Cinta ini berlangsung singkat, dimulai dan berakhir dengan sangat cepat. Tapi Zidan yakin Bunga akan selalu mengingatnya selama-lamanya.
Hari itu Zidan keluar dari mobilnya. Matahari hampir terbenam namun langit berwarna senja masih semburat di langit. Salah satu ban belakang mobilnya kempes. Zidan menendang ban yang kempes itu marah lalu melepas kacamata hitamnya.
"Bunganya tuan... Bunganya..."
Suara itu berasal dari seberang jalan, Zidan melihat seorang gadis membawa nampan berisi tumpukan tangkai mawar merah. Dia berdiri di antara bakul bakul beragam bunga. Kedua mata Zidan terpaku memandangi gadis itu, kedua matanya lekat memandang. Beberapa pemuda berkemeja yang keluar dari kantor menghampiri memegang memegang bunga di nampanya namun kedua mata gadis itu selalu tertuju pada satu titik di bawah. Dia hanya tersenyum, sambil menawarkan bahkan menjelaskan jika bunga yang dijualnya memiliki kualitas sangat baik, tidak gampang layu dan lain lain.
Zidan menekan tombol kunci otomatis pada mobilnya kemudian berjalan menyebrang. Gadis itu makin terlihat dekat dan semakin dekat Zidan bisa merasakan jika kedua matanya semakin tak ingin melepaskan tatapannya.
"Bunganya berapa?" Suara ketus Zidan yang khas terdengar.
"Satu tangkai bunga mawar merahnya tiga puluh ribu tuan." Jawab si gadis.
Zidan melambai-lambaikan tangan di hadapan mata si gadis dan tak ada reaksi apa apa. Gadis ini buta.
"Saya beli semua bunganya." Kata Zidan membuat gadis itu terkejut.
"Se... Semuanya?" Tanyanya terbata.
"Iya semua," kata Zidan sambil mengambil sebuah kartu nama yang disediakan di meja.
Bunga Andriani, itulah namanya. Zidan menyimpan kartu nama itu dan ia selipkan di dalam saku kemejanya.
Semua bunga dibungkus menggunakan koran, Bunga mengerjakannya sendiri dan ia nampak sibuk. Zidan terlutut sengaja membantu, dan berada tepat di depan Bunga bisa membuat Zidan leluasa memandangi gadis ini. Bunga bahkan bersikeras ingin membantu membawa semua bunga bunga ini masuk ke dalam mobil. Tentu Zidan tak menolak, itulah kali pertama Zidan menggenggam tangan Bunga membantunya untuk menyebrang.
"Ini diletakkan dimana?" Pertanyaan Bunga membuyarkan lamunan Zidan. Ia buru-buru melepaskan genggamannya lalu membuka pintu mobil kemudian memindah tangankan bunga bunga itu dan ia letakkan di jok mobil.
"Bunga sebanyak ini untuk apa? Tuan mau melamar seseorang ya?" Tanya Bunga, matanya memandang ke sebelah kiri padahal Zidan berdiri tepat di depannya.
"Oh bukan bukan, kebetulan saya memang sangat menyukai bunga."
"Wah, jarang sekali loh ada laki laki menyukai bunga." Kata Bunga dan membuat wajah Zidan bersemu merah.
"Memang aneh ya?" Tanya Zidan.
"Gak aneh cuma langka. Biasanya laki laki paruh baya lebih menyukai hal lain." Jawab Bunga sambil terkekeh.
"Hah? Apa? Kamu bilang saya laki-laki paruh baya? Tua gitu maksudnya?"
Bunga menutup mulut dengan kedua tangannya, "Maaf tuan tapi, saya salah ya?"
Zidan meremas jari jarinya diam-diam, dia bahkan menendang lagi ban mobilnya kencang, untungnya tidak menimbulkan suara. "Coba tebak berapa umur saya," pinta Zidan coba menahan kesabarannya.
"Hmmm… 40 tahun?" Jawab Bunga polos.
Zidan berjalan mundur tanpa suara lalu menendang bebatuan kencang sekali hingga semburat ke seberang jalan. Zidan kembali ke hadapan Bunga dan berkata dengan nada heran, "40?"
"Maaf, salah ya? Apa 50?"
Zidan tertawa, tertawa dengan nada terpaksa tapi kemudian Zidan mengambil tangan kanan Bunga untuk menjabatnya sambil berkata, "Zidan Aditya, usia 25 tahun, CEO perusahaan Villains, singel."
Bunga tersenyum lebar, lalu balas berkata, "Bunga Andriani, 22 tahun, penjual bunga. Dan maaf, aku buta jadi hanya bisa menilai orang asing dari suara saja. Suara Tuan bernada agak berat, jadi aku mengira tuan..."
"Orang tua." Sambar Zidan sewot tapi Bunga malah tertawa. Tertawa renyah hingga Zidan kembali memusatkan pandangannya pada gadis ini. Rambut hitam digerai hingga jatuh di bahu, dress simpel dengan motif bunga lily.
"Maaf ya Tuan." Pinta Bunga kemudian.
"Gak apa. Ayo saya bantu menyebrang lagi." Kata Zidan. Bunga tidak menolak, tapi kali ini genggaman Zidan tidak dibalasnya seperti tadi.
Bunga tidak menolak, tapi kali ini genggaman Zidan tidak dibalasnya seperti tadi. Mungkin karena sejak awal Bunga mengira ia adalah laki laki tua, jujur Zidan tersinggung walau itu dalam hati. Bukan salah Bunga jika dia tidak bisa melihat kan? Zidan coba mengulang kalimat itu sampai amarahnya hilang.
Sampai di seberang, Bunga kembali sibuk. Ia meraba raba keranjangnya yang terbuat dari anyaman bambu, ditumpuknya yang kosong sementara sisa keranjang lain diseretnya hingga menempel pada tembok gedung. Zidan berdiri tak jauh sambil melipat tangan di depan dada, memperhatikan Bunga. Kadang diam-diam Zidan membantu dengan mendorong keranjang saat Bunga meraba raba agar gadis itu bisa menyentuh keranjangnya.
Ketukan ujung sepatu pantofel Zidan terdengar nyaring dalam kesunyian langit yang sudah gelap.
"Tuan masih di sini?" Tanya Bunga.
"Memangnya gak boleh?" Zidan balik bertanya dengan ketus. Bunga tersenyum tipis. "Dan kamu kenapa belum pulang? Kan bunganya sudah habis semua?"
"Jam tujuh nanti yang menjemput saya datang," kata Bunga sambil meraba raba kursi dan duduk dengan tas kecil yang didekapnya erat.
"Siapa?"
"Ilham, sahabat saya."
Ponsel dalam celana bahan Zidan berbunyi nyaring, "Hallo! Kamu ini ke mana saja sih?! Saya kirim pesan dari tadi tapi baru sekarang kamu hubungi saya! Maaf maaf! Cepat jemput saya, tadi kan sudah saya share lokasinya!" Saat memasukkan kembali ponselnya Zidan tak sengaja memandang Bunga, wajahnya dipenuhi senyum lebar.
"Kenapa senyum senyum?"
"Gak apa apa."
Keduanya menunggu dalam keheningan, tidak benar benar hening sebenarnya karena Zidan lebih sering bersuara. Dia menepuk keras-keras bagian tubuhnya yang dihinggapi nyamuk. Memang terasa menyenangkan bisa berada di sini bersama Bunga, memandangi pejalan kaki atau jadi pemandangan bagi pejalan kaki yang melintas.
Sesekali Zidan bergumam marah karena orang suruhannya tidak juga datang, dan dia tak bisa berkutik selain menunggu di sana sampai yang ditunggunya datang dan mobilnya diperbaiki. Sedang Bunga nampak terbiasa menanti dalam keheningan, dia memasang headset dan mendengarkan lagu yang terhubung dengan ponselnya.
Zidan ingin membuka pembicaraan, bertanya bagaimana Bunga bisa buta, sejak kapan, pengobatan apa yang sudah dilakukannya, apa melihat lagi itu mungkin bisa diusahakan? Tapi toh Zidan tak bisa bersuara, selain menggerutu, meremas tangannya marah dan jika dia bersikeras untuk bertanya, hanya nada ketus yang pasti keluar dari mulutnya.
Tiba tiba rintik gerimis turun dari langit, beberapa pejalan kaki panik dan berlarian untuk berteduh begitu pun Bunga, dia melepas headsetnya dan berjalan sambil meraba tembok. Zidan berjalan ke arahnya, kembali mengambil tangan kanan Bunga agar mengikuti langkahnya. Bunga tidak menolak orang yang ingin menolongnya. Zidan berjalan di bawah kanopi gedung dan Bunga mengikuti tertatih tatih di belakang.
"Oh, kalau sudah kenal, kamu gak balas menggenggam ya... Tapi kalau gak kenal, genggaman kamu erat sekali." Kata Zidan. Bunga langsung menarik tangannya dan berhenti berjalan. Zidan menoleh. "Aku kira tadi kamu..."
"Ah sudahlah, berhenti membahas kalau suara saya seperti orang tua. Sekarang kamu sudah tau kalau kita seumuran." Sambar Zidan.
"Bunga!"
Zidan menoleh ke belakang Bunga, menemukan seorang pemuda seumuran dengannya sedang mengatur nafas dan kebasahan.
Pemuda ini mengikat rambutnya yang agak panjang, dia berkacamata, saat berdiri... kedua pemuda itu saling memandang...
"Ilham?" Kata Bunga.
"Bunga, maaf aku terlambat. Ayo kita pulang, sebelum hujan makin deras," Sambar Ilham sambil menyambar lengan Bunga tapi Zidan refleks mengambil tangan kiri Bunga.
Langkah gadis itu tertahan, membuat Ilham menoleh menemukan genggaman lain dari pemuda asing yang tak ia tau siapa. "Bunga, dia siapa?"