Chereads / Neo Gaia / Chapter 4 - Chapter 3

Chapter 4 - Chapter 3

Banshee itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Daniel merasa sangat ketakutan. Ia merasa bahwa hidupnya akan berakhir di sini. Ya, di hutan dimana banyak sekali orang yang datang berkunjung dan tak pernah kembali lagi, Hutan Selatan.

Banshee itu mengangkat kapak nya. Lalu mengayunkan kearah Daniel.

Daniel hanya menatap dengan tatapan kosong kearah Banshee itu. Ia pasrah.

Kapak Banshee itupun mengarah ke Daniel. Lalu...

SSSSSRRRKKKKK

Banshee itu berhenti bergerak. Lalu perlahan-lahan di tubuhnya terlihat sobekan-sobekan yang membuat isi dari tubuh Banshee itu keluar. Darah dari Banshee itu pun muncrat keluar, mengenai wajah Daniel. Daniel masih tidak dapat bergerak karena tidak mengerti apa yang baru saja terjadi di depannya.

Tubuh Banshee itu pun hancur berserakan. Lalu, samar-samar terlihat di belakang Banshee itu. Seorang anak laki-laki berumur kisaran 12 tahun, sama seperti Daniel.

Anak itu memiliki rambut berwarna coklat, rambut yang Daniel mengenalnya. Ia mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang digulung hingga ke sikut, dan juga celana berwarna coklat. Ia membawa sebuah tas kecil di pinggangnya.

Tangan kanan anak itu mengeluarkan api berwarna merah.

Daniel sangat mengenali anak itu. Postur tubuh, warna rambut, dan gaya berdirinya.

Anak itu pun berbalik badan dan menghadap kearah Daniel.

"Sudah lama tidak bertemu, kawan."

Anak itu tersenyum kearah Daniel. Daniel sangan mengenali wajah itu.

"ALEXANDER!!"

Daniel tersenyum bahagia. Ia sangat senang sekali karena pada akhirnya dapat bertemu dengan sahabat nya.

"Yo Daniel, maaf ya aku terlambat. Jadi apa yang terjadi?"

Daniel menceritakan semua yang terjadi semenjak masuk ke area berdarah itu.

"Mmm, begitu ya."

Alexander mengangguk sebagai tanda mengerti.

Alexander melihat kebelakang Daniel. Ia melihat dua anak lainnya. Yang satu berambut merah dan memakai kacamataa, yang satunya lagi botak tidak berambut.

"Bagaimana dengan mereka? Apa mereka tidak apa?"

Daniel menoleh kebelakangnya. Lalu mendekati mereka berdua. Yang berambut merah adalah Nier, ia adalah sang ketua kelas. Dan yang botak adalah Meeins.

"Aku.. tidak tahu. Sepertinya, ini sudah terlambat bagi mereka."

Ya, kondisi mereka berdua sangatlah parah. Mereka terbaring dengan keadaan tak berdaya, dan dari kepala mereka mengucurkan darah sangat banyak yang membuat tanah yang terkena kepala mereka menjadi berwarna merah.

"Tidak, belum."

Alexander berjalan mendekati tubuh mereka berdua. Lalu mengambil sesuatu dari tas pinggangnya. Ia mengeluarkan dua buah jarum berwarna hijau.

Ia merunduk dan melihat tubuh mereka lebih dekat. Kedua jarum yang ia pegang masing-masing di tusukkan kepada masing-masing mereka.

"Apa yang kau lakukan Alexander?"

"Ini adalah ramuan yang kubuat saat sedang berguru dengan kakek tua itu. Ramuan ini dapat menyembuhkan siapapun yang ditusuk jarum ini."

Jarum itu bukanlah jarum kecil biasa. Dia pangkal jarum itu terdapat seperti ruang kecil yang berisi ramuan yang dijelaskan oleh Alexander. Bentuk jarum itu seperti jarum suntik yang biasa digunakan oleh para dokter. Tidak lama kemudian, Nier dan Meeins membuka mata mereka perlahan-lahan. Lalu mereka bangkit perlahan-lahan dan duduk.

"Aagh... apa... yang terjadi?"

Nier bertanya kepada Daniel.

"Kalian terpental terkena serangan Banshee itu. Tapi sekarang sudah tidak apa. Alexander baru saja membunuhnya."

Nier dan Meeins melihat kearah Alexander.

"Terimakasih banyak."

Mereka berdua menundukkan kepala mereka kepada Alexander.

"Ah, tidak apa. Ini sudah tugasku sebagai teman kalian."

Mereka berempat pun mengobrol sebentar. Tiba-tiba Nier teringat sesuatu.

"Tunggu, bagaimana dengan teman-teman kita yang lain?"

Daniel ikut terkejut.

"Aku akan mencoba menghubungi mereka dengan telepati."

Daniel lalu membuka {layar} miliknya. Ia membuka {daftar teman} yang ada di {layar}. Ia pun berusaha menghubungi mereka dengan {telepati}, namun tidak ada yang menjawab.

"Tidak.. ada yang menjawab."

Mereka semua kaget mendengar jawaban Daniel.

"Apa mungkin... mereka semua sudah..."

Meeins mulai memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Begitu juga dengan Nier dan Daniel. Namun tidak bagi Alexander. Alexander pun mengaktifkan {Sihir Pengamatan}.

"Sihir Pengamatan!"

Pupil mata Alexander berubah menjadi warna biru. Ia pun mengamati semua area di sekitarnya. Ia pun mendapati bahwa banyak sekali murid yang kabur keluar dari Hutan Selatan ini. Ada beberapa yang sudah meninggal karena terpental sangat jauh. Namun ternyata ia menemukan ada juga yang selamat. Jumlahnya sekitar lima orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Mereka duduk ketakutan di bawah sebuah pohon. Ia pun menjelaskan keadaan yang ia lihat kepada tiga temannya.

"Begitu ya."

Nier merasa sedikit kecewa. Sebaga ketua kelas, ia tidak percaya teman-temannya ada yang mati mendahuluinya. Bukan hanya itu, ia juga kecewa dengan mereka yang lebih memilih meninggalkan ujian ini.

"Baiklah, mau tidak mau, untuk saat ini kita harus mengumpulkan mereka yang selamat terlebih dahulu."

Alexander memberitahu kepada mereka, apa yang harus dilakukan pertama-tama.

"Lalu, kita lanjutkan ujian ini."

"Baik!"

Mereka bertiga menjawab serentak.

"Tapi... kudanya..."

Daniel melihat kearah kuda-kuda mereka. Kuda-kuda mereka lari entah kemana.

"Ya sudahlah, mau tidak mau kita harus berjalan kaki."

"Apa kau yakin Nier?"

"Tentu saja. Alexander, kau dapat mengetahui posisi mereka kan?"

"Tentu."

"Bagus."

Mereka berempat pun berjalan mencari kelima murid yang masih selamat.

Tidak lama kemudian, mereka menemukan keempat anak yang masih selamat. Namun salah satu di antara mereka berlima terlihat pucat. Kulitnya putih dan terlihat sangat tidak sehat. Wajahnya seperti wajah manusia yang mati, tidak memiliki tenaga.

"Apa yang terjadi padanya?"

Alexander bertanya kepada salah satu dari mereka berlima.

"Dia... dia keracunan."

Jawab salah satu anak perempuan.

"Hmm, begitu ya."

Daniel, Meeins, dan Nier menatap dengan kasihan kearah anak laki-laki yang terlihat seperti keracunan dan hampir lagi.

"Yah, mau bagaimana lagi. Aku tidak dapat menyembunyikannya lagi dari kalian."

Semuanya menatap kearah Alexander.

"Apa maksudmu, Alexander?"

Alexander tidak menjawab pertanyaan dari Nier. Ia pun mengangkat tangan kanannya dan mengarahkannya ke tubuh anak yang keracunan.

"Heilfhen."

Alexander mengucapkan mantra {Heilfhen}, yaitu sebuah {Sihir Penyembuhan} tingkat lima di mana sihir-sihir diatas tingkat empat menggunakan mantra berbahasa Ni'okh --sebuah bahasa khusus yang digunakan untuk merapal mantra sihir tingkat empat keatas.

Setelah Alexander merapalkan mantra tersebut, tangan kanannya diselubungi oleh cahaya berwarna hijau. Lalu tubuh anak yang keracunan juga ikut diselubungi oleh cahaya berwarna hijau. Seketika, kondisi tubuh anak itu kembali pulih. Namun anak itu masih belum menyadarkan diri.

"Sudah."

Semuanya hanya terdiam.

"....!"

"EEEHHHHH??????"

Semua teman-teman Alexander yang menyaksikannya menggunakan sihir tingkat lima itu terkejut. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Seorang Alexander, yang masih berada di tingkat tiga Sekolah Desa, dan masih berumur tiga belas tahun, dapat menggunakan sihir tingkat lima.

"Alexander... bagaimana kau..."

Daniel tidak dapat menyembunyikan ekspresi wajanya yang sangat terkejut itu. Ia masih menganga melihat sihir milik Alexander.

"Oh sihir ini? Ini adalah sihir tingkat lima yang kupelajari dari kakek tua di hutan itu."

"Iya, aku tahu itu sihir tingkat lima. Yang aku tanyakan, bagaimana kau sanggup menanggung kekuatan sihir yang berada di atas tingkatanmu?"

"Oh iya, aku lupa memperlihatkannya padamu."

Alexander membuka {layar} miliknya, lalu memperlihatkannya kepada Daniel. Daniel semakin tidak percaya. Ia melihat di {layar} milik Alexander, bahwa {Tingkat Sihir} milik Alexander sudah mencapai {Tingkat 5}.

"Kau..."

Melihat Daniel yang kelihatannya sudah tidak fokus dengan tujuan mereka mendatangi kelima anak ini, Nier kembali mengingatkan dia.

"Sudahlah Daniel. Daripada itu, apakah kalian berlima tidak apa?"

Nier menanyakan kondisi kelima anak itu. Lima anak itu terdiri dari dua perempuan, dan tiga laki-laki. Dua perempuan itu memiliki wajah yang identik dikarenakan mereka adalah anak kembar. Sama-sama memiliki pupil biru dan rambut berwarna kuning yang diikat menjadi ikatan ekor kuda. Mereka berdua terbilang pendek dibandingkan teman-teman seumurannya di kelas. Mereka berdua bernama Lina dan Lisa.

Sementara tiga anak laki-laki lainnya bernama Albert, Ivan, dan Ron. Albert berambut hitam panjang yang diikat dengan model cepol dan mata yang ber-pupil biru. Ivan berambut biru tua pendek dengan poni panjang yang menutupi mata kanannya. Ia memiliki pupil berwarna hitam. Dan yang terakhir Ron. Ia memiliki rambut berwarna hitam dan ber-pupil hitam. Ia adalah anak yang tadi keracunan. Ketiganya memiliki tinggi yang sama.

"Ron, apa kau sudah tak apa?"

Nier melihat kearah Ron. Ron pun perlahan-lahan bangun dan berdiri.

"Ya, aku sudah tidak apa."

"Baguslah."

Albert melihat kearah Nier dan bertanya.

"Ketua kelas, apa yang akan kita lakukan sekarang? Hanya kitalah yang tersisa dan masih ingin mengikuti ujian ini. Selain kita kalau tidak kabur ya mati."

Nier berpikir. Belum selesai berpikir, Alexander angkat bicara.

"Kita akan melanjutkan ujian ini. Tugas kita hanyalah tiba di pesisir selatan dengan selamat."

"Itu artinya... kita harus... me-melewati tempat berdarah ini?"

Kedua anak perempuan kembar itu bertanya kepada Alexander.

Alexander pun mengambil sesuatu dari kantongnya. Itu adalah sebuah kompas kecil. Ia melihat kearahnya dan mencari arah mata angin selatan. Setelah itu ia kembali melihat ke mereka berdua.

"Iya benar. Mau bagaimana lagi."

"Tapi kita sudah tidak punya kuda lagi."

Ivan merasa perjalanan itu tidak akan mulus bila tidak ada kuda.

"Itu tidak masalah selama kita dapat tiba dengan selamat."

Alexander membalas keluhan Ivan.

Setelah berpikir, mereka berlima pun akhirnya men-setujui keputusan Alexander. Alexander pun mengangguk. Lalu ia melihat kearah Nier sebagai isyarat menanyakan keputusannya.

"Baiklah, kita akan mengikuti rencanamu."

Nier pun memutuskan untuk mengikuti rencana Alexander.

Pada akhirnya, sembilan anak itu pun kembali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kearah selatan. Mereka melewati banyak sekali pepohonan tinggi, mendengar suara hewan-hewan di sekitar mereka, dan merasakan panasnya terik matahari.

Tidak terasa, matahari mulai terbenam. Langit sudah berwarna oranye dan hewan-hewan memasuki sarang mereka. Alexander menghentikan langkahnya lalu melihat kearah teman-temannya.

"Kita akan bermalam di sana."

Alexander menunjuk ke sebuah tanah lapang tidak jauh di sebelah barat mereka.

Mereka semua pun menuju ke tanah lapang itu.

Ada satu masalah, mereka lupa membawa perlengkapan berkemah mereka.

"Sial, aku lupa membawa perlengkapan kemahku."

"Iya, tasku tadi terlempar saat aku jatuh dari kuda."

Albert dan Ivan yang menyadari hal tersebut langsung menghampiri Alexander.

"Jadi bagaimana ini, Alexander?"

Ivan bertanya ke Alexander.

"Kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Aku pun tidak membawa perlengkapan berkemah. Kita akan tidur di tanah."

"Siapa yang akan menjaga kita?"

Lisa dan Lina bertanya.

"Berdoalah... semoga kita akan selalu aman."

Mereka bertujuh pun tidur di tanah tanpa menggunakan tenda.

Esok paginya, saat mereka terbangun tidak ada sesuatu yang mencurigakan.

"Syukurlah..."

Alexander bergumam kecil.

"Baiklah, kita akan melanjutkan perjalanan kita."

Mereka semua melanjutkan perjalanan.

Di tengah-tengah perjalanan, Nier dan Meeins terlihat kelaparan. Tubuh mereka semakin lemas. Nier pun bertanya kepada Alexander.

"Alexander, apa sebaiknya kita mencari makanan terlebih dahulu? Kita dapat berburu hewan-hewan liar."

"Baiklah, kita akan berhenti dulu sebentar. Aku, Nier, dan Ivan akan mencari hewan buruan. Daniel, Albert, Ron, Meeins, Lisa dan Lina, kalian tetaplah di sini."

"Baik!"

Saat mereka ber-enam menunggu ketiga temannya berburu, Daniel bertanya kepada Albert.

"Hei, apa kau yakin kita akan tiba di tujuan?"

"Entahlah..."

Di dekat mereka, Lisa dan Lina sedang tertidur di bawah pohon.

Tidak lama kemudian, tiga murid yang bertugas berburu sudah kembali.

"Maaf sudah membuat kalian menunggu!"

Ivan berteriak kearah Albert.

"Makanlah."

Alexander mempersilahkan teman-temannya untuk makan sambil memberikan daging hasil buruannya kepada teman-temannya. Daging itu berupa daging sapi dan kelinci. Ia pun tersenyum senang.

Tidak lama kemudian, mereka melanjutkan perjalanan kearah selatan. Pada akhirnya, mereka tiba di kaki Gunung Selatan. Mereka pun mendaki gunung itu, melewati lereng bebatuan, hutan yang lebat, dan bertemu hewan-hewan aneh yang disebut sebagai 'makhluk gunung'.

Saat mereka sedang lewat di depan sebuah goa besar, tiba-tiba terasa ada getaran keras.

"Apa ini??"

"...gempa?!"

Alexander berusaha mencari sumber getaran. Ternyata sumber getaran tersebut berasal dari dalam goa.

"Semuanya, menjauh dari goa!!"

Semuanya pun menjauhi goa tersebut. Dari dalam goa, terdengar suara yang keras dan berat.

"SIAPA YANG BERANI MENDATANGI GUNUNGKU?!"

Semua murid hanya bisa terdiam. Mereka tidak bisa bergerak. Yang mereka rasakan hanyalah takut. Mata mereka tidak dapat berkedip. Wajah mereka dipenuhi dengan ketakutan.

"Mungkinkah ini..."

Meeins teringat dengan buku-buku legenda yang dulu sering ia baca. Ia teringat, akan suatu makhluk yang tinggal di Gunung Selatan. Makhluk itu lebih kuat dari Goudan dan memiliki kesadaran sendiri. Makhluk itu adalah..

"...Iblis Gunung?"

Dari dalam goa tersebut, keluarlah sesosok bertubuh manusia raksasa. Tinggi manusia normal hanya setinggi lututnya. Tubuhnya sangatlah kekar dan keras. Warna kulitnya hitam legam dengan sedikit bulu di dadanya. Makhluk itu berkepala banteng, dengan mata berwarna merah pekat dan tanduk yang sangat besar dan terlihat menyeramkan. Tangan kanannya membawa sebuah tongkat raksasa.

"LARII!!"

Alexander berteriak. Teman-temannya pun berlari menjauhi goa itu. Mereka berlari kearah selatan mengikuti trayek perjalanan mereka. Belum jauh mereka berlari dari goa itu, tiba-tiba di hadapan mereka muncul monster itu dari atas. Ia jatuh dengan cara menahan kakinya agar dapat tetap berdiri.

"AAAAAAAAA"

Lisa dan Lina berteriak ketakutan.

Monster itu pun mengayunkan tangan kirinya berusaha memukul anak-anak itu. Anak-anak itu menyadari tangan monster itu dan segera kabur.

Monster itu mengangkat tangan kanannya sambil memegang tongkatnya. Lalu ia menghentakkan tongkat itu ke tanah. Seketika tanah di situ menjadi tidak beraturan. Ada tanah yang menjulang keatas ada pula yang longsor kebawah.

Anak-anak itu terpental dari tanah.

"AARRGHGHH"

Beberapa dari mereka teriak kesakitan setelah terjatuh ke tanah lagi.

"Alexander... apa itu.. ugh."

Daniel bertanya kepada Alexander sambil memegang tangan kanannya karena kesakitan.

"Aku... tidak tahu."

Alexander berada di belakang salah satu tanah yang menjulang keatas bersama Daniel dan yang lainnya.

"Aku yakin... itu adalah... Iblis Gunung."

Meeins sekarang benar-benar yakin bahwa ia telah bertemu dengan Iblis Gunung yang pernah ia temukan di buku legenda yang dulu sering ia baca.

Iblis Gunung itu kembali mengangkat tongkatnya. Ia arahkan tongkat itu ke langit seakan-akan ingin menggapai sesuatu.

Dari ujung tongkat itu, keluar bola sihir berwarna ungu. Dari bolah itu keluar api yang mengarah ke langit. Api itu menjulur seperti tali dan menyentuh langit. Setelah api itu menyentuh langit, awan-awan di langit menggumpal lalu membentuk seperti sebuah pusaran. Pusaran itu menggumpal, lalu dari pusaran itu keluar petir. Petir itu menyambar ke segala arah. Petir itu seakan-akan mengincar Alexander dan teman-temannya.

Salah satu sambaran itu tepat mengarah ke Alexander. Sebelum petir itu mengenai Alexander, ia mengarahkan tangan kanannya kearah petir itu lalu membuka telapak tangannya.

"Shield!"

Ia merapalkan salah satu mantra dari {Sihir Pelindung}, yaitu {Shield}. Sihir itu memunculkan sebuah perisai tembus pandang berwarna biru terang. Perisai itu luasnya cukup untuk melindungi mereka semua dari petir yang mengarah ke mereka.

Petir itu terpantulkan oleh perisai sihir tersebut.

"Hampir saja..."

Alexander bergumam.

Alexander melihat ke sekeliling. Setelah memastikan monster itu tidak mengarah ke mereka, mereka pun berjalan pelan-pelan melalui dataran yang sudah rusak dan tidak beraturan itu. Tidak lama kemudian mereka tiba di lereng menurun menuju pesisir selatan.

Dari tempat mereka berdiri. Mereka dapat melihat pantai selatan. Terdengar pula dentuman ombak menabrak batuan karang.

"Lihat! Itu pantai selatan!"

Nier berteriak.

Menyadari suara teriakan Nier yang sangat keras, Alexander langsung melompat kearah Nier dan menutup mulutnya menggunakan tangannya.

"Mmmpppft!"

Suara Nier terhalang dekapan tangan Alexander.

"Sssst! Diam kau! Bila kau berteriak, monster itu akan mengarah ke kita!"

Tiba-tiba, getaran dari langkah Iblis Gunung pun terasa kembali. Getaran nya semakin terasa seakan-akan iblis itu sedang mengarah ke tempat mereka berada.

"Semua berlindung!"

Daniel berteriak kepada teman-temannya yang lain. Mereka semua segera mencari batuan untuk berlindung di baliknya.

Setelah semua berhasil mendapatkan tempat berlindung, Iblis Gunung tiba di tempat mereka. Ia melihat ke sekelilingnya. Para anak yang bersembunyi dapat mendengar nafas makhluk itu yang berat.

Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah makhluk itu menjauh. Mereka semua pun keluar dari tempat persembunyiannya.

"Fiuuh... nyaris saja."

Alexander merasa lega.

"Kalau Nier tidak melakukan hal sebodoh itu, kita tidak perlu untuk bersembunyi seperti tadi."

Ivan mengomel kepada Nier.

"Iya-iya, maafkan aku."

Nier mengakui kesalahannya dengan cemberut. Merasa tidak enak karena telah menyusahkan teman-temannya dan merasa kesal karena dipojokkan secara yang bersamaan.

"Baiklah semua, kita akan melanjutkan perjalanan!"

Nier berkata kepada teman-temannya.

Mereka semua pun kembali melanjutkan perjalanannya.

Iblis gunung ya? Aku akan kembali menghadapimu, untuk menjadi kuat.

Alexander berpikiran seperti itu.

Tidak terasa, hari sudah mulai sore. Dan di hadapan mereka, sudah terdengar suara ombak yang sangat dekat. Itu artinya mereka semua sudah sangat dekat dengan pantai.

Benar saja, pada akhirnya mereka telah tiba di pantai selatan.

"HOREEE!"

Mereka bersorak gembira. Itu artinya mereka semua sudah berhasil menyelesaikan ujian dan sudah naik ke tingkat empat.

Saat mereka sedang bersorak gembira, tiba-tiba di hadapan mereka muncul sebuah {Portal Sihir}. Dari dalam portal sihir itu, keluar guru mereka. Guru yang keluar adalah sang pengawas ujian.

"Selamat anak-anak, akhirnya kalian dapat berhasil tiba di ujung pantai selatan. Dengan ini, kalian resmi menjadi murid tingkat empat."

Guru tersebut tersenyum kepada anak-anak.

Anak-anak itu bersorak gembira.

Keesokan harinya, di Sekolah Desa.

Para murid sedang berbaris di lapangan sekolah. Mereka semua berbaris untuk menyaksikan pelantikan murid-murid yang berhasil lulus ujian naik tingkat. Murid-murid yang ikut ujian namun kabur di tengah jalan harus menanggung malu karena tidak dapat naik tingkat.

Tidak lama kemudian, kepala sekolah mereka maju ke depan barisan.

"Selamat pagi anak-anak. Hari ini, kita akan menyaksikan beberapa teman-teman kita yang sudah lulus mengkuti ujian kenaikan tingkat."

Terlihat di wajah mereka yang lulus, muka yang berseri-seri karena senang telah berhasil lulus ujian. Tidak hanya Alexander dan teman-temannya saja, namun junior ataupun senior mereka juga ada yang mengikuti ujian kenaikan tingkat dan lulus.

Kepala sekolah pun mulai memanggil nama-nama yang sudah berhasil mengikuti ujian untuk maju ke depan. Dimulai dari tingkat dua, tingkat tiga, dan pada akhirnya mereka yang naik ke tingkat empat, Alexander dan kawan-kawannya.

Tidak lama kemudian, mereka sembilan anak itu sudah berdiri di depan barisan murid-murid. Alexander, Nier, Meeins, Ron, Ivan, Albert, Lisa, Lina, dan Daniel.

Mereka semua sudah berhasil naik ke tingkat empat.

Mereka pun bersorak gembira.

[Tahun 107 Neo Gaia]

Dua tahun kemudian, arena ujian kelulusan Sekolah Desa, Desa Mati Lumicorff Lama. Tempat ini berlokasi 20 Kilometer kearah timur dari Desa Lumicorff yang sekarang.

Disebut sebagai Desa Mati karena Desa ini dulunya merupakan lokasi Desa lumicorff yang asli, namun 17 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 90 Neo Gaia, untuk pertama kalinya muncul sebuah Goudan tipe baru. Goudan ini sangatlah mematikan dan mengerikan. Dikatakan bahwa Goudan ini sudah seperti penentu hidup mati seseorang.

Goudan ini adalah Goudan tingkat teratas dalam ordo Goudan, Goudan tipe Phantom, Phantomia.

Saat itu Phantomia kebetulan sedang lewat tempat itu. Menurut legenda, setiap tempat yang dilewati oleh Phantomia akan menjadi sarang Goudan dengan sekejap.

Benar saja, saat Phantomia melewati tempat itu, seketika dimana-mana muncul Goudan bertipe Ground, seperti Banshee dan Inca--Goudan yang saat itu menyerang desa dan dikalahkan kepala desa.

Saat ini, tempat itu hanya berupa bangunan-bangunan kosong yang beberapa diantaranya terdapat Goudan Ground seperti Dwarf--manusia kecil, hanya setinggi pinggang manusia biasa.

Tempat itu dijadikan area untuk ujian kelulusan mereka yang sudah mencapai tingkat lima Sekolah Desa.

FFFFHHHHH

Sebuah rumah hangus terbakar dan runtuh terkena serangan {Flima}, sebuah sihir penyerangan tingkat tujuh menggunakan api. Orang yang menggunakan sihir tersebut adalah seorang anak remaja berusia 15 tahun.

Anak itu mengenakan sebuah kemeja berwarna putih dengan dasi berwarna biru. Kemejanya terlihat sangat kotor terkena abu dari api yang ada di sekitar situ.

Anak itu berlari sambil mengejar sebuah Dwarf yang kabur darinya.

"Tidak akan kubiarkan!"

Anak itu kembali mengarahkan tangan kanannya kearah Dwarf yang sedang berlari di depannya.

"Flima!"

Keluar bola api seukuran bola sepak dari tangan anak itu. Bola api itu meluncur kearah Dwarf.

Dari punggung Dwarf muncul sebuah tameng transparan berwarna biru. Rupanya itu adalah sihir {Shield} yang digunakan oleh Dwarf itu.

"Sial! Kau tidak memberiku pilihan lain."

Anak itu berhenti lalu mengarahkan kedua tangannya ke langit.

"Flima Rain!"

Dari tangannya keluar api yang menjulur kelangit. Setelah api itu mencapai langit, api itu turun kembali seperti hujan dan tersebar kemana-mana. Salah satu hujan api itu mengenai Dwarf.

"GGRRUAAA"

Dwarf itu jatuh dan kesakitan. Tubuhnya perlahan-lahan dilahap api.

Anak itu hanya memperhatikannya dengan tatapan kosong.

"Sampai jumpa."

Anak itu menggerakkan tangan kanannya seakan-akan sedang memegang sesuatu. Lalu di antara jari-jari nya, keluar percikan listrik. Percikan listrik itu berubah menjadi sebuah tombak yang sangat panjang.

Anak itu langsung menusukkan tombak listrik tersebut ke perut Dwarf itu.

Tubuh Dwarf itu pun meledak. Daging dan darahnya tersebar ke segala arag--walaupun sudah banyak bagian yang hangus dan menjadi abu.

"Seratus lima puluh."

Anak itu bergumam. Ia menghitung berapa banyak Dwarf yang sudah ia bunuh di situ.

Ia pun meninggalkan tempat itu dan berjalan keluar dari Desa Mati.

Saat ia sampai di luar tempat itu, ia bertemu dengan dua temannya. Mereka berdua adalah dua orang yang termasuk dalam sembilan orang yang berhasil naik ke tingkat empat secara bersama. Dan sekarang dua temannya dan dirinya sendiri sedang melaksanakan ujian kelulusan dari Sekolah Desa. Dua anak itu adalah Nier dan Daniel.

"Bagaimana? Kau sudah selesai membereskan semuanya?"

Daniel berkata kepada anak itu.

"Yah, begitulah kira-kira."

Anak itu menghela nafas lega.

"Kau memang tak pernah berubah ya dari dulu..."

Meeins tersenyum kepada anak itu.

"...Alexander."