Bunga sampai di rumah, gadis penyuka buah strawberry itu tinggal berdekatan dengan rumah sahabatnya Ilham. Kedatangan Bunga di sambut ayahnya yang buru buru membantu Ilham mengangkat keranjang-keranjang bunga itu masuk ke dalam rumah.
"Laki laki tadi siapa?" Tanya Ilham.
"Siapa? Tuan Zidan maksudnya? Tadi kan sudah kujawab, kalau dia yang memborong bunga bungaku." Jawab Bunga, lalu berjalan masuk ke rumah.
"Tapi dia gak terlihat seperti hanya ingin membeli bunga!" Ilham ikut masuk dan duduk di samping Bunga di ruang tamu sempit mereka. "Ilham, itu hanya anggapanmu."
Ilham membenarkan letak kacamatanya lalu memandang Bunga serius, "Sepertinya laki laki itu naksir kamu," kata Ilham ragu. Bunga tersenyum lebar sambil menggeleng, "Kamu harus benar-benar memandangku Ilham." Kata Bunga.
"Ya, sedang kulakukan." Balas Ilham ketus.
"Bagus. Kamu bisa melihat beban yang besar sekali, dan bayangkan itu yang ada di punggungmu kalau kamu memutuskan jatuh cinta padaku. Paham?"
"Sama sekali tidak."
"Ya tidak mungkinlah tuan Zidan punya rasa suka itu. Tidak ada manusia yang mau diberikan beban dalam hidupnya..."
"Karena kamu buta?!" Potong Ilham dengan nada agak tinggi, membuat bungkam ayah ibu Bunga yang kebetulan sedang bercengkrama di kamar yang bersebelahan dengan ruang tamu. Sejenak suasana hening, Bunga sampai bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
"Kamu bisa melihat lagi Bunga, dengan operasi sekali lagi. Aku dengar Dokter bilang begitu setelah operasi kedua tahun lalu," kata Ilham.
Bunga menunduk, menyembunyikan kedua matanya yang berkaca-kaca. "Lima puluh juta Ilham, dan itu untuk yang ketiga kalinya? Itu sama saja dengan menyuruh kedua orang tuaku menjual ginjalnya!" Tegas Bunga, nada tinggi memberi penegasan di akhir kalimatnya.
"Aku akan bantu kamu!" Sedang Ilham memiliki keyakinannya sendiri, dan dia tak ingin Bunga menyerah.
"Nak Ilham, ini sudah malam... Maaf Bapak memotong perbincangan kalian tapi gak enak sampai di dengar tetangga." Kata Ayah Bunga.
Bunga berdiri dan berjalan sambil meraba, dibantu ayahnya yang mengulurkan tangan membantu memapah puteri sematawayangnya untuk masuk ke dalam kamar. Ayah Bunga kembali ke ruang tamu dan melihat Ilham sedang mengenakan sepatunya di teras. "Nak Ilham, soal operasi Bunga..."
"Pak Arif, jangan khawatir. Saya akan mendapatkan uang itu dengan segera." Potong Ilham mantap, dan tak ada keraguan sedikitpun pada wajahnya.
***
Keesokan harinya, pagi pagi buta Zidan sudah rapih, wangi dalam balutan kaos dan celana jeans-nya. Ia mengendarai sendiri mobilnya tanpa sepengetahuan Oma. Semalaman Zidan tidak bisa tidur memikirkan perkataan Oma. Apa benar dia jatuh cinta pada Bunga? Semudah itu? Pada pandangan pertama? Atau Zidan hanya kagum saja melihat ketegaran seorang gadis buta penjual bunga di pinggir jalan? Dan pagi ini dia harus membuktikannya, sebelum Oma minta dipertemukan dengan Bunga.
Mobil Zidan terhenti tepat di tempat kemarin dia berhenti karena bannya kempes, tapi kehadiran Bunga belum tampak. Keranjang-keranjang bunganya pun belum menghiasi sisi trotoar. Zidan keluar dari mobil, bersandar di pintu dan menunggu. Suara nyaring bajaj muncul, semakin nyaring saat mendekat sampai kendaraan biru itu berhenti.
Zidan berdiri tegak, melihat Bunga muncul. Tapi bukan hanya Bunga, pemuda bernama Ilham itu juga ada di dalam bajaj dan membantu Bunga menurunkan keranjang dan tumpukan bunga segar beragam warna. Zidan melihat langit langit sambil bersedekap, ketika Ilham menemukan keberadaannya.
"Bunga sebentar ya, aku beli minum buat kamu di seberang." Kata Ilham lalu berjalan marah menyebrang, menghampiri Zidan.
"Ngapain Lo di sini?" Tanya Zidan.
Zidan hanya menggaruk-garuk kupingnya gatal sambil bergumam, "Kayak ada yang ngomong tapi siapa ya... Gak ada wujudnya..."
"Heh, gue lagi ngomong sama Lo!" Tegas Ilham, namun Zidan mengusap usap kedua lengannya tak peduli.
"Dasar ya, anak orang kaya tapi gak punya sopan santun sama sekali." Gerutu Ilham. Zidan menoleh sinis, secepat angin tangannya sudah mencengkram kerah kemeja Ilham dan menariknya ke atas.
"Lo bakal menyesal membangunkan harimau tidur," gumam Zidan lalu melepaskan cengkeramannya.
"Kenapa sih elo selalu ada di dekat Bunga? Gak punya kerjaan Lo ya? Atau lo Guardian Angel nya Bunga?" Tanya Zidan.
Ilham emosi dan hendak menarik kerah kaos Zidan tapi pemuda blasteran itu lebih cepat menangkis tangan Ilham.
"Jangan ganggu Bunga!" Kecam Ilham.
"Lo mau bilang Lo pacarnya? Lo kira gue percaya? Bunga bilang Lo cuma sahabatnya." Balas Zidan dan berhasil membuat Ilham makin geram.
Pemuda berkacamata itu kembali menyebrang dan membantu Bunga. Tanpa pamit Ilham mengambil tas ranselnya yang ia letakkan di dalam salah satu keranjang lalu menarik sopir bajaj agar segera masuk ke bajaj dan pergi.
"Loh Ilham? Ilham kamu sudah mau berangkat kerja?" Tanya Bunga saat mendengar suara bajaj yang memekakkan telinga namun berangsur menjauh.
Zidan menyebrang dan mendekati Bunga tanpa suara, diam diam ia membantu Bunga membereskan dagangannya. "Ilham katanya mau beli minum?" Gumam Bunga.
Zidan melirik ke kanan dan ke kiri, dia bunyikan ibu jari dan telunjuknya memanggil pedagang minuman di seberang yang berlarian penuh semangat mendekatinya. Sudah ada minuman kaleng dingin di genggaman Zidan, lalu tanpa suara ia sodorkan di lengan Bunga.
"Ilham? Aku kira kamu udah pergi," gumam Bunga lalu menggenggam minuman kaleng itu. Bunga duduk dan membuka minuman kalengnya, "Ilham soal semalam maafin aku ya..." Bunga membuka pembicaraan. "Gak semestinya aku bicara begitu sama kamu, padahal niat kamu baik. Aku tau kamu ingin aku bisa melihat lagi kan seperti dulu..."
Zidan terpaku, awalnya ia hendak merapikan bunga bunga sambil dengan sengaja memunculkan bunyi aktifitas dan tidak masalah jika Bunga menganggapnya Ilham tapi apa yang sedang Bunga ucapkan menarik perhatiannya. Zidan terlutut di hadapan Bunga, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang gadis buta ini ucapkan.