Akillah Sahilya. Gadis yang saat ini tengah berada ditempat penuh aroma obat-obatan. Selang infus yang masih melekat ditangan. Bibir yang terlupakan oleh gincu. Namun masih nampak cantik malah terkesan alami. Dia baru saja tersadar setelah kecelakaan lima hari lalu. Bisa dibilang akulah sang penyebab. Matanya menatapku sayu sedang berjalan masuk menghampirinya.
"Gilndut!" Dia masih memanggilku begitu. Aku juga masih memanggilnya Hilyok. Yah! Gilndut, Karena dulu aku memang gendut. Sementara Hilyok hanyalah nama aslinya yang aku plesetkan. Sebab dari dulu sampai sekarang tak satupun kekurangan fisiknya berhasil kutemukan untuk diolok-olok. Dan itu adalah salah satu alasan kecil mengapa aku jatuh cinta.
Serasa menghembuskan nafas yang ditahan selama berjam-jam. Lega. Kemarin aku sempat berpikir bagaimana jika kami tidak bisa melanjutkan kisah bersama. Tak kuasa menerima jika harus sad ending.
"Hey, Kenapa diam saja? Apa tidak melihat ini?" Mengaduk-aduk bubur dalam mangkuk.
Ah, dia tak membiarkanku hanya terdiam menikmati wajahnya. "Lalu?"
"Apa tidak mau menyuapiku sambil berkata dusta jika bubur ini tidak terlalu buruk untuk ditelan?"
"Aku bukan pendusta." Mengambil alih mangkuk ditanganya. "Sini aaak.... Makan bubur yang miskin rasa ini."
"Ahahaha!" Sambil menelan.
Kebersamaan kami memang selalu dipenuhi huruf H dan A jika diketik dalam tulisan. Kami sudah saling memiliki sejak belum mampu mengusap lendir di hidung masing-masing. Dan hari ini aku ingin memilikinya seutuhnya.
"Cincin?" Jelas saja dia bertanya-tanya ketika kusodorkan dua cincin dihadapanya.
"Aku menyukaimu Hilya. Tapi bukan suka yang selama ini. Melainkan suka yang berkeinginan memilikimu."
"Klotak" Sontak ia melempar kotak cincin hingga selang infusnya juga terlepas. "Apa kamu sudah gila?" Air matanya mengalir membasahi dunia. Ralat. Membasahi pipi
***
Normal sajakan ketika lelaki jatuh cinta terhadap perempuan yang sudah bersama sedari kecil? Lalu cemburu adalah hal wajar didalam mencintai. Apa lagi dia adalah tipikal yang banyak digandrungi lawan jenisnya. Dari mulai mahasiswa satu angkatan hingga para kakak tingkatan. Sebenarnya aku persis seperti dia. Bedanya ia memang gemar gonta-ganti pasangan. Mau bagaimana? Dia membenarkan sebuah istilah kamus anak jaman sekarang. Cantik mah bebas. Sementara aku tak pernah menggubris perempuan yang mati-matian mengejarku. Atau mereka yang sekedar memujiku Ganteng, tinggi atau apapun. Aku hanya terpaku pada dirinya.
Suatu malam, aku mengintai dibalik jendela bergorden putih. Pemandangan biasa saja jika dia diantar mobil mewah ataupun motor gede. Tapi kali ini ada hal beda. Dia baru turun setelah lelaki itu membukakan pintu mobil untuknya. Mereka saling beradu bibir sebelum berpisah. Aku tahu Hilya tak pernah melakukan ini sebelumnya. Sebab ia memang tak pernah serius dalam menjalin sebuah hubungan. Arrgh... Bikin kesal sendiri. Aku terus mengamati hingga mobilnya pergi. Tanpa sadar Hilya sudah berada di belakangku. Benar. Dia masuk rumahku. Karena kami memang tinggal satu atap. Dan dia adalah adiku. Inilah bagian yang tidak normal. Aku memang gila.
"Ehem! Enggak bisa jaga mata apa?"
Dari pada malu lebih baik aku memarahinya. "Kamu juga enggak bisa jaga diri apa? Sebagai perempuan kenapa terlalu mudah memberi ciuman! Akan ku laporkan pada Pap..."
"Sssst..." Membungkam mulutku dengan telunjuk. "Emmuah..." Tubuhnya proposional, hanya menjinjit sedikit dengan mudah ia meraih pipiku. "Aku hanya memberi pada orang tersayang." Pergi melambai.
Selalu begini. Ini benar-benar membuatku semakin menggila. Kenapa dia harus adiku? Hamba durhaka jika aku menyalahkan takdir. Saat seperti ini jadi teringat sebuah lirik lagu.
"Tuhan...berikan aku hidup satu kali lagi. Hanya untuk bersamanya..."
Maka aku berharap reinkarnasi itu nyata.
Ah sial! kenapa malah terbawa perasaan. Dalam kamus anak jaman sekarang disebut Baper. Menjijikan sekali.
***