Chereads / DEVILANGEL / Chapter 1 - BAB 1 : SAFIRA

DEVILANGEL

🇮🇩sanbashori
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 10k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - BAB 1 : SAFIRA

(SAFIRA)

"Safira!" Seseorang memanggil namaku. Ya! Itulah namaku. Hanya terdiri dari enam huruf.

"Safira!" Aku kenal sekali suara itu. Aku membalikkan badan. Lelaki itu berlari menghampiriku. Dia adalah Surya. Baga Surya. Si rambut cepak lurus dengan mata lebar bersahabat ini adalah temanku sejak kecil. Kulitnya lebih putih dari sawo matang dan sedikit konyol. Orang tua kami adalah teman dekat sehingga kami pun bersahabat. Sejak SD, SMP dan SMA kami selalu satu sekolah. Entah kebetulan, entah direncanakan. Dan sepertinya kami juga akan satu kampus.

Surya sampai di depanku. Napasnya terengah-engah. Ada beberapa bulir keringat di dahinya. Aku tersenyum menyapa,"Hai!".

Setelah Surya mengatur napasnya yang masih berantakan, dia mulai ngomong. "Kamu, kuliah disini, kan? Kenapa tadi nggak ajak aku berangkat bareng? Aku tadi ke rumah, tapi kata tante Mina kamu sudah berangkat. Padahal aku berangkat pagi-pagi, tapi kamu sudah berangkat. Memang tadi kamu berangkat jam berapa? Pagi-pagi ada angkot? Atau ngojek? Atau.. ..ojek online?"

Aku hanya tersenyum. Begitulah Surya. Dia agak "cerewet".

"Aku sengaja berangkat lebih awal. Kan ini hari pertama kuliah. Dan... ..aku tadi bawa motor sendiri!" Seruku sembari menunjukkan kunci motorku.

Surya menautkan alis seolah tak percaya. "Kamu bawa motor sendiri? Sendiri?"

Aku mulai berjalan. Membiarkan Surya mensejajari langkahku sambil menunggu jawaban. "Iya dong! Aku kan sudah buat SIM, dan dua hari lalu SIM ku sudah jadi!"

"Oh begitu." Surya tampak kecewa. "Aku nggak bisa jadi tukang ojek pribadi kamu lagi, dong?!"

Lagi-lagi akuu tersenyum. "Kan enak? Kamu nggak perlu repot-repot lagi anter-jemput aku."

"Tapi, kalau mau berangkat ngampus, telepon aku dulu ya?! Biar bisa barengan."

"Ih! Emang kenapa kalo barengan? Kan bawa motor sendiri-sendiri?"

Surya membusungkan dada. "Aku kan pengawal pribadi kamu. Kalau ada apa-apa serahin aja sama aku. Pokoknya beres!"

Aku tertawa mengejek. "Emang kamu bisa ngatasin masalah?" Tanyaku.

"Bisa! Harus bisa!" Surya nyengir. "Itu kan juga pesan dari almarhum Om Hakim."

Aku menurunkan pandangan. Om Hakim adalah papaku. Dua tahun yang lalu papa pergi meninggalkan aku dan mama. Kecelakaan di jalan. Itu pula alasanku baru mengurus SIM akhir-akhir ino.

"Eh, aku jadi ngingetin kamu ya? Maaf ya?" Surya berkata penuh sesal.

Aku tersenyum. "Nggak kok. Biasa aja. Cuma, kalau kamu merasa berat, kamu nggak perlu nurutin pesan papa deh! Lagian aku sudah besar. Bisa jaga diri sendiri."

"Oh nggak bisa! Sampai kapan pun aku bakal jagain kamu. Bahkan sampai kamu menikah, punya anak, punya cucu, aku bakal terus jagain kamu!"

Aku tersenyum. "Lah, yang jagain istri, anak dan cucu kamu siapa?"

"Ah, mereka bisa jaga diri sendiri-sendiri."

"Hahahaha" Aku tahu, Surya bercanda masalah ini. Dia selalu bisa melucu.

Kami terus berjalan sambil ngobrol. Menuju aula kampus. Aku masuk jurusan pertanian. Agronomi. Sedangkan Surya masuk ekonomi. Tapi hari ini kami semua berkumpul di aula. Ada pengarahan mahasiswa baru (MABA).

Ya. Ini adalah hari pertama aku masuk kampus setelah proses pendaftaran dan seleksi yang melelahkan. Dan akhirnya, disinilah aku. Menjadi bagian dari mahasiswa baru Universitas Negeri Majapahit (UNMAP)

#

Ku hempaskan tubuhku ke sofa di ruang tamu. Melempar tas selempang disana. Huf! Hari ini lumayan melelahkan. Lebih tepatnya membosankan. Pengarahan panjang lebar disampaikan, kami mencatat beberapa hal yang dirasa penting. Ospek sudah ditiadakan sejak beberapa tahun yang lalu, digantikan dengan sesi pengenalan lingkungan. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai jurusan dan berkeliling kampus dengan seorang "senior" yang menjadi pemandu. Mulai dari pengenalan tempat, sistem pembelajaran dan hal-hal yang terkadang tidak perlu diperkenalkan secara rinci. Sesi pengenalan ditutup dengan pembagian kelas. Selesai.

"Hey, si cantik sudah pulang!" Mama muncul dari dalam rumah. Baju berkebunnya kelihatan belepotan. Pasti dari kebun belakang rumah.

Ya. Di depan rumah ada sebuah pohon mangga dan bunga-bunga. Dan di belakang rumah ada kebun yang sedikit lebih luas dengan dinding-dinding tinggi yang memagarinya. Biasanya aku dan mama ikut membantu pembibitan bunga-bunga dan beberapa jenis sayur yang nantinya akan dikembangkan di Brawijaya Garden.

Ngomong-ngomong tentang Brawijaya Garden, ya, itu adalah sebuah tempat pelatihan budidaya mawar, melati dan bunga-bunga yang memiliki bentuk, warna dan wangi yang unik serta bibit-bibit sayuran. Dan, Safira yang mendirikan tempat itu. Sudah hampir satu tahun tempat itu berdiri. Berawal dari ibu-ibu tetangga yang meminta Safira untuk mengajarkan mereka membuat bunga-bunga indah yang bernilai ekonomis itu. Maklum saja, sejak kecil Safira gemar sekali berkebun. Dan dia  sering bereksperimen dengan tanaman-tanamannya.

Karena jumlah ibu-ibu semakin banyak hingga kawasan kelurahan, lantas mamanya menyarankan untuk membuat tempat pelatihan khusus dan sekaligus tempat penjualan hasil pelatihan itu. Jadilah tanah kecil "ngganggur" milik almarhum ayahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya dan juga terletak dipinggir jalan di samping sungai Brantas sebagai tempat pelatihan itu. Ibu-ibu sepakat untuk memberinya nama "Brawijaya Garden".

Kembali ke mama. Hey, sudah 11 tapi mama masih sibuk di kebun belakang? "Mama, siang-siang masih berkebun?"

Mama tersenyum. "Ah, nggak. Baru selesai nyiram bibit-bibit sawi." Mama mengelap keringat di dahinya. "Mama ganti dulu ya!"

Aku mengangguk. Memang baru setahun, tapi Brawijaya Garden semakin berkembang pesat. Banyak ibu-ibu yang ikut belajar disana. Dan, ya, aku hanya bisa membantu waktu hari minggu saja. Selain hari itu aku hanya bisa menyapa ibu-ibu yang yang sedang belajar dan saling membagi ilmu disana. Dan sesekali memberikan keadaan harga bunga-bunga di pasaran. Selain berbagi ilmu, setidaknya kami semua juga belajar berbisnis.

"Gimana, Ra?! Kelihatan lelah banget." Beberapa saat Mama membawa dua segelas teh hangat. Meletakkannya di meja di depanku. Lantas duduk di sampingku. "Diminum!" Sambung mama.

Aku tersenyum. "Makasih, Ma! Iya, lumayan. Ya, masih penyesuaian diri. Tapi aku seneng. Seneng banget!" Aku menyeruput teh hangat itu. Manis.

"Ya, harusnya gitu. Dari dulu kamu ingin masuk fakultas pertanian UNMA, kan?"

Aku mengangguk-angguk. "Eh, Ma, Dono mana?" Dari tadi aku tidak melihatnya.

Mama tetlihat mencari dan mengingat-ingat. "Sepertinya tadi di kebun belakang sama mama. Tapi, gak kelihatan tuh!"

Aku berdiri. Mencoba mencari Dono di taman depan rumah.

"Mama mandi dulu ya!" Teriak mama, masuk ke dalam.

Tidak ada Dono disana. Hanya bunga-bunga mawar dan melati hasil eksperimenku yang terlihat cemerlang ditimpa cahaya mentari. Mama habis menyiramnya. Dan, pohon mangga di depan rumah juga masih ayem-ayem saja disana. Biasanya si Dono suka main di atas sana. Tapi, kemana Dono pergi?

Aku berjalan melewati lorong sempit di sebelah selatan rumah yang langsung terhubung ke kebun belakang rumah. Memastikan Dono tidak bersembunyi di sana.

Disana kosong. Hanya ada bibit-bibit bunga dan sayur yang sengaja ditata rapi di rak-rak yang menempel ke dinding. Udara di lorong ini lumayan lembab. Bagus untuk tempat pembibitan.

Aku terus berjalan ke kebun belakang rumah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling kebun, tapi Dono juga tidak ada disana. Aku memicingkan mata ke arah gudang kecil di sudut kebun tempat peralatan berkebun dan benih-benih bunga dan sayur. Jangan-jangan Dono bersembunyi disana.

Aku berjalan perlahan ke sana. Saat aku ingin membuka pintu gudang, suara itu mulai terdengar.

Suara kepakan sayap.

Suara itu semakin mendekat.

Aku berbalik!

.

.

.

.

(bersambung)