuti oleh mata. Hanya angin berkesiur dan kelebat bayangan yang mereka rasakan. Hanya bubur sumsum yang telah menjadi merah, dan mayat bergelimpangan. Para perempuan pelayan yang sudah jelas merangkap pelacur menjerit -jerit.
Aku merasa tidak ada gunanya berlama-lama di tempat itu.
***
Kubuntuti pelempar pisau terbang yang sejak aku masuk kedai sudah kuketahui menempel di langit-langit dengan ilmu cicak. Berbeda dengan ilmu cicak yang sudah kukenal, yang menempel kali ini adalah punggungnya, sehingga ia bebas melempar pisau terbang yang memenuhi pinggangnya. Ketika melayang turun ia mengulang lagi pelemparan pisaunya. Jadi setiap orang mendapatkan dua pisau berlambang bunga keemasan pada gagangnya.
Ia sangat lincah. Kudanya berderap melaju di antara pohon-pohon dalam hutan menuju ke arah Mantyasih. Aku mengikutinya sembari melompat dari pohon ke pohon. Beberapa kali ia berbalik menoleh ke arahku, tetapi ia hanya akan merasa seperti melihat sesuatu.
Sementara bagiku membunuhnya pun seperti membalik telapak tangan. Sembari membuntutinya aku berpikir tentang diriku yang hampir terus menerus jadi sasaran pembunuhan. Apa hubungan Jurus Tanpa Bentuk dengan semua ini? Apa hubungannya dengan ajaran rahasia? Teringat sebuah kutipan dari Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya.
janganlah mengajarkan Sang Hyang Vajra,
Gantra, dan Mudra ini kepada
mereka yang belum melihat mandala
kepada mereka
yang belum mengalami pembayatan
ajaran ini harus dirahasiakan
Inilah kesulitannya dengan Buddha, yang ajarannya semula penuh dengan kesederhanaan, karena setelah Buddha meninggal ternyata mengalami perumitan kembali. Tantrayana, misalnya, segenap ajarannya tergantung dari keberadaan seorang guru. Jika tidak, ayat apa pun akan menjadi membingungkan, dan mudah ditafsirkan dengan sangat keliru. Aku pernah mendengar, sebelum meninggal, di ranjangnya Buddha bersabda, "Sama sekali tidak ada yang kurahasiakan."
Kini Buddha tersebar dengan begitu banyak aliran, tetapi adalah ke Yawabumi para rohaniwan dari Tiongkok mempelajari Buddha yang disebut murni kepada Jnanabhadra. Itu terjadi pada tahun 665. Hmm. Apakah yang masih bisa murni di dunia ini sebenarnya?
Aku melesat di balik dedaunan membuntutinya. Ketika ia keluar dari hutan dan melaju di jalan masuk ke kota, aku berlindung sebagai bayangan di balik bayangan kudanya, yang memanjang dalam sorotan cahaya matahari dari sisi barat.
Siapakah pelempar pisau terbang ini? Sudah jelas ia berkepentingan agar perbincangan orang-orang yang dibunuhnya berhenti. Perbincangan itu harus berhenti karena di dalamnya mungkin terdapat penjelasan yang terlarang untuk dibicarakan bersama maupun diketahui orang lain. Masalahnya, apakah penjelasan itu sudah terkatakan atau masih akan dikatakannya sehingga sebilah pisau terbang harus membungkamnya? Dalam hubungannya dengan diriku, Jurus Tanpa Bentuk dihubungkan dengan suatu ajaran rahasia. Mungkin ini disebabkan karena tiada seorang pun di dunia ini bisa mempelajarinya melalui cara-cara yang biasa. Apakah itu sebuah kitab, maupun seorang guru. Aku pun mendapatkannya melalui olah pemikiran, seperti tidak ada hubungannya dengan persilatan, tetapi dengan mendalami pemikiran, kita bisa membongkar dan menyusun jurus-jurus baru-bukan hanya dalam persilatan, melainkan dalam segala hal, termasuk ketatanegaraan.
Jadi ada yang berpikir tentang Jurus Tanpa Bentuk dalam rangka keterhubungan, tetapi dengan suatu perkiraan yang keliru. Jurus Tanpa Bentuk tidak bisa dipelajari bukan karena dirahasiakan, tetapi karena harus ditemukan dalam olah pemikiran, bukan persilatan. Adapun ajaran rahasia memang suatu ajaran yang harus dipelajari melalui suatu bimbingan, karena hanya para guru yang mengetahui kunci pembuka rahasia-rahasia itu.
Aku masih berpikir tentang kenapa suatu ajaran harus dirahasiakan, ketika kuda itu mendekati gerbang kota yang bergaya candi bentar. Burung-burung sriti memenuhi langit bagaikan mata-mata yang mengawasi. Langit mendadak mendung dan angin menderu-deru menerbangkan segala daun yang tadinya berserakan ke udara. Di luar perbentengan kulihat gajah-gajah kerajaan dimandikan.
Kupinjam tenaga angin untuk melayang ke atas tembok, turun menjejak punggung gajah, dan tibalah aku di dalam kota lebih dahulu dari pelempar pisau terbang itu. Gajah itu meluruskan belalainya dan mengeluarkan suara, taktahu ke mana harus mencari penyebab kesakitannya.
Orang yang kubuntuti berputar-putar di dalam kota. Barangkali ia menghindari kemungkinan seseorang akan mengikutinya. Aku berjalan kaki saja mengikutinya secara tersembunyi. Setiap kali ia menoleh ke belakang, aku menyelinap ke balik tembok, atau ke balik punggung orang-orang lain yang berjalan.
Dari lorong ke lorong, tembus ke jalan besar, masuk lorong lagi, akhirnya ia berhenti di sebuah kedai dan menambatkan kudanya. Ia tidak memasuki kedai itu, melainkan berjalan kaki ke pintu belakang kedai melalui lorong di sampingnya. Lorong itu sepi dan ia masih terus sesekali menoleh ke belakang.
Bagaimana caranya aku bisa mengikuti sampai masuk ke dalam kedai?