Aku begitu terkejut, Aris dia tiba-tiba menciumku seperti ini. Dengan gerakan refleks, aku langsung mendorong tubuhnya dan menjauhkan wajahku darinya.
Tanpa berkata-kata, kemudian aku langsung berlari meninggalkannya untuk masuk kedalam unitku.
Sesaat setelah masuk kedalam, aku dapat merasakan debaran jantungku yang berdetak cepat, tak karuan. Bagaimana bisa Aris melakukan ini padaku? Apa dia sudah kehilangan akal? pikirku sambil memegang bibirku yang tadi dikecup olehnya.
Untuk sesaat, aku jadi melupakan semua kesedihanku dihari itu. Aku masih berdiri dibalik pintu sambil memikirkan semuanya.. kecupan Aris tadi dan juga masa lalu kami.. Ditengah lamunanku, tiba-tiba bel pintu apartemen berbunyi.. membuat jantungku seperti akan melompat keluar.
Tidak. Tidak mungkin itu Aris kan..? pikirku panik
Aku pun segera masuk ke dalam kamar untuk melihatnya melalui kamera disana. Dan ternyata benar itu dia.
Ya Tuhan! Bagaimana ini? Aku kembali panik dibuatnya.
Aris masih membunyikan belnya. Aku mendengarnya masih memanggil namaku dari balik pintu. Aku pun kembali keluar dan berdiri tepat dibalik pintu (mungkin persis didepannya) untuk dapat mendengar semua yang diucapkannya dengan jelas.
"Maaf.. aku tidak bermaksud berbuat kurang ajar padamu Lena atau melecehkanmu.." ucap Aris yang seolah tahu bahwa aku baru saja berada tepat dibalik pintu itu.
"Aku hanya tidak bisa mengendalikan hati dan pikiranku saat melihatmu menangis seperti tadi. Aku.. (mencintaimu Lena)" Aris kemudian menghentikan kata-katanya. Cukup lama dia terdiam saat itu, hingga kemudian aku mendengarnya kembali meminta maaf padaku.
"Maafkan aku.." ucapnya kembali terdengar putus asa dan sedih
Saat itu tiba-tiba saja handphoneku berdering, membuat suasana yang hening dan tenang menjadi panik. Maksudku, Aris mungkin saja masih bisa mendengarnya disana. Aku kemudian berlari ke arah dalam ruangan untuk menjawabnya.
"Halo Bu Lena, Tuan Besar.." ucap Bi Siti
"Papa kenapa?" tanyaku panik
"Dadanya sakit. Tuan terlihat kesakitan sambil memegang dadanya Bu. Tuan menyuruh saya untuk menghubungi Ibu.."
Seketika itu, aku langsung keluar apartemen untuk pulang menuju rumah Papa. Aku tidak peduli jika Aris masih berada disana, didepan pintu unitku. Dan ternyata setelah aku keluar, dia memang masih berada disana. Mata kami sempat saling bertemu ketika aku keluar dan terkejut saat melihatnya ada di depan sana, tetapi aku tidak mempedulikannya. Aku terus berjalan terburu-buru menuju lift.
Dan, sesampainya aku dirumah
"Pa? Papa baik-baik saja Pa?" ucapku panik sambil menangis
Aku langsung mencoba mengajak Papa bangun dari tempat tidurnya untuk membawanya ke Rumah Sakit. Namun Papa menolak.
"Pa..?" ucapku masih mencoba membujuknya
Papa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat itu.
"Bagaimana Papa bisa sembuh kalau Papa menolak untuk pergi ke Rumah Sakit?"
"Baiklah, Lena akan coba menghubungi dokter.. Papa tahan ya!"
Saat aku mencoba menghubungi dokter, tiba-tiba saja tangan Papa memegangku. Seolah menyuruhku berhenti untuk menghubunginya
"Le.. na.. kamu baik-baik ya Sayang. Waktu Papa mungkin tidak banyak dan Papa ingin kamu jangan sering bertengkar dengan Ryan.."
"Dia itu suami kamu.. meskipun sikapnya agak kasar, egois, dan posesif.. tapi hanya dia yang bisa Papa percaya untuk menjagamu. Papa percaya Ryan sangat mencintaimu.. jadi kamu harus menjaga hubungan kalian dengan baik.."
"Papa ngomong apa? Papa gak akan ninggalin Lena sekarang Pa?" ucapku sambil menangis
"Masalah perusahaan.. kamu bisa meminta Ryan untuk menjaganya. Dia atau orang-orangnya pasti akan bisa menjalankannya dengan baik. Terserah apapun yang akan mereka lakukan nanti, Papa mengikhlaskannya.. karena sejak awal keluarga mereka yang telah membantu kita. Kalau bukan karena mereka, Papa juga tidak akan bisa menjalankannya sampai sekarang.."
Aku terus saja menangis mendengar ucapan Papa. Kalau masalah perusahaan aku tidak terlalu memikirkannya, tapi Ryan.. Bagaimana bisa aku menjaga hubungan kami, sementara Ryan.. dia ingin menceraikanku. Kami akan segera berpisah, tapi kenapa Papa mempercayakannya untuk menjagaku.. Hatiku benar-benar sakit mencoba untuk menerima semua ini.
"Lena Sayang.. berjanjilah.." ucap Papa kembali
Belum sempat aku mengucapkan janjiku pada Papa, Papa telah pergi meninggalkanku. Aku begitu terpukul. Aku menangis histeris. Aku benar-benar merasakan kehilangan yang teramat dalam. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi dihidupku.. Papa, satu-satunya keluargaku telah pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Saat itu, aku kemudian mengurus jenazah Papa. Aku langsung menghubungi orang-orang terdekat dan para tetangga untuk membantu mengurus jenazah Papa dan pemakamannya. Tanpa mengabari Ryan atau Mama, aku mengurus semuanya sendiri dibantu oleh Bi Siti. Aku bahkan tidak menghubungi Oka anakku untuk memberitahukan berita kematian Kakeknya itu. Aku hanya tidak mau, nanti Oka akan menghubungi Ryan atau juga Mama. Aku hanya tidak ingin melihat kedatangan mereka disini.
Setelah kembali dari pemakaman, aku terus mengurung diriku sendiri didalam kamar Papa. Tidak makan maupun minum. Bahkan, saat pengajian Papa pada malam harinya pun, aku memilih untuk tidak keluar dari kamar.
Saat itu, malam hari selesai pengajian, Bi Siti datang mengetuk pintu kamar. Bi Siti bilang ada salah seorang pegawai Papa yang ingin bertemu denganku. Mungkin mereka mau menanyakan mengenai perusahaan. Apa yang akan terjadi setelahnya setelah Papa meninggal. Siapa yang akan menjalankan perusahaan?
Saat itu aku bilang,
"Besok. Besok aku akan mengutus seseorang untuk mengurus semuanya. Mereka hanya perlu berkumpul besok pagi, nanti orang tersebut yang akan menjelaskan semuanya pada mereka."
Setelah mereka semua pulang.. saat itu aku sudah lebih bisa memulihkan kesadaran dan pikiranku, aku kemudian menghubungi Heru, lalu menceritakan semuanya. Aku menceritakan tentang kematian Papa, juga keinginannya untuk menyerahkan perusahaannya pada keluarga Pratomo. Aku meminta tolong padanya besok untuk datang ke kantor Papa dan mengurus semua hal, termasuk pengambil alihan perusahaan. Aku memintanya untuk merahasiakan semua masalah ini dari Mama dan juga Ryan. Meskipun dia sempat menolak dan memaksaku untuk memberitahukannya, tapi aku tetap bisa memohon padanya untuk tidak memberitahukan hal tersebut kepada mereka berdua. Mungkin nanti, setelah urusan perceraianku dan Ryan selesai, aku tidak keberatan jika Heru ingin menceritakan semua hal ini pada mereka.
Setelah panggilan dengan Heru berakhir, aku pun kembali memikirkan apa yang harus kulakukan kedepannya. Mungkin, ada baiknya aku pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Suatu tempat yang tidak ada satu orang pun yang akan menemuiku disana, termasuk Ryan dan orang-orang (suruhan) nya.
Aku kembali memandang handphoneku.
Ada baiknya aku juga tidak membawa benda ini, toh tidak ada lagi seseorang yang aku harapkan akan menghubungiku disini. Namun, saat akan mematikan handphoneku, tiba-tiba panggilannya berbunyi. Itu dari Ryan. Aku pun kembali mengeluarkan air mataku saat itu.
"Kenapa kamu selalu saja seperti ini Mas? Muncul disaat aku sedang benar-benar merasa putus asa dan ingin pergi darimu. Apa kamu berusaha untuk meminta maaf dan membujukku lagi?" pikirku sedih, bimbang.
Saat itu ingatanku kembali dipenuhi oleh masalah perceraian kami. Semua bukti foto dan percakapan dihandphone Ryan yang menunjukkan kedekatan dan rasa kepeduliannya terhadap Shina dan semua masalahnya.
Mungkin Mas Ryan ingin menyampaikan maaf padaku karena dia harus memulai kembali hubungannya dengan Shina. Kenapa aku bisa berpikiran bahwa dia ingin membujukku dan minta maaf agar kita kembali bersama.. Apa aku masih mengharapkannya? Aku pun kembali menangis dan kecewa.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menolak panggilan Ryan dan mematikan handphoneku.