Chereads / Return of my Love / Chapter 8 - Penentuan Hukuman

Chapter 8 - Penentuan Hukuman

"Baik semuanya, pelajaran kita akhiri, selamat pulang dan hati-hati bagi yang membawa kendaraannya. Selamat siang."

"Siang, Buuu."

Akhirnya mata pelajaran terakhir selesai juga. Guru Bahasa Perancisku sudah lebih dulu keluar kelas kemudian disusul anak-anak yang lain.

"Na, habis ini lo nggak langsung pulang ya? Lo masih harus ke lapangan basket kan nemuin kak Regan?" tanya Maya yang sudah berdiri sambil menyampirkan tas ke bahunya.

Aku mengangguk. "Iya nih. Tapi kok perasaan gue jadi nggak enak ya?"

"Nggak enak gimana? Emang lo mau diajak tanding basket sama dia?"

"Ya nggak tahu. Temenin dong, May," pintaku.

Maya menunjukkan arloji yang melingkar ditangannya padaku. "Sorry, Na, nggak bisa. Gue udah ada janji sama mama buat nganterin mama ke salon. Ini juga musti cepet-cepet pulang."

"Yahh, masa gue sendirian sih."

"Udah nggak apa-apa. Kan sekolah masih rame ada anak-anak yang jalanin kegiatan ekskul."

"Ya udah deh," kataku akhirnya dengan nada kecewa.

"Kabarin gue ya kalau kalau ada apa-apa. Dahh!"

Maya melenggang pergi begitu saja tanpa sempat kujawab. Segera kulangkahkan kakiku meninggalkan ruang kelas dan pergi menuju lapangan basket indoor. Kuyakin di sana Regan sudah menunggu untuk memberiku hukuman. Atau mungkin dia sedang berbahagia karena sebentar lagi dia akan bisa menyiksaku.

Aku melewati koridor kelas dua jurusan bahasa. Lapangan basket indoor berada dekat di ujung koridor ini. Aku berbelok ke kiri dan mulai memasuki lapangan kebanggaan SMA Gemilang dimana para pemainnya selalu menjuarai setiap lomba atau turnamen antar sekolah. Dan di dalamnya kulihat seluruh para pemain basket cowok sedang berkumpul untuk latihan. Tiap anak tengah mendribel bola dengan teknik dan gayanya masing-masing. Nampaknya mereka berusaha berlatih sendiri karena tidak ada pelatih yang mendampingi mereka.

Lalu kuedarkan pandanganku ke seluruh lapangan. Kudapati Regan yang sedang duduk di bangku semen tempat biasa para pemain dan pelatih duduk beristirahat. Dia tampak sibuk mengelap sepatu sportnya. Butiran kecil kristal bening di dahinya terlihat jelas di mataku, begitu juga dengan keringat yang membasahi lengan dan tubuhnya yang tegap dan berotot, menandakan dia telah berlatih dengan keras. Wajah itu masih saja tetap tampan dalam keadaan seperti itu. Tanpa kusadari senyumku sendikit mengembang ketika melihatnya yang berwajah serius itu.

Namun, aku tak bisa memertahkan senyuman di wajahku karena sekarang Regan telah menyadari kedatanganku. Dia menghentikan aktifitasnya dan menaruh kembali sepatu sportnya di lantai. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiriku yang masih diam terpaku di dekat pintu masuk.

"Udah dateng? Saya pikir kamu bakalan kabur karena takut," ucap Regan yang masih disertai dengan nada sinisnya.

"Aku bukan pengecut makanya aku langsung ke sini begitu pelajaran selesai," ucapku tegas. Aku tidak mau terlihat lemah hanya karena dia bicara sinis padaku.

Regan mengangguk dan sepertinya dia menghargai keberanianku. "Oke, kalau begitu saya kasih tahu tugas kamu sekarang. Kamu lihat keadaan di lapangan ini, kan?" tanya Regan sambil menunjuk ke seluruh lapangan.

Kuikuti tunjukan tangan Regan. Di tepi lapangan banyak bola-bola basket yang berserakan. Mungkin jumlahnya ada 20 lebih dan aku tidak heran sama sekali karena bidang olahraga ini memang sangat diminati. Setiap orang yang berlatih akan mendapat satu bola untuk latihan mendribel ataupun teknik individu yang entah apa lagi aku tidak tahu. Lalu banyak juga sepatu, pakaian olahraga, dan handuk kecil khusus lap keringat yang turut menghiasi sisi lapangan. Sampai botol air minum di kursi pun terlihat berantakan sekali yang sepertinya sesudah habis diminum, botol itu dilempar dengan asal-asalan. Beginikah cara pemain unggulan SMA Gemilang memperlakukan barang-barang mereka?

"Jadi, setiap kami selesai latihan kamu yang harus membersihkan lapangan. Mulai dari bersihin bola dan taruh lagi di box kayu khusus bola basket, ngembaliin sepatu anak-anak ke loker masing-masing, rapiin seragam ganti anak-anak yang mereka bawa pulang, cuci handuk dan rompi seragam klub, sediain air mineral selama latihan, dan apapun yang mereka butuhkan kamu harus siap lakuin. Gimana? Ada yang kurang jelas?"

Aku seketika terlongo mendengar penjelasan Regan tentang hukuman yang harus kuterima. Jadi aku dijadikan budak dalam sekejap?

Regan mengayunkan telapak tangannya tepat di depan wajahku. "Hei, mau lakuin nggak? Bukannya kamu mau lakuin apapun asal dapat maaf dari saya? Gara-gara kamu saya jadi nggak bisa ikut Olimpiade yang saya impikan, lho."

Aku mengedipkan mataku beberapa kali dan mencoba menguasai diriku lagi. "Se-sebanyak itu, Kak?" tanyaku terbata.

Regan mengangguk mantap. "Kenapa? Nggak sanggup? Ini pekerjaan yang gampang kan? Hitung-hitung buat kamu latihan jadi ibu rumah tangga suatu saat nanti."

"Ta-tapi..."

"Kenapa? Keberatan?"

Aku menggeleng pelan. "Itu artinya aku mulai bekerja setelah tim selesai latihan ya,"

"Kami selesai pukul empat. Masih belum terlalu malam kan?"

Aku terdiam. Itu artinya aku akan terlambat pulang 2,5 jam lamanya. Dan apa kata mama nanti kalau aku terlambat pulang? Tidak mungkin kan aku berbohong kalau ada pelajaran tambahan? Secara mama yang paling tahu jadwalku di sekolah dan tidak ada pelajaran tambahan untuk anak kelas satu dan dua. Berbeda dengan kak Nino dan anak kelas tiga lainnya yang memang diwajibkan mengikuti tambahan pelajaran.

"Ya sudah, kamu boleh pergi kalau emang keberatan. Sebagai gantinya jangan pernah muncul di depan muka saya lagi atau saya nggak akan segan buat nyakitin kamu!" ancam Regan. Dia berbalik badan dan berniat kembali ke lapangan.

Tidak, ini bukan mauku. Aku datang kembali ke masa ini bukan untuk menjauhi Regan, tapi untuk mendapatkan kembali cinta Regan.

Aku menatap punggung berkaus yang dibasahi oleh keringat itu. Hukuman ini tidak ada apa-apanya dibanding aku harus kehilangan dia lagi.

"Oke, aku setuju!" kataku yang berhasil membuat langkah Regan terhenti.

Regan menoleh kembali ke arahku. "Apa?"

"Aku setuju. Aku hanya perlu menunggu sampai kalian selesai latihan kan? Akan aku lakuin apa yang Kakak minta," ucapku penuh keyakinan.

Regan memasang muka tegasnya. "Baguslah."

"Sampai berapa lama aku harus lakuin itu?"

"Dua bulan."

"Apa???" kataku refleks. "Kak Regan mau menyiksaku ya?"

"Benar. Saya mau lihat sampai mana kamu tahan sama siksaan saya," ucap Regan santai.

Aku mengangguk. "Oke. Hanya dua bulan, kan? Nggak masalah," tantangku.

Raut wajah Regan seketika berubah tidak senang. Aku tahu dia tidak pernah suka kutantang. Sepertinya aku benar-benar sudah menemukan cara untuk menghadapinya, yaitu dengan cara menantangnya dan mengalahkannya.

"Oke. Lakukan mulai hari ini." Lalu Regan berlari kembali ke lapangan dan bergabung dengan timnya. Sejak tadi timnya memang sudah memerhatikan kami. Bahkan tiga diantaranya sengaja mencuri pandang ke arahku sambil tetap melatih teknik mereka.

Oh God, aku harus cari alasan apa ke Mama? batinku gundah lalu duduk di bangku penonton dan menunggu sampai latihan mereka selesai.