Malam ini aku dan kak Nino sedang duduk bersama di teras depan rumah. Aku sibuk browsing di laptopku, sedangkan kak Nino sibuk dengan game online di ponsel androidnya. Aku masih penasaran kenapa kabar soal buku terjemahan itu belum juga muncul. Berkali-kali aku mencoba mengetik kata kunci yang lebih spesifik, tetap saja nihil. Aku benar-benar tidak sabar ingin bersaing dengan banyak orang untuk mendapatkan buku itu.
"Lagi nyari apa sih serius amat?" Tiba-tiba kak Nino bertanya padaku dengan masih tetap fokus pada gamenya.
"Nyari informasi tentang buku terjemahan. Kakak tahu nggak buku yang judulnya Miracle of Heaven? Katanya itu bakal jadi buku langka karena dicetak cuma lima biji," kataku, masih sibuk mengecek sebuah website.
"Mana Kakak tahu soal buku-buku luar. Emang buat apa bukunya?"
"Buat Regan."
"Hah? Regan si kapten basket itu?" tanya kak Nino agak syok mendengarnya.
Aku mengangguk. Kulihat kak Nino sudah mengakhiri permainannya dan melanjutkan obrolannya denganku dengan lebih serius lagi.
"Emang kenapa kamu mau ngasih buku itu buat dia?" tanyanya penuh selidik.
Aku menatap kak Nino. "Karena aku pengin ngasih aja."
"Alasannya?"
"Aku suka sama Regan. Cinta banget malah."
"Hah???" Kak Nino lagi-lagi terkejut mendengar jawabanku. "Nggak salah kamu, Na?"
"Nggak kok. Aku serius."
"Dia itu terkenal dingin di sekolah. Arogansi, sikapnya juga buruk. Meski dia pinter tapi dia sombong. Kakak nggak suka ya kamu deket-deket sama dia," ujar kak Nino serius.
Aku menghela napas. "Kakak nggak punya hak buat ngelarang aku buat berhenti suka sama dia. Seperti yang Kakak bilang, Regan itu sombong. Dan aku sendiri yang bakal ngeruntuhin kesombongannya itu. Kakak lihat aja nanti."
Kak Nino memandangku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Namun, dia juga tidak menyanggah kata-kataku. "Beneran kamu naksir sama tuh cowok? Dia bisa ngelakuin apa aja kalau dia nggak suka sama orang. Kakak cuma nggak pengin kamu disakiti sama dia."
"Kakak nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja, dan aku yakin dia nggak bakal ngapa-ngapain aku. Intinya, tolong kak Nino jangan ikut campur sama urusan aku ya. Hanya untuk masalah ini aja," pintaku tulus.
Kak Nino akhirnya menyerah dan mengangguk. Senyumku sendiri sudah terpancar di wajahku. "Tapi, kalau Kakak sampe denger dia nyakitin kamu. Kakak nggak bakal segan lho buat ngasih pelajaran ke dia."
Aku mengangguk dan itu cukup membuatnya yakin dengan keputusanku. Bagaimanapun caranya, aku akan menghancurkan kesombongan Regan.
***
Hal-hal aneh terus saja terjadi. Sekarang aku berdiri di samping jendela kamarku yang terbuka lebar. Embusan angin malam sengaja kubiarkan masuk untuk membantu mendinginkan suasana hatiku. Sampai saat ini aku masih dibuat heran dengan sebuah benda yang bernama surat tanpa amplop dan tanpa nama pengirimya. Ini yang kedua kalinya aku menemukan surat itu yang tiba-tiba ada di laci meja belajarku.
Kupandangi lipatan kertas putih itu. Dari tadi aku masih belum membacanya. Namun hati nuraniku berkata aku harus membacanya meskipun apa yang tertulis nanti adalah hal yang tak bisa diterima oleh akal sehatku.
Akhirnya, kubuka lipatan kertas itu dan sebuah tulisan dengan tinta merah nampak jelas di mataku.
~Apa yang kamu inginkan belum tentu terjadi seperti apa yang kamu pikirkan. Abaikan masa dewasamu dan fokuslah pada kehidupanmu yang sekarang. Jangan menyerah mengejar cintamu. Keinginan yang sudah lama kamu pendam, jangan sampai kamu lepaskan lagi. Bersemangatlah~
Kembali kulipat kertas itu. Isi dari surat itu menandakan si pengirim tahu tentang kembalinya aku ke masa kehidupanku yang sekarang. Tapi, siapa? Siapa orang yang sudah mengetahuinya?
Tiba-tiba sesuatu terbesit di pikiranku akan kak Nino. Mungkin saja dia yang menulis surat misterius itu dan mencoba mengerjaiku. Buktinya, surat itu juga ada di laci meja belajarku di kamar. Memang siapa lagi orang di rumah ini yang mungkin bisa melakukan hal semacam itu jika bukan kak Nino sendiri? Aku harus memastikannya. Kudatangi kamar kak Nino yang berada di lantai yang sama denganku, di lantai 2.
"Kak! Kak Nino, buka!" teriakku sambil menggedor-gedor pintu kamar kak Nino yang tertempel tulisan NINO ZONE.
Tak lama kak Nino membuka pintunya dengan ekspresi kesal. "Apa sih berisik banget?!"
Aku menyodorkan surat itu di depan wajah kak Nino tanpa menjawabnya.
"Apaan nih?" tanya kak Nino bingung.
"Surat ini Kakak yang tulis kan?" tudingku.
Kak Nino mengernyit dan mengambil surat itu dariku. Dia membuka lipatannya dan lagi-lagi ekspresinya menunjukkan wajah bingung. "Kamu ngigau ya? Orang nggak ada tulisannya gini kok."
"Nggak ada tulisannya gimana? Itu tulisan merah jelas begitu masa nggak bisa lihat? Kakak lagi ngerjain aku kan?!" tanyaku sewot.
"Ya ampun, ngapain juga Kakak ngerjain kamu? Kayak nggak ada kerjaan lain aja. Lagian serius ini cuma kertas kosong. Nggak ada apa-apanya!"
"Ada tulisannya itu. Makanya dibaca dong!" sahutku ikut kesal. Dia tetap saja tidak mau mengaku.
"Gimana mau baca kalau tulisannya aja nggak ada?!" Kak Nino ikut-ikutan geram mendengar keberisikanku.
"Tapi aku nemuin surat ini di laci meja belajarku. Pasti Kak Nino yang naruh di situ tanpa sepengetahuanku, kan?"
Kak Nino mengacak rambutnya frustasi.
"Nino! Naura! Ada apa ribut-ribut di atas?" Tiba-tiba suara Mama terdengar dari bawah dan menginterupsi perdebatan kami.
"Ini, Ma, kak Nino usil sama Naura! Dia ngerjain Naura!" teriakku mencari pembelaan dari Mama.
"Bohong, Ma! Nino aja nggak ngapa-ngapain, dari tadi main game di kamar!" balas kak Nino tak mau kalah.
Aku memelototi kak Nino. Tapi kak Nino lebih galak dariku.
"Sudah, sudah. Ini sudah malem. Tidur sana! Jangan ribut terus!" teriak Mama lagi.
Aku mengembuskan napas kesal. Lelah rasanya berdebat dengan kakak yang sama sekali tak mau mengakui kesalahannya.
"Sekarang gini," ucap kak Nino berusaha bicara pelan padaku, "kamu sendiri yang nggak suka kalau Kakak masuk ke kamar kamu, kan? Jadi buat apa Kakak diem-diem masuk ke kamar kamu? Itu bukan sifat Kakak dan Kakak juga nggak ngerasa nulis ataupun naruh kertas kosong itu."
Aku terdiam. Benar juga. Kak Nino kan selama ini selalu menghormati aturanku. Aku melarangnya masuk ke kamarku dan dia tidak pernah melanggarnya. Dan aku kembali teringat dengan kasus Maya. Dia juga sama tidak bisa melihat tulisan di kertas itu. Jadi, benar bukan kak Nino? Terus siapa?
"Udah, kan? Sebaiknya kamu balik ke kamar kamu. Kakak juga mau istirahat!"
BLAMM!
Kak Nino menutup pintu tepat di depan wajahku. Aku sendiri masih terpaku di tempat. Surat misterius ini benar-benar membuatku stres.
Sudahlah, sebaiknya aku pergi tidur dan berharap esok hari akan terjadi sesuatu yang baik.