[Neo Gaia]
Bertahun-tahun sudah terlewati semenjak Sihir pertama kali di perkenalkan di dunia ini. Era teknologi maju pun berakhir, dan manusia masuk ke era baru. Era dimana Sihir digunakan sebagai komponen utama dalam menjalankan hidup, era Neo Gaia. Dataran bumi pun sudah berubah. Ada dua daratan besar di bumi. Daratan Inndergheim, dan Daratan Mourvergheim. Masing-masing daratan memiliki kerajaannya masing-masing.
Di Daratan Inndergheim, terdapat dua kerajaan besar. Kerajaan Einhimburg, dan Kerajaan Lunseiburg. Sementara itu, di Daratan Mourvergheim, terdapat satu kerajaan besar yang menguasai Daratan Mourvergheim. Yaitu, Kerajaan Zinzen.
Kerajaan Zinzen memiliki seorang raja yang sangat kuat. Bahkan orang-orang menganggap raja ini adalah raja bumi. Ia terkenal sebagai orang yang sangat kejam. Ia memiliki satu Sihir yang belum siapapun pernah melihatnya. Orang-orang menyebut sihir itu sebagai "Sihir Sebenarnya". Karena raja itu, tidak ada yang berani melakukan penaklukan terhadap Kerajaan Zinzen. Disaat dua kerajaan lainnya melakukan perjanjian damai, hanya Kerajaan Zinzen lah yang tidak ingin beraliansi dengan siapapun. Para penduduk Kerajaan Zinzen dikenal sebagai orang-orang kaya, yang sejahtera, dan menguasai banyak sekali sihir tingkat tinggi.
Kisah ini bermula, pada tahun 102 Neo Gaia. Dipinggiran sebuah desa kecil di Kerajaan Einhimburg. Disebuah tengah hutan liar.
[Tahun 102 Neo Gaia]
Seorang anak laki-laki tergeletak tidak sadarkan diri di tengah hutan liar. Ia memakai pakaian berwarna coklat yang sangat lusuh. Pakaiannya sobek-sobek, dan juga sangat kotor. Tubuhnya terlihat sangat lemah, kurus, dan benar-benar seperti mayat manusia. Hingga akhirnya, seorang pria paruh baya mendatanginya.
Pria itu mengenakan pakaian sangat rapih, berupa sebuah tuxedo, dan pita kecil di dekat kerah kemeja nya. Ia juga memakai sebuah topeng anti-radiasi, dan membawa sebuah pedang di pundaknya.
Pria itu merundukkan diri, memperhatikan anak kecil yang tidak sadarkan diri itu.
"Hei nak, bangun."
Pria itu menggoyangkan tubuh anak kecil itu, berusaha membangunkan anak kecil itu.
Pria itu memeriksa kondisi kesehatan tubuh anak kecil itu menggunakan sihir miliknya. Pria itu mengarahkan telapak tangannya kearah tubuh anak kecil itu. Lalu dari tangannya keluar lingkaran bercahaya berwarna merah. Lingkaran itu adalah lingkaran sihir. Setelah ia memeriksa kondisi kesehatan anak kecil itu, lingkaran sihirnya kembali menghilang.
"Ini buruk."
Pria itu mendapati bahwa anak kecil ini, kira-kira berumur 10 tahun. Organ dalam tubuhnya sudah tidak dapat berfungsi dengan baik. Otaknya juga sudah tidak dapat berfungsi lagi. Menurut pria itu, anak ini sudah di 'hancurkan' menggunakan sebuah Sihir yang sangat kuat.
"Baiklah, aku mungkin harus menyembuhkannya. Walau ini akan membuang waktu ku."
Pria itu mengangkat jari telunjuknya, lalu menempatkannya di kepala anak itu sambil mengucapkan sesuatu.
"Sembuh."
Seketika, tubuh anak itu bercahaya, lalu setelah cahayanya hilang, kondisi tubuh anak itu pulih seketika.
Anak itu perlahan-lahan membuka matanya, lalu ia melihat kearah pria itu.
"Kau... siapa?"
Anak itu bertanya dengan suara yang sangat kecil, dari suaranya terdengar bahwa anak kecil itu dalam keadaan sangat lemas.
"Itu tidak penting sekarang. Bagaimana dengan keadaanmu?"
"Aku... aku tidak... tahu."
"Hmm, begitu ya. Siapa namamu?"
"Namaku... namaku... aku tidak... ingat."
"Begitu ya..."
Pria itu mengerti apa yang terjadi pada anak kecil itu. Ia menganggap bahwa anak kecil itu kehilangan ingatan.
"Apa yang kau ingat terakhir kali?"
"Entahlah... terasa samar."
Pria itu mengangguk sedikit. Lalu pria itu berdiri sambil melihat kearah anak itu.
"Ambil ini nak."
Pria itu melemparkan sebuah pisau kecil kepada anak itu.
"Mungkin ini dapat membantumu bertahan hidup. Dan melindungi mu bila kau dalam bahaya."
Anak itu memegang pisau tersebut. Lalu ia melihat kearah pria itu.
"Terima... kasih."
"Tidak masalah."
Pria itu pun beranjak pergi. Tapi, sebelum ia melanjutkan langkahnya, ia berhenti sebentar.
"Nak, ikutilah jalan setapak ini. Nanti kau akan sampai di sebuah sungai. Ikutilah arus sungai tersebut. Di ujung arusnya, terdapat sebuah desa kecil. Kau bisa minta bantuan disana."
Pria tersebut pun melanjutkan langkahnya. Ia menghilang di kedalaman hutan.
Anak itu berdiri dan melihat kearah jalan setapak itu. Lalu ia mulai berjalan mengikuti jalan setapak itu.
Setelah beberapa menit berjalan, ia menemukan sebuah sungai. Sungai itu sangat bersih, airnya jernih, dan terlihat batu-batuan di dasarnya.
Suara kicauan burung terdengar di sekitar sungai itu. Suara hembusan angin pun ikut terdengar. Anak kecil itu mulai menyusuri sungai, mengikuti arusnya.
Hingga tiba-tiba, muncul tiga orang dihadapannya. Tiga orang tersebut masing-masing memakai sebuah jubah berwarna hitam. Mereka semua memegang parang. Tampang mereka terlihat seperti penjahat.
"Halo anak kecil."
Salah satu dari mereka mendekati anak itu. Ia menampakkan senyuman dan tatapan otang jahat.
"Siapa kalian?!"
Anak itu mundur perlahan.
"Tenang saja anak kecil. Kami tidak akan melukaimu. Kami hanya menginginkan uangmu."
"Uangku? Tapi aku tidak punya apa-apa."
"Jangan berbohong, anak kecil."
"Aku serius! Aku tidak punya apa-apa."
Pria yang berbicara tadi melihat kearah kedua temannya, lalu mengangguk kecil.
Seketika, mereka bertiga menodongkan parang mereka kearah anak kecil itu.
"Baiklah anak kecil, kalau kau memang ingin bersenang-senang dengan kami."
Mereka bertiga mendekati anak itu. Anak itu langsung lari ketakutan. Ia berlari kedalam hutan. Ketiga penjahat itu ikut mengejarnya.
"JANGAN LARI ANAK KECIL!"
Ketiga penjahat tersebut berlari mengejarnya sambil menodongkan parang mereka.
Disaat sedang berlari, anak kecil itu tiba-tiba tersandung batu.
"Uugh..."
Anak itu tersungkur di tanah. Para orang jahat itu langsung mengerumuninya.
"Rasakan ini anak kecil!"
Salah satu dari mereka mengayunkan parangnya kearah anak itu. Belum sempat parang tersebut mengenai tubuh anak itu, dari tangan anak itu keluar api berwarna hitam. Api hitam tersebut berubah menjadi sebuah pedang hitam. Pedang itu sangat panjang. Panjangnya melebihi tinggi anak itu.
Anak itu dengan refleks menahan serangan penjahat itu menggunakan pedang hitam tersebut.
Penjahat itu kaget
"Bagaimana bisa kau menahan seranganku?"
Penjahat tersebut terus menekan serangannya kearah anak itu. Anak itu mulai kewalahan menahannya.
"Aaarrghhh..."
Parang tersebut mulai menekan pedang hitam anak itu mendekati lehernya. Membuat sisi tajam pedang hitam itu mengarah ke leher anak itu.
"Matilah kau bocah!"
Saat sudah hampir menyentuh leher, tiba-tiba saja pedang tersebut bergerak melawan dorongan parang milik penjahat itu. Pedang tersebut bergerak dengan mudah seakan-akan ada yang menggerakkannya.
Benar saja, di sebelah anak itu, sudah berdiri seorang wanita. Wanita itu mengenakan gaun berwarna merah, ia memiliki postur tubuh yang tinggi dan memiliki rambut berwarna kuning yang panjang.
Tangan wanita itu mulai mendorong pedang tersebut melawan parang penjahat itu. Dan dengan mudah, penjahat yang memegang parang itu terpental kebelakang, sementara pedang tersebut sekarang dipegang oleh wanita itu.
"Aagh!"
Kedua teman penjahat itu melihat kearah wanita itu.
"Siapa kau?!"
Salah satu dari mereka berdua bertanya. Wanita itu hanya membalas dengan tersenyum dingin.
Kedua penjahat tersebut menampikkan wajah kesal. Lalu teman mereka yang tadi terpental bangkit kembali, dan langsung memerintah kedua temannya.
"Cepat! Bunuh wanita itu!"
Kedua penjahat yang masih berdiri langsung berlari menyerang wanita tersebut.
Wanita itu menempatkan tangan kirinya di belakang pundaknya. Ia menampilkan postur tubuh seakan-akan dapat menghabisi penjahat itu dengan sekali serang.
Dan benar saja, dengan sekali tebasan dari pedang hitam itu, perut ketiga penjahat itu terbelah. Isi tubuh mereka keluar, dan darah mereka berceceran.
Wanita itu menurunkan pedangnya kembali, lalu menghela nafas.
"Fiuuh... hampir saja."
Lalu wanita itu melihat kearah anak itu. Ia melihat wajah anak itu merasa ketakutan. Wanita itu pun tersenyum.
Wanita itu merendahkan tubuhnya, lalu melihat kearah mata anak itu. Ia pun mengelus-elus kepala dari anak kecil itu sambil tersenyum.
"Tenang saja, semua akan baik-baik saja."
Wanita itu tersenyum. Anak itu merasa malu sambil mengalihkan pandangannya.
"Baiklah, sampai ketemu lagi ya-"
Belum sempat wanita itu ingin pergi, anak itu memegang kakinya.
"Tunggu dulu!"
Wanita itu melihat kearah anak itu.
"Ada apa?"
"Kau... kau siapa?"
Wanita itu kembali mendekati anak itu sambil merundukkan diri.
"Namaku Vlasyka. Aku adalah roh dari pedang hitam ini."
Wanita itu memberikan pedang hitam nya kepada anak itu.
"Aku berada di dalam pedang ini, aku akan datang bila kau dalam bahaya."
Sekali lagi, wanita itu mengelus-elus kepala anak itu.
"Baiklah, sampai ketemu lagi lain waktu."
Wanita itu tersenyum. Ia berubah menjadi api berwarna hitam dan masuk kedalam pedang hitam tersebut. Tidak lama kemudian, pedang hitam itu ikut berubah menjadi api berwarna hitam dan menghilang.
Anak itu kembali berdiri. Ia mulai mencari kembali sungai yang tadi ia ikuti. Tidak lama kemudian, ia menemukan sungai itu kembali.
Setelah hampir 3 jam mengikuti arus sungai tersebut, akhirnya ia sampai di sebuah desa. Saat ia tiba di desa tersebut, hari sudah mulai gelap. Matahari sudah berada si ufuk barat. Ia pun bersegera menuju ke gerbang desa itu.
Setibanya ia di gerbang desa, ia langsung masuk kedalam desa. Ia melihat beberapa penduduk desa mulai masuk kedalam rumahnya masing-masing. Ya, wajar saja. Hari sudah mulai gelap.
Lalu tiba-tiba, seorang penjaga desa mendatangi anak itu.
"Hei nak! Apa yang kau lakukan di luar rumah malam-malam seperti ini? Kau tahu kan, malam hari adalah saat dimana para Goudan berkeliaran."
"Goudan?... Apa itu?"
"Haduh, kau ini bagaimana sih? Sudah jelas Goudan adalah makhluk-makhluk aneh yang menyerang kita di malam hari menggunakan sihir."
Anak itu tampak masih tidak mengerti.
"Ah sudahlah, lebih baik kau masuk ke rumah sana!"
"Tapi aku... tidak punya rumah."
"Haaa????"
Si penjaga desa terlihat kesal.
"Aagh, baiklah. Kau ikut aku sekarang juga. Kita akan menuju ke kantor Kepala Desa."
"Kepala Desa? Untuk apa?"
"Aagh kau ini. Sudahlah jangan banyak bicara. Ikut aku!"
Si penjaga desa itu menarik lengan anak kecil itu. Ia memaksanya untuk mengikutinya.
Setibanya di kantor Kepala Desa, penjaga desa itu langsung menuju ke depan ruangan kepala desa.
"Permisi, Pak Kepala Desa?"
Sang Kepala Desa keluar dari ruangannya. Ia adalah seorang pria paruh baya. Wajahnya terlihat sangat dewasa, rambutnya pun berwarna biru gelap.
"Jadi begini Pak Kepala Desa..."
Penjaga Desa itu menjelaskan apa yang terjadi. Lalu Kepala Desa mengangguk seakan mengerti situasi yang sedang terjadi.
"Baiklah, aku akan berbicara dengan anak ini."
"Terimakasih Pak!"
Penjaga desa itu pun pergi meninggalkan kantor Kepala Desa.
"Baiklah nak, silahkan masuk."
Mereka berdua pun sekarang berada di sebuah ruangan kerja milik Pak Kepala Desa. Mereka duduk berhadapan.
"Baiklah anak kecil, siapa namamu?"
"Namaku..."
Belum selesai memikirkan namanya, tiba-tiba terlintas dipikirannya sebuah nama,
ALEXANDER
"Namaku, Alexander."
"Hmm, baiklah Alexander. Aku lihat sepertinya kau bukan berasal dari desa ini. Kau berasal darimana nak?"
"Aku... tidak tahu."
"Apa kau punya orang tua?"
"Entahlah... aku lupa..."
"Apa yang kau ingat kalau begitu nak?"
"Aku... tidak ingat... apa-apa."
"Hmm, begitu ya. Baiklah, aku akan meminta organisasi penampungan anak untuk memberikanmu tempat tinggal. Apa itu tidak apa?"
Anak itu mengangguk.
"Bagus."
Kepala Desa pun menggunakan Sihir Telepati untuk berkomunikasi dengan pengurus penampungan anak. Ia menempatkan jarinya di telinga untuk mengaktifkan sihir tersebut.
"Pengurus penampungan anak, apa kau disitu?"
Seseorang berbicara didalam telepatinya.
"Iya Pak Kepala Desa, ada apa?"
"Apa kau masih memiliki satu kamar untuk satu anak lagi?"
"Ada Pak."
"Baiklah, aku akan mengantarkan anak ini kesana."
"Baik Pak, kami tunggu."
Kepala Desa melepaskan jarinya dari telinga.
"Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku adalah Daemi Rittz, Kepala Desa Lumicorff."
Kepala Desa pun mengantarkan Alexander ke sebuah bangunan tua. Bangunan itu memiliki tiga tingkat.
Kepala Desa mengetuk pintu bangunan tersebut. Lalu dari dalamnya keluar seorang ibu-ibu tua. Ibu-ibu itu adalah seorang pengurus tempat penampungan itu.
"Nyonya Hie, ini anak yang aku maksud. Bisakah kau mengurusnya?"
"Oh tentu saja Tuan. Ayo nak, masuk kedalam."
Diajaknya oleh Nyonya Hie Alexander agar masuk kedalam.
Setelah masuk kedalam bangunan tersebut, Alexander di bawa menuju ke lantai 2 dimana disitu terdapat kamar yang kosong.
"Baiklah nak, ini kamarmu. Anggaplah seperti rumah sendiri ya."
Ibu-ibu pengurus tempat itu tersenyum kearah Alexander. Ia membereskan sedikit bagian dalam dari kamar kosong itu. Ia pun menyalakan lampu minyak yang tertempel di dinding.
Ukuran kamar itu tidaklah begitu besar. Di dalamnya terdapat satu meja belajar, satu tempat tidur, dan jendela yang menghadap keluar bangunan. Dari jendela itu dapat terlihat pemandangan Desa Lumicorff.
"Baiklah, aku sudah selesai membereskan kamarnya. Silahkan masuk."
Alexander memasuki kamar itu.
"Oh ya, jangan lupa, besok sarapan pada pukul 6 pagi. Karena itu jangan kesiangan ya."
Alexander mengangguk.
"Baiklah, selamat tidur."
Ibu itu keluar dari kamar dan menutup pintu kamar tersebut dari luar.
Alexander naik keatas kasur lalu berbaring. Ia masih merasa sangat bingung dengan apa yang terjadi pada hari ini. Ia tidak ingat apa-apa, bahkan tidak tahu tentang dirinya sendiri. Lalu ia bertemu dengan pria bertopeng, setelah itu dihadang penjahat, lalu bertemu roh pedang. Ia benar-benar merasa bingung.
"Huuahh..."
Alexander sudah menguap. Ia sudah tidak bisa menahan kantuknya. Tanpa pikir panjang ia langsung menutup matanya lalu tidur.
Keesokan harinya.
"Alexander! Bangun!"
Mata Alexander masih sangatlah berat. Ia berusaha perlahan-lahan membuka matanya. Samar-samar ia melihat seorang anak kecil. Ia laki-laki dan sepertinya seumuran dengannya. Anak itu mengenakan kaos berwarna biru. Rambutnya berwarna coklat panjang dan bagian belakangnya diikat membentuk gumpalan kecil. Sementara di dekat kedua telinganya terlihat beberapa helai rambut yang sangat panjang hingga menyentuh lehernya.
"Bangun!"
Alexander pun memaksakan dirinya untuk bangkit. Lalu duduk sebentar.
"Iya iya sabar!"
Wajah Alexander masih sangat lemas seakan-akan tidak bernyawa. Ia menggaruk-garuk rambutnya. Setelah diam sebentar, ia melihat kearah anak yang membangunkannya itu.
"Kau siapa?"
"Aku Daniel! Salam kenal ya!"
Daniel tersenyum sambil memberikan tangannya seperti hendak bersalaman. Alexander menggenggam tangannya itu.
"Namaku Alexander. Salam kenal juga."
Keduanya saling tersenyum.
"Baiklah Alexander, sarapan sudah siap. Semuanya sudah di bawah kecuali kau."
"Iya aku tahu."
Mereka berdua pun berjalan keluar dari kamar dan menuju lantai 1. Di lantai 1 anak-anak yang lain sudah berkumpul untuk sarapan.
"Selamat pagi Alexander!"
Ibu pengurus asrama itu menyapa Alexander.
"Selamat pagi Bu."
Alexander duduk bersama yang lain ditemani oleh Daniel. Ibu pengurus pun datang dan membagikan piring-piring untuk mereka. Makanan pun dihidangkan dan semua anak langsung memakannya dengan lahap. Tak terkeuali Alexander.
Seusai makan, para anak-anak lainnya mulai memakai seragam dan mengambil tas jinjing mereka untuk bersiap bersekolah. Alexander terlihat bingung dengan apa yang mereka lakukan. Lalu ia bertanya kepada Daniel.
"Daniel, apa yang kamu dan yang lainnya akan lakukan?"
"Oh, kami akan berangkat sekolah."
"Sekolah?"
"Iya benar, sekolah. Apa kamu tidak pernah bersekolah sebelumnya Alexander?"
"Tidak..."
"Hmm, begitu ya. Baiklah, aku akan bertanya kepada Ibu Pengurus apa kau boleh ikut denganku ke sekolah."
Daniel dan Alexander pun mendekati Ibu Pengurus yang sedang mencuci piring.
"Bu, apa Alexander boleh ikut ke sekolah?"
"Hmm? Apa Alexander memang ingin sekolah?"
"Iya Bu. Boleh kan?"
Ibu itu melihat kearah Alexander.
"Apa kau ingin bersekolah?"
"I..ya."
"Baiklah. Tunggu sebentar ya."
Ibu itu berbalik badan, lalu menenpatkan jarinya di telinga. Dia melakukan telepati dengan pihak sekolah.
"Halo Tuan Kepala Sekolah Desa?"
"Ya halo, Kepala Sekolah disini. Ada apa?"
"Salah satu anak di penampunganku ingin bersekolah, apa Tuan masih memiliki bangku kosong?"
"Berapa umurnya?"
"10 tahun kira-kira."
"Hmm, begitu ya. Tapi pertama-tama aku ingin data kependudukan anak itu. Apa dia sudah di daftarkan kedalam daftar kependudukan?"
"Belum."
"Kalau begitu daftarkanlah dulu. Setelah itu temui aku di kantorku."
"Baiklah Tuan Kepala Sekolah. Terimakasih banyak."
Ibu itu melepas tangannya, lalu melihat ke Alexander.
"Baiklah, ibu akan membawamu ke Kantor Kependudukan Desa terlebih dahulu. Daniel, kau boleh berangkat duluan."
"Baik bu! Sampai bertemu lagi Alexander."
Daniel pun pergi meninggalkan mereka berdua.
Ibu pengurus pun meminta Alexander untuk bersiap-siap berangkat menuju Kantor Kependudukan. Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat.
Setibanya di Kantor Kependudukan, Ibu itu membawa Alexnader ke meja depan.
"Permisi Pak, saya ingin mendaftarkan anak ini ke daftar penduduk."
"Baiklah bu, akan kami persiapkan {layar} pengisiannya."
"Baiklah."
Alexander bingung dengan sesuatu yang bernama 'layar' itu.
"Bu, apa itu layar?"
Ibu itu tersenyum."
"Lihatlah ini nak."
Ibu itu menggerakkan dua jari tangan kanannya. Jari telunjuk dan jari tengah. Lalu ia menggerakkan jari tersebut dengan gerakan yang seakan ia sedang mengetuk sesuatu. Lalu tiba-tiba, muncul sebuah menu melayang. Menu itu disebut {layar}. Di dalam menu tersebut, terdapat identitas pribadi ibu itu. Seperti nama, tempat tanggal lahir, tempat tingga, tinggi badan, berat badan, dan juga foto identitas. Selain itu, di dalam menu tersebut juga terdapat daftar sihir yang sudah dikuasai, jumlah uang yang dimiliki, dan juga daftar nama-nama orang yang disebut teman untuk berkomunikasi dengan mereka.
"Layar hanya dapat di gunakan bila kau sudah terdaftar di daftar penduduk. Karena itu aku membawamu kemari untuk mendaftarkanmu di daftar penduduk."
Petugas pendaftaran pun kembali dengan keadaan {layar} yang sedang terbuka di depannya. Di {layar} itu terdapat angket pendaftaran penduduk.
"Ini dia Nyonya, akan saya kirim ke layar Nyonya."
Petugas itu menempatkan dua jarinya di {layar} lalu menggerakkannya seakan-akan memindahkan {layar} miliknya kepada {layar} milik ibu itu.
Ibu itu lalu mengisi angket tersebut. Cara mengisi angket tersebut yaitu dengan menekan {layar}, lalu akan muncul {layar} lainnya yang berisi kumpulan huruf dan angka. Untuk menuliskan isian kedalam angket, cukup dengan menyentuh salah satu huruf yang ingin dimasukkan.
"Baiklah, selesai. Ini dia angket nya."
Ibu itu mengembalikan {layar} angket tersebut kepada petugas.
Dengan ini, Alexander sudah terdaftar sebagai warga di Desa Lumicorff, yang berada di Kerajaan Einhimburg.
"Baiklah, sekarang aku akan mengantarmu ke sekolah."
Sementara itu, di Sekolah Desa. Para murid sedang mengerjakan ujian yang berada di {layar} mereka. Cara guru memberikan ujian tersebut sama seperti para petugas Kantor Kependudukan memberikan angket pendaftaran penduduk.
Daniel terlihat sangat pusing. Di {layarnya}, terdapat dua puluh soal yang harus diisi. Sementara ia baru mengisi dua soal.
"Haduuhhh, soal macam apa ini. Padahal kan kami masih siswa tingkat 1."
Daniel menunduk, lalu menempelkan kepalanya di meja dan tidur.
Tiba-tiba saja, guru mereka berdiri.
"Baiklah anak-anak, bapak minta perhatian kalian sebentar."
Para murid memperhatikan guru mereka dengan seksama. Tidak terkecuali Daniel.
"Hari ini, kalian akan kedatangan murid baru."
Semua murid merasa sangat penasaran. Diantara mereka ada yang berbisik-bisik menanyakan siapakah murid baru itu.
"Baiklah. Murid baru, silahkan masuk."
Dan ternyata, murid baru yang masuk ke kelas itu adalah Alexander.
"Murid baru, silahkan kau perkenalkan diri."
"Perkenalkan, namaku Alexander."
Pada akhirnya, Alexander dapat bersekolah. Ia dan Daniel sehari-hari selalu membicarakan apa saja yang mereka lakukan di sekolah. Mau saat sedang di sekolah itu sendiri, atau saat sedang berada di kamar asrama. Mereka berdua pun menjadi sahabat yang sangat baik.
Namun, setelah tiga tahun bersekolah, mereka akan menghadapi suatu ujian yang sangat berat bagi siswa di Sekolah Desa, walau mereka saat itu sudah menjadi murid tingkat 3, namun ujian ini sangatlah berbahaya. Bahkan pada sejarahnya, ujian ini selalu memakan korban.
Inilah, ujian siswa tingkat 3, Ujian Bertahan Hidup.