"Tanya langsung dong, kalau Lo mau tau siapa gue." Potong Zidan saat Bunga hendak menjawab.
"Tuan maaf, kami harus pulang. Terima kasih sudah membeli semua bunga saya hari ini," kata Bunga sambil melepaskan genggaman Zidan.
Bunga dan Ilham pergi, dan Zidan tak mengejarnya. Tak ada alasan untuk itu, setidaknya saat ini.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti, seseorang keluar sambil membawa payung yang sudah dibuka. Ia berlari kecil menghampiri Zidan, tak berani mengangkat wajahnya.
"Sini payungnya," pinta Zidan ketus.
Pria paruh baya itu memberikan payungnya, Zidan rebut dengan marah seraya berkata, "Lo urus mobil gue yah, satu lagi... Jangan sampai bunga yang ada di dalam rusak!" Zidan berjalan menghampiri mobil sedan hitam yang baru datang itu dan berlalu pergi.
Sopir pribadi menghentikan mobil tepat di depan pintu rumah dua lantai itu. Seperti ada yang memberitahu kepulangan si tuan muda, pintu yang terjatuh rapat mendadak terbuka dan seorang pengurus rumah sudah berdiri dengan senyum menyambut. Zidan melewati pengurus rumah itu tanpa membalas sapaannya. Zidan menaiki tangga, dan berhenti di depan pintu kamar untuk merapikan rambut dan penampilannya sebelum masuk ke dalam kamar.
"Oma," sapanya ramah dibalut simpulan senyum tipis di wajah blasterannya.
Nenek kesayangannya sedang mendengarkan musik dari radio lawas sambil menyulam di sofa. Zidan duduk lalu merangkul Oma manja, kepalanya di selipkan di pundak dengan pelukan yang erat.
"Kemana saja kamu? Katanya mau mengantar Oma ke toko benang?" Tanya Oma berhenti menyulam, lalu mengelus kening cucunya yang sudah membaringkan kepala di pangkuannya.
"Maafin Zidan Oma, tadi ban mobil Zidan kempes dan di Suryo lama datang menjemput." Cerita Zidan diakhiri nadanya yang dongkol.
"Sabar... Kamu kan sudah janji sama Oma kalau mau berubah?" Tutur Oma.
"Iya sih, tapi si Suryo emang ngeselin. Kerjaannya lama, lelet!"
"Zidan, semua orang punya kekurangan, dan juga kelebihan. Sama seperti Suryo contohnya, mungkin dia tidak bisa bekerja dengan cepat tapi loyalitasnya untuk keluarga kita? Sudah sejak seusiamu dia bekerja, dari menemani Papamu, Kakakmu dan sekarang kamu." Suara Oma yang lembut dan bijak selalu berhasil masuk tak hanya melalui telinga Zidan tapi juga hatinya. Berada dekat dengan Oma seperti bayi yang nyaman bersama ibunya.
"Zidan bertemu seorang gadis Oma, sewaktu menunggu Suryo. Gadis itu penjual bunga di pinggir jalan dan dia buta." Cerita Zidan sambil mengingat wajah Bunga saat pertama kali melihatnya tadi.
"Lalu?" Tanya Oma.
"Zidan borong semua bunganya, padahal Zidan gak tau untuk apa bunga sebanyak itu tapi ya itu yang keluar dari mulut Zidan waktu ada di hadapan dia."
Oma mencubit hidung gagak Zidan sampai cucunya itu beraduh, "Kamu jatuh cinta ya?"
Zidan langsung bangun, duduk dengan wajah heran yang dia perlihatkan pada neneknya. "Serius Oma? Jatuh cinta kayak gini?" Zidan balik bertanya.
Oma terkekeh sambil menggeleng, tapi kemudian Zidan merebah lagi di pangkuan Oma. 'Zidan... Zidan... Kamu memang berbeda dari Kakakmu, bahkan kamu berbeda sifat dari ayah dan ibumu. Kamu lebih mirip mendiang Opamu. Kekayaan tidak berhasil mengubah jati dirimu, kamu tetap polos... Walau keangkuhan coba menutupi semua itu.' gumam Oma sambil mengusap usap kening Zidan.
"Besok antar Oma bertemu penjual bunga itu ya?" Kata kata Oma membuat Zidan terduduk lagi, lebih heran dari sebelumnya. "Kalau kamu tidak benar benar menyukai bunga, setidaknya Oma kan suka..."
Zidan tersenyum lebar lalu merangkul Oma erat erat.