TIIINN... TIINNNN... TIIIINNN!
DIINN... DIIIIINNNN...!!
Suara-suara itu seolah terdengar lagi. Suara klakson kendaraan yang memekakkan telinga. Apa aku sudah mati sekarang? Jika benar demikian, kenapa suara-suara itu masih terus terngiang di kepalaku?
"...Ra. Naura sayang..."
Lamat-lamat kudengar suara yang memanggil namaku. Suara lembut yang sepertinya sudah tidak asing lagi untuk kudengar. Apakah ini hanya mimpi?
"Naura, ayo bangun. Sudah jam berapa ini? Nanti kamu telat, lho."
Tidak. Ini bukan mimpi. Suara itu memang nyata! Itu suara Mama.
Perlahan kubuka kelopak mataku. Rasa kantuk yang masih terasa, sengaja kulawan. Kufokuskan pandanganku ke langit-langit kamar. Rupanya suara klakson yang tadi kudengar hanyalah mimpi. Lalu tatapanku beralih ke wajah Mama. Kenapa wajah Mama terlihat jauh lebih muda sekarang?
"Ayo bangun," kata Mama lagi yang sekarang sudah menarik selimutku dan melipatnya.
Kutahu kesadaran di pagi hariku masih belum sepenuhnya terkumpul. Tapi rasa-rasanya ada yang aneh saat ini. Aku masih tak menanggapi perkataan Mama yang terus menyuruhku bangun dari tempat tidur. Aku memandangi langit-langit kamarku yang bermotif bintang-bintang. Ah, motif itu! Aku mengenalnya.
"AAAAAA!!!" jeritku tiba-tiba yang spontan langsung bangun ke posisi duduk.
Mama jelas saja kaget mendengar jeritanku. "Kamu ini. Kenapa jerit-jerit begitu?" tanya Mama yang langsung menatapku dengan wajah bingungnya.
"Ma... ini Mama?" tanyaku memastikan.
"Iya, ini Mama. Kenapa sih?"
Kuedarkan pandanganku ke seluruh kamar. Benar. Tidak salah lagi. Ini kamarku yang dulu. Ada banyak boneka yang tertata rapi di salah satu lemari yang khusus kupakai untuk menata semua bonekaku.
Kembali kutatap Mama. "A-aku di rumah? Di sini? Di Jakarta?"
Mama mengerutkan keningnya, makin bingung melihat sikap anehku pagi ini. "Iya, kamu di rumah. Kamu ini kenapa sih bangun-bangun jadi aneh begini? Habis mimpi buruk ya? Ayo sana cepetan mandi, sarapan, terus berangkat sekolah."
"Se-sekolah???" tanyaku hampir berteriak dan lagi-lagi membuat Mama kaget.
"Memangnya kamu nggak mau sekolah hari ini? Mau nyoba bolos??" omel Mama.
Aku mengedipkan mataku. Kucubit tangan kiriku. Sakit. Ini nyata.
"Udah ah Mama mau siapin sarapan dulu. Kamu cepetan mandi ya," kata Mama lagi lalu meninggalkanku sendirian.
Aku melompat dari tempat tidurku menuju cermin di meja rias yang sebenarnya hanya berisi bedak, sisir, parfum, lipgloss, serta aksesoris-aksesorisku yang lain. Kulihat bayangan diriku di cermin. Oh my God. Mustahil. Aku yang ada di dalam cermin adalah sosok diriku pada saat masih menjadi siswi SMA. Aku ingat sekali sosok itu. Rambutku yang halus dan hitam panjang sepunggung sengaja kumodel curly karena aku memang menyukai bentuk rambut yang seperti itu. Bibirku yang pink alami, yang membuat iri para cewek di sekolah dan mengira kalau aku memakai lipgloss tambahan yang berwarna pink permanen dari Korea. Mataku yang cokelat cerah. Wajahku yang dibilang cantik oleh para cowok. Itu aku.
Lalu sekilas ingatanku kembali pada saat terakhir aku berlari ke jalanan usai membaca surat kabar tentang Regan. Astaga, apa yang terjadi padaku? Bukankah aku sedang sekarat di jalan raya itu? Kenapa aku bisa ada di sini dan kembali ke sosok diriku yang remaja?
Aku menggelengkan kepalaku, meyakinkan diri sendiri bahwa ini semua hanyalah mimpi dan aku harus bangun sekarang juga. Sedetik kemudian indera penciumanku menangkap aroma wangi masakan. Ini aroma nasi goreng kornet kesukaanku. Mama tengah memasaknya sekarang. Oh my God, lagi-lagi ini bukan mimpi.
Kulirik jam di atas meja belajarku. Pukul 6.05. Terserah, mau ini mimpi atau tidak, aku akan memastikannya nanti.
Nasi goreng kornet. Tunggu aku ya, batinku semangat.
***
Berkali-kali aku dibuat takjub oleh sesuatu yang tak kumengerti. Aku seperti terhempas dari dunia yang lain ke duniaku yang sekarang. Mungkinkah ini keajaiban? Aku kembali lagi ke masa ini. Masa-masa yang kurindukan. Itu artinya aku bisa bertemu lagi dengan Regan. Benar. Aku bisa dekat dengan Regan lagi.
Tak terasa aku telah menghabiskan satu porsi sarapanku. Mama terlihat senang melihat napsu makanku yang bagus. Papa dan kakakku juga sempat menatapku heran ketika melihatku makan dengan lahap. Ini karena aku sangat bersemangat. Sebentar lagi aku akan kembali ke sekolah dan bertemu Regan.
"Ma, Pa, aku berangkat dulu ya," pamitku setelah selesai sarapan.
"Lho, nggak bareng sama kakak?" tanya Papa yang masih menyantap roti panggangnya.
"Ada sesuatu yang harus aku selesaikan, Pa. Makanya mau berangkat lebih awal."
"Udah, bareng Kakak aja daripada naik bis," kata kak Nino.
Aku menggeleng. "Pagi ini aku mau cepet-cepet sampe ke sekolah. Lagian kak Nino masih lama sarapannya."
"Bukan Kakak yang sarapannya lama, tapi kamu yang sarapannya kecepetan. Main telan aja sih nggak dikunyah dulu," ujar kak Nino yang disertai dengan tawa Mama dan Papa.
"Ya udah, hati-hati ya. Pulangnya bareng kak Nino aja nanti," kata Mama mengultimatum.
Aku berlagak memberi hormat seperti saat upacara bendera. "Siap, bos."
Lalu aku meninggalkan ruang makan lebih dulu setelah mencium tangan Mama dan Papa. Aku siap. Hari ini akan kupastikan kalau yang kualami ini adalah nyata. Dan saat kubuka pintu depan, seorang cewek berdiri dengan ekspresi kagetnya. Mungkin dia baru saja akan memencet bel, tapi pintu sudah kubuka lebih dulu dan mengagetkannya.
Aku mundur selangkah. Untuk sesaat aku terpaku. Dialah yang menyebabkan Regan celaka. Dialah yang seharusnya bertanggung jawab. Dan cewek ini adalah sahabatku, Maya. Dia istri Regan, dan aku yang telah menyerahkan Regan padanya di kehidupanku yang lain. Dan kini aku kembali. Ini kesempatanku, kali ini aku tidak akan menyerahkan Regan padanya.
Maya mengelus dadanya. "Bikin kaget aja. Gue sekalian mau ajak lo bareng, Na. Yuk berangkat," ucapnya ceria. Seceria dulu.
Aku masih menatapnya getir mengingat apa yang terjadi pada Regan yang telah tiada. Aku sendiri pun tidak mengerti kenapa aku bisa membawa memori ingatanku di masa sebelum aku kembali ke sosokku yang sekarang. Tapi apapun itu, aku bersyukur telah diberi kesempatan.
"Na?"
Ucapan Maya membuyarkan lamunanku. "Apa yang lo lakuin sama Regan? Kenapa lo bunuh dia, May?" tukasku dingin.
Maya mengerutkan keningnya. Dia nampak bingung mendengar pertanyaanku. "Maksud lo apa sih, Na? Ngapain juga gue bunuh kak Regan? Itu kriminal, dosa, bisa masuk neraka, tahu."
Aku terkesiap mendengar jawaban Maya. Kenapa aku menanyakan hal itu? Jelas saja Maya tidak akan mengerti karena saat ini dia belum menikah dengan Regan.
"Iya nih, May. Sejak bangun tadi Naura jadi aneh sikapnya. Tante juga heran." Tiba-tiba Mama datang dan ikut bergabung dalam obrolan kami. "Nih, HP kamu ketinggalan di meja makan."
Aku menerima ponsel yang diberikan oleh Mama. "Makasih, Ma."
"Kamu nggak apa-apa kan, Nak? Apa kamu sakit makanya jadi aneh begini?" tanya Mama mulai khawatir.
Aku menggeleng serta mengulas senyumku. "Nggak apa-apa kok, Ma. Kalo gitu kita berangkat ya," ucapku lalu menarik Maya dan bergegas masuk ke mobilnya.
Dalam perjalanan, Maya tak henti-hentinya menginterogasiku kenapa tiba-tiba aku menyebut Regan tadi. "Jawab dong, Na. Sejak kapan lo jadi deket sama kak Regan?" tanyanya berisik sambil tetap fokus mengemudi.
"Ya kami emang deket kan? Sejak awal MOS?"
"Hah? Lo sakit ya? Mana ada."
"Lo kali yang sakit. Gue sama Regan kan deketan," kataku bersikeras. Kenapa Maya berkata begitu? Jelas-jelas di masa ini aku memang dekat dengan Regan.
"Na, selama ini kan lo nggak tertarik sama dia. Kak Regan juga sama, dia juga nggak pernah tuh ngobrol sama lo," tandas Maya.
Aku memutar bola mataku. Maya tetap sama. Selalu tak percaya dan tak bisa menerima kenyataan begitu saja jika itu menyangkut tentang Regan. Dan aku tak mendebatnya lagi. Tunggu saat kita sampai di sekolah nanti. Akan kubuktikan kalau ucapanku itu benar.
Regan, akhirnya kita bisa ketemu lagi, batinku senang.