Beberapa hari telah berlalu semenjak hubunganku dengan Ryan telah membaik. Di satu sisi aku senang karena hal ini terjadi, tapi entah mengapa belakangan ini Ryan dia terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Terkadang aku sering memperhatikan dia yang terus menerus menatap layar handphonenya itu, seolah menunggu pesan atau panggilan dari seseorang.
Selain itu juga, dirinya jadi terlihat lebih serius lagi dalam bekerja. Dia lebih sering pergi kekantor dan menghabiskan waktunya disana. Aku tahu itu merupakan perubahan yang positif.. hanya saja aku merasa tidak seperti biasanya.
Ryan yang aku tahu, dia selalu menyerahkan hampir seluruh dari urusan pekerjaannya itu pada Heru, kecuali menangani masalah proyek penting atau urusan ke luar negeri atau daerah. Aku tahu Ryan jarang pergi ke kantornya. Biasanya dia tidak betah berlama-lama berada disana dan selalu pulang ketika menurutnya semua pekerjaannya itu bisa di handle oleh Heru. Dia lebih senang menghabiskan waktunya denganku, tapi kali ini sepertinya tidak. Apa Ryan merasa tidak nyaman karena tinggal dirumah Papa dan bukan apartemen kami, pikirku.
Saat sedang sarapan pagi itu, aku terus saja menatapnya. Dan Ryan, dia terlihat menyantap makanannnya sambil masih sesekali mengecek layar handphonenya. Ryan yang menyadari aku terus menatapnya sedari tadi, kemudian
"Apa kamu pikir dengan menatapku begitu bisa membuat perutmu itu kenyang, Sayang?"
"Aku sih tidak keberatan jika harus terlambat pergi ke kantor untuk menyiapkan menu "sarapan" lain untukmu.." ucap Ryan nakal menggoda
Aku tersenyum malu dan kemudian mulai menyantap makananku kembali. Mungkin aku terlalu berpikiran lebih, pikirku menolak semua kekhawatiranku tadi.
Saat itu, tiba-tiba handphone Ryan berdering dan Ryan kemudian menjawabnya.
Dia terlihat begitu serius mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang tersebut ditelepon, tanpa sedikit pun berkata atau berusaha meresponnya. Ada sedikit ketegangan dan kekhawatiran yang tergambar jelas diwajahnya saat itu, hingga kemudian dia berkata pada orang tersebut
"Jangan memberitahukan hal ini dulu padanya. Aku akan berusaha untuk mencari tahu dan menyelesaikan semuanya.." dan Ryan pun lalu menutup teleponnya.
Sesaat kemudian,
"Ada masalah penting terjadi.. Aku harus pergi sekarang." ucap Ryan
Dan diapun segera pergi setelah sesaat mengecup bibirku untuk pamit.
Di tempat lain, di apartemen Aris dan Shina, saat itu mereka juga sedang terlihat menikmati sarapan bersama diruang makan.
Aris, dia masih berpikir untuk berusaha membujuk Shina kembali untuk segera pindah dari apartemennya. Tapi kali ini tidak dilakukannya. Dia masih mencari waktu dan momen yang tepat karena tidak ingin nantinya Shina kembali sedih dan menolaknya. Dirinya masih berupaya keras mencari cara agar Shina tidak dapat menolak putusannya itu untuk segera pindah dari sana. Saat itu,
"Shina, mengenai pekerjaanmu.. kau pernah bilang padaku bahwa di dalam kontrakmu disinetron, kau tidak boleh hamil. Bagaimana kau menghadapi situasimu ini?"
"Apa kau tidak pernah terpikir untuk berhenti atau membatalkan kontraknya dan fokus untuk merawat kandunganmu?" tanya Aris tiba-tiba
"Aku memang berniat ingin pensiun suatu hari nanti dari sini, tapi tidak dalam waktu-waktu dekat ini Aris. Masalah sinetron itu kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku bisa mengurus semua.." jawab Shina
"Sebenarnya Rani lebih suka kalau Mami berhenti bekerja dan bisa terus berada dirumah. Sama seperti Ibu-ibu teman Rani yang lain, jadi Rani mempunyai banyak waktu untuk dihabiskan bersama Mami bersama dirumah.." ucap Rani tiba-tiba ikut berkomentar
"Tapi aku tidak suka kalau hanya berdiam diri saja dirumah. Aku bukanlah tipe-tipe Ibu rumah tangga yang bisa mengurus segala sesuatunya seperti Ibu-ibu temanmu itu. Aku menyukai pekerjaanku. Lagipula, Ayahmu juga tidak merasa keberatan dan menuntutku agar aku berhenti bekerja. Benar kan Aris, kau tidak keberatan jika aku melakukan semua ini?" tanya Shina tersenyum
Saat itu Aris hanya berdehem merespon perkataan Shina tadi. Sebenarnya kalau boleh jujur, dia lebih menyukai agar Shina tidak bekerja dan hanya fokus mengurusi masalah rumah tangganya saja dirumah.
Saat itu, tiba-tiba saja mereka berdua menyadari sesuatu,
"Rani, lenganmu ini kenapa?" tanya Shina dan Aris secara bersamaan
"Oh, ini.. Saat itu ada seorang Paman yang datang dan meminta bantuan pada Rani. Dia bilang dia membutuhkan sedikit darah Rani untuk menolong anaknya yang sedang sakit di Rumah Sakit. Lalu, Paman itu mengajak Rani kesana dan meminta Rani untuk mendonorkan darah Rani pada anaknya itu." ucap Rani menjelaskan
"Rumah Sakit? Paman? Paman siapa?" tanya Aris tidak senang
"Apa Rani melihat langsung anaknya?" Shina menambahkan
Rani menggeleng menjawabnya.
"Tidak. Rani tidak melihatnya Mi. Waktu itu Rani hanya dibawa ke ruangan oleh perawat untuk diambil darahnya." jawab Rani
"Kalau tidak salah, anak paman itu katanya sedang dirawat diruang ICU. Jadi Rani tidak bisa melihatnya.."
Saat itu Shina dan Aris, mereka terlihat saling menatap satu sama lain. Mereka bisa mengerti bahwa sepertinya ada seseorang yang berusaha untuk menyelidiki mengenai identitas Rani disini.
Shina langsung tahu bahwa itu merupakan ulah dari Bu Tomo, Mamanya Ryan, mantan calon Ibu Mertuanya dulu. Mungkin dia ingin memeriksa apakah Rani benar-benar merupakan cucunya.
"Pokoknya mulai sekarang Rani tidak boleh melakukan itu lagi. Ayah tidak mau Rani pergi dengan orang asing, apalagi sampai ikut pergi ke Rumah Sakit dengannya.."
"Tapi Yah, orang itu kan memang sedang butuh bantuan. Bukannya Ayah yang pernah bilang pada Rani bahwa kita harus saling tolong-menolong sesama manusia."
"Rani, diluar sana banyak sekali orang yang mempunyai niat jahat yang terselubung. Bagaimana kalau ternyata paman itu membohongi Rani dan berniat melakukan sesuatu pada Rani dengan mengatakan bahwa anaknya itu sedang sakit?" Aris berusaha menjelaskan
"Paman itu bukan orang jahat Yah. Rani tahu kok, Rani bisa membedakannya.."
"Tetap saja tidak boleh. Lain kali Rani tidak boleh pergi lagi jika diajak oleh orang yang tidak dikenal, mengerti ?" ucap Aris tegas sambil sedikit menaikkkan intonasi suaranya
Rani kemudian mengangguk pelan menjawab.
"Rani, lebih baik hari ini kau tidak usah pergi sekolah dulu." ucap Shina tiba-tiba
"Tapi Mi.. Rani ada kuis hari ini. Rani tidak mau nilai Rani jelek nanti."
"Kalau aku bilang tidak boleh, ya tidak boleh!! Jangan membantah??!" ucap Shina marah
Rani kemudian terdiam. Dia terlihat sedih saat itu. Tidak lama kemudian dia lalu masuk ke dalam kamarnya sambil menangis. Saat itu, tiba-tiba saja handphone Shina berdering dan itu panggilan dari Ryan.
"Shina, apa kau baik-baik saja?" tanya Ryan khawatir
"Kebetulan kau menelpon, katakan pada Mamamu itu tidak perlu menggunakan cara tidak sopan seperti ini hanya untuk mencari tahu kebenaran mengenai cucunya. Kalau dia memang benar-benar ingin membuktikannya, dia kan bisa langsung datang kemari dan menemuiku."
Saat itu Ryan begitu terkejut mendengar perkataan Shina.
"Memangnya apa yang terjadi pada Rani? Apa dia baik-baik saja?" tanya Ryan penasaran
"Tidak usah bertanya padaku. Langsung saja konfirmasikan hal itu pada Mamamu. Bahkan aku sendiri juga tidak tahu, apa yang dilakukan oleh orang suruhannya itu selain mengambil sample darah Rani.."
"Sample darah?" ucap Ryan kembali.
"Iya." jawab Shina
"Kapan itu terjadi?"
"Entahlah.. Mungkin kemarin atau beberapa hari sebelumnya. Aku hanya melihat bekas suntikan yang membiru di lengan putriku itu."
"Ryan, sampaikan pada Mamamu, lain kali jika dia berani menyentuh putriku lagi, aku akan membuat perhitungan yang lebih padanya.." dan Shina pun langsung menutup panggilannya.
Kemudian Ryan, saat itu dia langsung melajukan mobilnya dengan sangat cepat menuju ke kediamannya. Dan setibanya dia disana,
"Mama.." ucapnya setengah berteriak ketika memasuki pintu depan rumahnya
Dan begitu Ryan melihat Mamanya disana.
"Apa yang Mama inginkan dengan melakukan semua tindakan ini, hah?" ucap Ryan marah tidak terima
"Bagaimana Mama bisa mengahancurkan karir seseorang seperti itu dan melakukan itu terhadap putrinya?" tanya Ryan emosi