"Munafik" kata itulah yang terlintas dipikiranku saat mengingat peristiwa itu terjadi. Bagaimana aku sebelumnya berjanji (dalam diriku sendiri) untuk tidak meninggalkan Aris disana, tetapi aku malah langsung pergi meninggalkannya.
Kalian tahu, apa yang paling menakutkan dari diri manusia? Perkataan mereka.. Semua hal yang mereka ucapkan dari mulut mereka, tidak semuanya dapat terpenuhi sesuai dengan apa yang kita ucapkan sebelumnya. Tidak hanya ucapan yang keluar dari mulut kita saja, tetapi juga hati dan pikiran kita. Terkadang ketiga hal itu tidak berjalan dengan selaras.
Entah kita sadari atau tidak, tetapi kita sering melakukannya. Ketika orang terdekat kita mengucapkan hal buruk mengenai diri kita, kita memilih untuk menutup rapat telinga, lalu mengabaikannya.
Aku baru sadar, saat itu Ryan pernah mengataiku sebagai seorang munafik. Memang seperti itulah kenyataannya. Aku memang benar munafik. Aku tidak bisa tetap memegang perkataanku sebelumnya dan malah berpaling meninggalkan Aris yang sedang terluka parah disana. Aku begitu sedih. Aku masih berlari sambil menangis.. mencari sumber suara dimana suara letupan pistol itu terdengar.
Kemudian, aku melihat Ryan. Tidak.. dia terluka. Tapi syukurlah, bukan luka karena tertembak. Dan aku pun segera menghampirinya.
"Mas Ryan.." ucapku sambil berlari ke arahnya
Ryan, dia terlihat begitu khawatir ketika aku mendekat. Kemudian,
"Mas tidak apa-apa?" tanyaku padanya.
Seketika itu aku baru menyadari bahwa Ryan, dia juga tertusuk oleh pisau yang sama yang digunakan Roy untuk menusuk Aris sebelumnya.
"Ya Allah Mas.." ucapku histeris melihatnya yang terluka
Saat itu polisi sudah datang dan Roy juga sudah diamankan oleh mereka. Suara letupan senjata yang kudengar sebelumnya adalah suara senjata peringatan polisi diudara, yang diajukan untuk para penjahat, sebelum para polisi tersebut bersiap untuk melumpuhkan mereka.
"Kenapa bisa begini Mas?" ucapku menangis melihatnya yang terluka
"Kamu jangan nangis. Aku gak apa-apa. Ini hanya luka kecil. Kalau kamu sedih kayak gitu, nanti malah hati aku yang sakit.."
Ryan, dia masih bisa mengucapkan kata manis seperti itu dalam kondisi seperti ini. Mungkin dia mencoba untuk menghiburku. Akan tetapi, saat itu aku sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-katanya.
"Sudah ya Sayang.. Sudah. Jangan nangis lagi!" ucapnya kembali menenangkanku sambil memegang tanganku.
Aku masih saja menangis terisak melihat kondisinya yang seperti ini. Wajahnya yang babak belur dan penuh luka, ditambah lagi dengan luka tusukan yang ada diperut sebelah kanannya. Aku tahu Ryan, dia hanya berpura-pura kuat, seolah ini semua tidak apa-apa bagi dirinya.
"Oh iya Aris.. Gimana kondisi Aris, Sayang? Apa dia baik-baik saja??" tanya Ryan kembali
"Dia tadi yang menghubungiku. Aku berhutang budi padanya. Kalau bukan dia yang memberi tahu kamu pergi ke tempat ini, maka aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi sama kamu disini.."
"Sayang, berjanjilah.. Kamu gak boleh ngelakuin hal ini lagi. Kamu kalau ada masalah atau diancam kayak tadi, kamu harusnya langsung hubungi aku. Aku shock dengernya.. masalah Roy yang udah nyulik kamu sampai ke Bogor.."
"Terus juga tadi.. untung saja ada Aris yang ngelakuin hal itu. Aku gak suka ya, kamu ngerelain diri kamu sendiri kayak tadi buat ngelindungin aku.." ucap Ryan tidak senang
"Dengar Sayang, kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, aku gak bakalan maafin diri aku sendiri.. Kamu gak mau kan, aku mati bunuh diri?"
Aku masih menangis terisak saat Ryan mengatakan itu semua padaku. Entahlah, kepalaku saat itu pusing. Tiba-tiba aku merasa menyesal telah meninggalkan Aris sendirian disana, padahal dia sudah berkorban sejauh ini untukku. Tapi.. aku juga tidak mungkin meninggalkan Ryan yang sedang terluka juga disini, hingga tiba-tiba.. saat itu kesadaranku pun mulai menurun. Lalu, aku jatuh pingsan.
Di Rumah Sakit Bunda tempat Shina berada, Shina dan Rani cemas.. sebab Aris tidak kunjung kembali ke ruangan mereka. Saat itu sudah pukul 7 malam.
"Mi, bagaimana? Kenapa Ayah belum kembali juga? Apa Ayah baik-baik saja?" tanya Rani khawatir
"Ryan brengsek!!" maki Shina kesal
Saat itu, Shina terus menerus menghubungi ponsel Ryan, tetapi tidak dijawab. Tidak putus asa, dia terus menerus berusaha menghubunginya, sampai akhirnya dia menjadi kesal, lalu membanting handphonenya.. membuat Rani yang ada disebelahnya terkejut.
"Mi.." ucap Rani sambil ketakutan
"Rani, coba kau hubungi Oka. Suruh dia tanyakan keberadaan Papanya sekarang.." Shina kemudian berhenti. Dia kembali meralat perkataannya.
"Tidak.. tidak.. Bilang padanya Lena pingsan. Dan Ryan harus segera datang kemari, ke Rumah Sakit ini.. Hubungi Oka dan cepat katakan itu.."
"Tapi Mi.."
Saat itu, tiba-tiba Shina mengingat bahwa seharusnya aku pergi menemuinya di Rumah Sakit ini. Dia kembali mengambil handphonenya dan menghubungiku. Panggilannya tersambung, tapi aku tidak menjawabnya. Berkali-kali dia menghubungiku tapi aku masih tidak menjawabnya.
"Lena ini kenpa sih..?" ucap Shina kesal karena aku juga tidak mau menjawab panggilannya
Sementara itu, Rani terlihat menghubungi Oka, tetapi Oka pun sama, tidak mau menjawabnya. Lalu Rani pun mengetikkan pesan, persis seperti apa yang dikatakan Shina sebelumnya. Begitu pasannya terkirim, menit itu juga Oka langsung menghubungi Rani.
"Rani apa itu benar? Mamaku pingsan??" tanya Oka panik
Rani terdiam. Sebenarnya dia tidak ingin membohongi Oka.
"Rani??" Oka terlihat marah
Dengan berat hati, Rani pun terpaksa berbohong mengikuti keinginan Shina.
"Pokoknya Oka hubungi Om Ryan dan secepatnya datang kemari"
"Di Rumah Sakit Bunda kan?" Oka kembali memastikan
"Ya." jawab Rani singkat dan diapun langsung menutup telponnya
Rani merasa menyesal telah membohongi Oka seperti tadi. Dirinya terlihat cemas dan ketakutan.
Saat itu Oka langsung menghubungi nomorku dan Ryan. Panggilan nomor kami terhubung, tetapi tidak ada satu pun dari kami yang menjawabnya. Oka mulai cemas. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi ke Rumah Sakit Bunda menggunakan motornya.
Beberapa jam setelah kejadian di gudang, kami semua sudah dibawa ke Rumah Sakit. Saat itu, aku yang baru saja sadarkan diri
"Mas Aris..!! Mas Ryan..!!" ucapku tiba-tiba ketika tersadar
Aku lalu berusaha untuk keluar dari ruanganku mencari mereka, hingga ada perawat yang menegurku ketika aku baru saja keluar kamar.
"Ibu..?" sapanya
"Sus, bagaimana kondisi orang-orang yang tadi dibawa kemari bersama saya?"
"Maaf Ibu ini?"
"Saya kerabat mereka. Salah satu dari mereka itu mantan suami saya. Dan yang satunya lagi.. teman saya." aku menjelaskan pada perawat tersebut
"Mereka ada diruang perawatan di lantai dasar. Dokter sedang menanganinya. Salah satu dari mereka.." perawat itu belum selesai bicara, tiba-tiba ada seorang petugas yang datang dan berkata
"Bisa Ibu ikut saya? Ada beberapa hal yang perlu saya tanyakan pada Ibu terkait peristiwa tadi digudang.."
"Maaf Pak. Saat ini saya tidak bisa. Saya harus menemui mereka.."
"Tidak apa-apa. Ibu ikut dengan Bapak ini saja. Lagipula mereka sedang mendapatkan perawatan tim medis dibawah. Ibu juga tidak bisa menemui mereka sekarang.." perawat tersebut memberikanku saran
Tanpa basa basi, petugas itu pun langsung membawaku pergi ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.