Chereads / Tersesat di bumi lapisan ketiga. / Chapter 20 - Bab.20 Jangan Jauh Dariku

Chapter 20 - Bab.20 Jangan Jauh Dariku

Terpaan angin semakin kencang seiring semakin lebarnya pintu gerbang Tsaqil yang terbuka.Pintu gerbang terbuka dengan mengeluarkan angin berputar serta sinar yang berubah-ubah.Angin itu bersuara menderu menakutkan. Setiap putaran angin akan menampakkan pemandangan tempat yang berbeda-beda diseberang sana. Artinya, siapapun yang melewatinya, tidak tahu akan terdampar dimana. Mareka akan mendarat ditempat yang berbeda.

Moullagar sangat terkejut mendengar bentakan Khulandar yang kini telah berdiri didepannya bersama para pengawalnya.

Kepalang tanggung sudah tertangkap basah, Moullagar segera menyerang Khulandar dengan ganas dibantu oleh kaki tangannya.

"Kau pikir kau siapa ingin menghalangiku?" bentak Moullagar sambil menyerang Khulandar tepat dikepalanya. Dengan lincah Khulandar mengelak dan balas menyerang.

"Mollugar! sebaiknya kau hentikan niatmu kembali ke Tsaqil tanpa kami, disana kau hanya akan menjadi sasaran Kihr Gohf."

"Diam! Aku pangeran Dar el mar, rakyat Dar el mar sangat setia, mereka akan tunduk padaku.

"Kau bodoh! Kihr Gohf telah merebut Dar el mar. Kau telah membunuh putranya, kau hanya akan dijadikan santapan makan malam istrinya.

"Diam kau. Sebaiknya kau tetap disini saja menjaga Agartha, aku pasti kembali untuk membunuhmu juga hahaha!" Moullagar segera memberi isyarat pada para pengikut setianya untuk menghalangi Khulandar mendekatinya. Ia harus segera masuk ke Tsaqil bersama Andika. Ia harus menutup gerbang untuk mencegah Khulandar memburunya.

"Moullagar berteriak pada pasukannya dengan keras. "Jangan berhenti, masuk ke Tsaqil pintunya segera akan menutup kembali. "

Khulandar dibantu para pegikutnya segera menyerang Moullagar dan pasukannya. Walaupun dibantu oleh Mahgoum, namun dihadang oleh para pengikut setia Moullagar yang berjumlah ratusan, mereka menghalangi Khulandar mendekati Moullagar yang segera berlari menghindar. Malikah dan professor meringkuk tak jauh dari Andika, melindungi wajah dan kepala mereka dari terpaan angin yang berputar sangat keras untuk ukuran manusia biasa seperti dirinya dan profesor. Melihat kesempatan tersebut dengan cepat Moullagar melompat terbang, ia menyambar tubuh Malikah dan membawanya masuk melewati gerbang Tsaqil. Melihat Malikah dibawa lari oleh Moullagar Andika segera mengejarnya diikuti Jazulan. Khulandar yang telah melumpuhkan para pengeroyoknya segera menyusul Andika dan Jazulan, namun warna sinar dari gerbang telah berubah ungu, sehingga mereka masuk ke bumi Tsaqil pada tempat yang berbeda. Jazulan yang menyambar profesor Sugara masuk kedalam gerbang dan terlempar kesebuah gunung pasir yang sangat tandus. Mereka terpisah dari Andika dan Malikah.

Suasana begitu hiruk pikuk karena para prajurit saling bertempur untuk tujuan berbeda, dan sebagian terus berusaha menerobos masuk kedalam Gerbang besar itu.

Andika yang berhasil menyusul Moullagar, terkejut ketika melihat Moullagar berdiri mencekik leher Malikah dengan satu tangan sambil berkata, "Tutup gerbangnya atau dia mati.!" Melihat wajah Malikah yang mulai biru kehabisan nafas Andika mulai menutup Gerbang. Khulandar yang masih terhalang oleh beberapa pengawal Moullagar tidak berhasil menyusul Andika, ia terlempar ketempat yang berbeda dengan Andika akibat perubahan warna pada pusaran pintu.

Moullagar terus berteriak pada pengikutnya yang masih memungkinkan untuk masuk sehingga tidak melihat Mahgoum melemparkan sebuah batu berawarna biru pada Andika, yang ditangkapnya tepat setelah pintu menutup. Mahgoum dan semua yang masih berada didepan gerbang Tsaqil yang tertutup menghentikan pertempuran. Impian mereka kembali ke Tsaqil, hilang untuk saat ini.Mereka memeriksa sisa pasukan masing-masing dan mendapati Khulandar dan Jazulan menghilang. Demikisn pula dengan Binawali, profesor, Andika dan Malikah. Mahgoum akhirnya memimpin sementara tampuk pemerintahan yang kosong. ia dengan mudah menundukkan sisa pasukan Moullagar yang tertinggal.

Mahgoum menarik nafas berat menatap Gerbang yang telah tertutup itu. Ia menempatkan satu kelompok pasukan penjagaan di gerbang Tsaqil. Ia yakin Moullagar akan segera kembali lagi begitu mendapatkan pasukannya.

BUMI TSAQIL

Moullagar tersenyum puas melihat gerbang Tsaqil telah menutup kembali. Kini tanpa Khulandar, dengan mudah ia akan mengumpulkan pasukannya. Dengan dingin dijatuhkannya Malikah yang lemas lalu beranjak pergi.

"Bersiaplah, kita akan segera berangkat! " katanya dengan tatapan puas.

Mereka mulai menyusun rombongan dengan peralatan dan kendaraan yang mereka bawa. Sebagian pasukan Khulandar yang ikut menerobos masuk, bergabung dengan pasukan Moullagar atau menjadi tawanan. Mereka tahu dengan jelas, Tsaqil adalah bumi yang menakutkan. Disini para penghuninya sangat kuat dan buas.

Andika segera mendekati Malikah yang masih terbatuk - batuk memegangi lehernya. Luka bekas kuku Moullagar terasa nyeri dilehernya membuat lehernya sedikit membengkak.

Andika segera mendekatinya lalu membalut leher Malikah dengan kain baju Malikah yang membalut tangannya dulu ketika di makam. Dia selalu membawa kain pembalut tersebut bersamanya selama ini.

Melihat kain pembalut lehernya, Malikah melirik Andika dengan heran. Andika pura-pura sibuk dengan kegiatannya membalut luka Malikah. Walau bagaimanapun keadaan mereka sekarang, tetap saja ia merasa canggung bila berdekatan dengan Malikah. Andika mencoba mencari Jazulan diantara pasukan dan pengikut Moullagar, namun sayangnya Andika tidak melihat keeradaan Jazulan dan Prof. Sugara. Mereka telah terpisah ketika menorobos gerbang yang hiruk pikuk.

"Jangan jauh-jauh dariku!" bisik Andika kepada Malikah. Malikah menganggukkan kepalanya cepat. Ia sangat takut, saat ini mereka berada di bumi para makhluk yang bukan manusia. Menurut Andika mereka semua dari golongan jin dengan berbagai macam jenis.

Manusia hanya untuk Bumi mereka saja. Tsaqil dan lapisan lainnya dihuni oleh makhluk berbeda, tapi bukan manusia.

Andika dan Malikah berjalan dalam rombongan prajurit dan kelompok pemberontak Moullagar. Rombongan yang terdiri dari hampir dua ratus orang itu, berjalan lambat menuju matahari terbenam.

Mereka berjalan diatas tanah keras yang didominasi oleh warna hitam dan merah tua. Disekeliling mereka yang tampak hanya batu dan bukit tandus. Udara terasa sangat dingin menusuk tulang. Angin yang berhembus membawa hawa dingin yang tidak biasa. Matahari ungu ditutupi kabut membuat mereka tidak tahu waktu apa saat itu yang sedang berlangsung. Namun melihat kegelapan yang mulai membayang sepertinya hari telah menjelang maghrib mendekati malam. Andika memperhatikan para seromon (manusia burung) dan par ular berkaki itu bwrjalan dengan tenang dan diam saja, seakan tidak merasakan dinginnya udara yang menusuk. Diliriknya Malikah dengan khawatir akan dinginnya udara, Malikah berjalan sambil bersedekap, jelas kelihatan udara dingin cukup mempengaruhi Malikah, namun karena pakaiannya cukup tebal, jadi untuk sementara ia merasa tenang melihat kondisi Malikah yang bertahan.

Mereka berjalan hampir dua jam, kini mereka memasuki hutan tanaman berduri yang memiliki daun lebar hijau kekuningan. Sangat indah ditimpa sinar matahari ungu kekuningan yang membuat tempat ini mirip dengan Agartha. Beberapa tumbuhan berduri tampak tumbuh dengan sulur-sulur panjang masuk kedalam tanah. Tetapi mereka belum bertemu dengan satu jenis makhluk hiduppun. Tidak tampak adanya sebuah tanda kehidupan disana.

Andika merasa Malikah yang berjalan disisinya menarik lengan bajunya. Andika menolehkan kepalanya melihat Malikah.

"Ada apa?" tanyanya pelan. Malikah menunjuk selembar daun pohon berduri ditangannya.

"Apa yang kau lakukan, jangan sembarangan menyentuh." Andika memperingatkan. Namun Malikah menarik lagi lengan bajunya.

"Lihat baik- baik katanya sambil menunjuk telapak tangannya yang menggenggam daun. Andika memperhatikan daun itu dengan heran. Perlahan sepasang mata terbuka ditengah daun melihat ada yang memperhatikannya dengan serius, daun itu bergulung sendiri. Andika tercengang melihatnya dan menatap Malikah dengan takjub.

"Itu binatang?" tanyanya heran. Malikah mengangkat bahunya.

"Dia hinggap di bajuku tadi. aku pikir daun. Tapi dia menempel tidak mau lepas.

Lalu Malikah memasukkannya kedalam kantung bajunya yang besar.

"Lucu kan?" tanya Malikah tersenyum senang. Andika hanya menggelengkan kepalanya acuh.

* * *

Khulandar terlempar disebuah taman yang dipenuhi tanaman bunga ungu bercampur merah yang bersinar. Seperti lampu hias, tanaman itu bergantungan didaha-dahan pohon besar berdaun kecil. Khulandar berdiri dan memperhatikan sekelilingnya. Ia melihat sebuah bangunan tinggi berdinding hitam tegak menjulang bagaikan kastil besar. Sepertinya ia terlempar disebuah taman istana yang sangat sunyi. Kastil itu mirip istana, besar megah tetapi sangat sunyi dan tidak terawat. Seperti telah ditinggalkan ratusan tahun.

Ia beranjak dan menaiki tangga yang berada disisi kastil menuju sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Ketika kakinya menapak didepan pintu, tiba-tiba pintu terbuka dengan bunyi gemuruh dan terpaan angin debu dari dalam kastil.

Khulandar memperhatikan bangunan dengan seksama. Ruangan besar didepannya menunjukkan sebuah aula atau ruang singgasana seorang Raja. Ia mengenal tempat ini. Di ujung aula terletak sebuah kursi emas besar dibawah naungan kubah melengkung besar berukiran singa dan burung.

"Agraa Moun, bisiknya pelan sambil melangkah perlahan menuju singgasana berdebu yang berdiri kokoh dan dingin.

Ya....itu adalah istananya. Singgasana itu adalah miliknya. Dulu ia duduk disana memerintah sebagai seorang raja yang sangat kuat.. Kerajaannya, Agraa Moun, adalah salah satu kerajaan terkuat di Tsagil bagian barat. Ia memerintah dengan sangat kuat dan kejam. Tidak ada tempat di wilayah barat Tsaqil yang luput dari jajahannya. Semua penguasa wilayah barat mengaku tunduk dan patuh pada kekuatan Agraa Moun yang tak kenal ampun. Kerajaannya merupakan penguasa wilayah barat dan sebagian utara, ia adalah seorang penguasa yang sangat ditakuti lawan dan disegani kawan, dan kini setelah ribuan tahun, ia kembali.