Chereads / DEVILANGEL / Chapter 3 - BAB 3 : PEMBUNUHAN

Chapter 3 - BAB 3 : PEMBUNUHAN

(SAFIRA)

Pukul 8 pagi. Aku sudah duduk di dalam kelas, di ujung lantai 2. Orang pertama yang aku temui selain Pak Bowo adalah Asih. Kami kenal saat pengenalan lingkungan. Asih cantik. Tingginya sedikit lebih pendek dariku. Dia sangat pendiam. Bahkan sering menunduk. Dan sekarang, kami duduk bersebelahan.

Kelas dimulai 30 menit berikutnya. Dua puluh menit pembentukan struktur kelas sebelum dosen masuk. Setelah memilih seorang asisten dosen Pak Anung menjelaskan tentang tugas-tugas SKS. Dan, tugas pertama tentang anatomi tumbuhan. Membuat makalah dan sampel tumbuhan untuk dipresentasikan di pertemuan berikutnya. Setelah Pak Anung yang karismatik keluar, kuliah selesai.

"Aku pikir kuliah adalah lelucon!" seruku heran pada Asih. "Beda sekali dengan sekolah sebelum-sebelumnya. Apa semua universitas seperti ini atau jangan-jangan Cuma universitas ini?"

Asih tersenyum. "Yah, aku dengar memang seperti itu kurang lebih. Tapi, dari situ seorang mahasiswa dituntut berpikir dan bersikap dewasa, bukan?"

Aku mengangguk, memasukkan buku catatan ke dalam tas selempang.

Tiga orang perempuan mendatangi Asih. Satu yang di depan terlihat mencolok sekali. Rambut keriting yang dikuncir satu bergerak-gerak saat kaki jenjangnya yang terbalut high hils melangkah.

Tanpa aling-aling, "Heh, pecundang! Jangan lupa, ada tugas. Jadi, siapkan tugasku dengan baik atau aku akan menghancurkanmu menjadi berkeping-keping!"

Dalam posisi menunduk Asih mengangguk.

"Heh!" perempuan itu membentak. Dengan satu jarinya yang berhiaskan kutek hitam, secara perlahan, dia mengangkat dagu Asih. "Kalau aku bicara, lihat aku, tatap mataku! Dengar!!"

Lagi-lagi Asih hanya mengangguk, tanpa ekspresi menatap mata perempuan itu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Bukankah hal ini kelas baru? Bagaimana mereka saling mengenal? Siapa perempuan itu?

"Bagus." Perempuan itu melangkah dengan dua temannya, meninggalkanku kursi Asih.

"Siapa mereka?" Aku berdiri dari kursi dan menghampiri Asih.

Asih seolah enggang menjawab. Tapi, akhirnya, "Nana Nely. Dulu kami satu sekolah. Dan seperti biasa, dia selalu menindasku. Sudah biasa, sudahlah!" Asih berdiri membawa tasnya.

"Tapi, Sih. Harusnya orang kayak gitu enggak boleh didiemin. Bisa-bisa keterusan nanti." Aku mensejajari langkah Asih.

"Sudahlah, Safira. Sudah biasa kok." Asih mencoba tersenyum.

"Tapi, kalau dia nyakitin kamu?"

"Enggak. Dia enggak bakal nyakitin aku." Ada rasa ragu dalam ucapannya. "Ke kantin, yuk?"

Aku mengangguk.

#

(SURYA)

"Eh, nona cantik ada disini. Enggak ngajakin, nih!" aku membawa semangkuk bakso, duduk di meja Safira. Sambil makan mi ayam dia ngobrol dengan temannya, mungkin. Aku belum pernah melihatnya.

"Hey, gimana hari pertama masuk kelas?" Safira tersenyum, manis sekali. Ah lupakan!

Aku ikut tersenyum. "Baik-baik saja. Ya, seperti biasa." Aku menyendok kuah bakso. "Oh, iya. Ada nona cantik satu lagi nih! Siapa ya?" pancingku.

"Ah, bisa aja kamu. Kenalin ini Asih. Asih, ini Surya."

Akhirnya, Safira mengenalkannya. Aku menjabat tangannya yang terasa lembut, "Surya, Baga Surya"

"Asih, Sri Asih" Dia tersenyum lagi. Ah, kenapa tiba-tiba senyuman itu mengalahkan senyuman Safira dan semua jenis senyuman di dunia yang pernah aku lihat?

"Gimana buat tugasnya sudah ada sampel tumbuhan?" Safira ngobrol lagi dengan Asih. Aku asyik makan bakso sambil nyimak, sama curi-curi pandanh dikit. Hehehe.

"Ada. Halaman rumah cukup luas. Aku banyak nanam disana. Kalau materi presentasi bisa diatur nanti."

"Sudah dapat tugas?" cletukku heran.

"Iya. Huh! Baru masuk sudah dikasih tugas. Langsung bikin makalah

presentasi lagi. Ya, mau gimana lagi." Safira berseru tertahan.

Aku tersenyum. "Berarti besok enggak ada yang ke kafe dong? Aku ada jam manggung loh!"

"Manggung?" Asih menatapku meminta penjelasan. Matanya terlihat indah. Aku balas menatapnya. Dan, tiba-tiba dia menunduk.

"Iya. Surya suka main musik. Kadang giyar, piano, kadang harmonika. Kayaknya dia bisa semua alat musik. Ya gitu lah, manggung di kafe." Safira yang menjelaskan.

Asih mengangguk.

"Sorry ya. Kapan-kapan aja."

Aku masih asyik memakan bakso. "Oh, iya. Kamu ingat laki-laki yang nabrak kamu?" Sial! Kenapa aku membahas lelaki itu?!

"Laki-laki? Yang kemarin? Siapa namanya... Rama, iya Rama. Kenapa?" Safira meminum tehnya. Menunggu jawaban.

"Dia sekelas denganku!"

#

(SAFIRA)

Aku sampai rumah saat matahari sudah bergeser dari garis vertikalnya. Lagi-lagi mama sedang menyiram kebun. Aku langsung ikut ke kebun setelah ganti baju. Memilih sampel tanaman. Dan aku putuskan untuk menggunakan bibit bunga matahari setinggi 15 cm.

Aku membuka laptop di kamar. Mencari referensi untuk makalah saat mama masuk ke kamar. "kamu enggak ke Brawijaya Garden?"

Aku menoleh sebentar. "Hari minggu saja, ma. Ini sudah mulai ada tugas."

"Ya sudah. Mama ke toko dulu ya! Sekalian mampir ke BG." Mama berlalu.

Mama punya toko. Bukan sembarang toko. Tapi sebuah toko grosir. Sepeninggal papa, mama mengembangkan usahanya dan berhasil. Bahkan sekarang mama enggak perlu turun tangan mengurus toko. Karyawan mama sudah banyak. Mama hanya sesekali mengecek kesana.

Aku menyalin beberapa sumber dari internet. Tugas pertama harus sempurna, pikirku. Tiba-tiba suaraku pakan sayap terdengar mendekat.

"Tuan putri sudah pulang, tuan putri sudah pulang!" Dono hinggap di jendela kamarku. Dia tampak bagian sekali hari ini.

"Darimana saja kamu?" aku bertanya pada Dono. Entah dia mengerti atau tidak. Dia tetap hanyalah burung.

"Jalan-jalan, jalan-jalan!" dono menjawab sambil melenggak-lenggok kan kepalanya.

Aku tersenyum heran. "Kok, kamu paham? Kapan aku ngajarin kata jalan-jalan?"

"Peakk... Kamu kan tuan putri, tuan putri." dono mengepakkan sayapnya.

"Putri? Kamu kok paham ucapanku?" oh ayolah. Lama-lama aku seperti orang sinting yang bicara dengan burung beo.

"Karena aku adalah petunjuk. Aku petunjuk. Aku petunjuk. Aku petunjuk." Dono terbang pergi entah ke mana. Aku sempat merasa takjub. Tapi ternyata Dono tetaplah seekor burung.

#

Mentari perlahan merengkuh dunia dengan sinar hangatnya. Embun-embun yang membeku mulai mencair. Umat manusia mulai beraktifitas. Juga umat-umat yang lain.

Kuliah hari ini jam 09.00. Aku bisa bersantai sejenak usai sarapan dengan mama, duduk di depan televisi dengan segelas teh yang mengumpulkan asap. Di saat-saat seperti ini, sesekali aku melihat berita berita jadi televisi. Atau terkadang sekedar membaca buku.

Aku menyeruput teh sedikit, menekan remote mencari saluran berita. Saat itulah ada sesuatu yang menarik perhatian ku.

"Telah terjadi pembunuhan sadis di beberapa daerah di Indonesia. Ada lima korban di lima tempat berbeda. Motif pembunuhan belum diketahui. Diduga waktu pembunuhan hampir sama, sekitar pukul 12.00 malam. Ada satu hal yang sama yang ditemukan di lima korban. Ke lima-limanya ditemukan dalam keadaan kepala tertinggal."

Aku bergidik mendengar berita itu. Layar televisi menampilkan 5 tempat beserta 5 korban yang disensor.

"Pembunuhnya belum diketahui. Polisi masih mendalami kasus ini. Kami menghimbau masyarakat untuk berhati-hati....."

Mama masuk setelah menyiram taman di depan rumah. Bajunya sedikit bahasa.

"Ma, lihat!" aku menunjuk saluran televisi, "kejam sekali!"

Mama menoleh. "Astaga, siapa yang tega melakukan hal itu? Pasti pembunuhnya enggak waras! Enggak pantas jadi manusia." Mama berseru ngeri. "Kita harus hati-hati, Ra. Dunia ini mulai terasa aneh." Mama berlalu ke kebun belakang.

Ya. Ada sesuatu yang aneh dengan pembunuhan itu. Entah apa. Tapi perasaanku sangat tidak nyaman dengan hal itu. Ada sesuatu yang aneh, benar-benar aneh!

#to be continue....

.....................

Aku pemula banget loh, jadi jangan lupa kritik dan sarannya ya. Itu sangat berguna dalam masa belajar ini. Hehe

#sanbashori