Langit diluar sana sudah mulai redup, menandakan langit sore hari yang sudah menyambut. Bergitu juga dengan jalan raya yang tampak padat, dan beberapa pejalan kaki yang terus saja bermuculan. Aktivitas perkantoran sepertinya sudah selesai, sehingga banyak orang yang ingin segera pulang ke rumah.
Tapi berbeda dengan Melani, karena saat ini dia dan ibunya berada di sebuah restoran kecil yang ada di pinggir jalan raya. Tempatnya cukup sepi saat itu, dan mereka memilih untuk duduk dekat dengan sisi jendela.
Tidak ada Fani saat itu, karena dia sedang dalam keadaan marah. Sehingga Intan meminta putrinya untuk pulang ke apartemen, dan menunggu disana agar dia bisa berbicara bebas dengan Melani.
"Kamu hanya pesan kopi saja, apa mau bunda pesankan makanan lainnya?" tanya Intan, dan merasa ketika berbicara dengan Melani dia merasa sangat canggung saat itu.
"Enggak perlu bunda," jawab Melani singkat.
"Ahh... bunda tahu. Kamu pasti lagi diet ya? Disini ada salad juga, mau bunda pesankan yang itu saja ya?" Intan mencoba menawarkan hal lainnya, tapi Melani justru memberikan tatapan yang dingin.
"Bunda, Melani enggak mau makan. Jadi jangan paksa aku, dan... Melani mau tanya. Apa bunda dan ayah jadi bercerai?" Tanya Melani masih dengan sikap dingin.
Intan menunjukkan wajah yang terkejut, ketika Melani menanyakan hal yang termasuk berat untuk anak muda seusianya, tapi jika diperhatikan kembali wajah Melani, anak perempuan itu tampak tidak menunjukkan emosinya sama sekali.
"Apa kamu marah dengan apa yang bunda lakukan?" Tanya Intan ragu.
"Apa Melani berhak marah atas kebahagiaan bunda? Melani tahu selama ini bunda dan ayah, sudah tidak bisa bersama lagi. Melani tahu kalau bunda bertahan, hanya demi anak-anak bukan." Tebak Melani yakin, kedua tangannya yang berada di pangkuannya, saling meremas jari jemari dengan kuat.
"Lani, ucapan kamu ada benarnya dan ada salahnya juga. Ada beberapa hal yang bunda sulit untuk jelaskan sama kamu, dan bunda sendiri tidak yakin apakah kamu bisa menerimanya dengan baik," ucap Intan yang memandang lurus pada wajah putrinya.
"Katakan saja bunda, karena aku sudah cukup dewasa. Kalaupun bunda tidak ingin mengatakannya, maka Lani akan terjebak dengan pikiran Lani sendiri." Melani menunjukkan tekadnya, membuat Intan menghela napas dengan berat atas sikap putrinya.
"Selama ini bunda bertahan tidak hanya untuk kalian saja, tapi bunda bertahan karena bunda ingin melihat perubahan pada sikap ayahmu. Dulu sekali... ayah kamu orang yang semangat dan memiliki percaya diri yang tinggi." Intan mulai menjelaskan, tapi ada raut wajah kesedihan yang coba ia tutupi sekuat mungkin dihadapan putrinya.
"Singkatnya, semakin kesini bunda sadar kalau ayah kamu tidak akan menjadi orang yang dulu sekali bunda kenal. Dan bunda merasa sudah sangat lelah dengan semua ini, tapi... bukan berarti bunda tidak perduli dengan kalian." Intan memperlihatkan senyumnya yang lebar.
"Bunda sudah ada rencana untuk kalian, saat ini kakak kamu Rangga dan Adit biarkan di Yogya, bersama Bude disana. Bunda sudah siapkan sekolah yang bagus disana untuk Radit," Intan mulai menjelaskan dengan bersemangat.
Ketika Melani baru saja meletakkan satu tangannya diatas meja, segera saja diraih oleh Intan. Ia menggenggam kuat, dengan tatapan yang berbinar-binar seakan-akan sedang memberikan sebuah harapan baru kepada Melani.
"Nanti kamu sama Fani, kita bertiga bisa tinggal bersama. Jadi... kalian berdua tidak perlu khawatir lagi." Lanjut Intan dengan wajah yang ceria.
"Tinggal bersama? Apa itu termasuk dengan tinggal bersama dengan pria itu? bagaimana dengan ayah?" tanya Melani dengan sikap dingin, perlahan ia melepaskan genggaman tangan ibunya.
Mimik wajah Intan seketika berubah dengan cepat, sepertinya dia tahu kemana arah pembicaraan putrinya itu. "Kamu enggak mau tinggal bersama bunda?" tanya Intan.
"Setelah menikah apa bunda akan menikah dengannya? Apa itu artinya aku harus tinggal bersama dengannya juga, bagaimana kalau aku menolak? Bagaimana kalau Lani lebih memilih tinggal bersama dengan ayah?" pertanyaan Melani sungguh membuat mulut Intan mengatup rapat, untuk beberapa saat Intan sedang memikirkan jawaban yang tepat agar bisa dipahami oleh putrinya.
"Pram laki-laki yang baik, harus bunda akui dia laki-laki yang lebih bertanggung jawab jika dibandingkan dengan ayahmu. Dia mau menerima ibu apa adanya, dia sempat kecewa dengan sikap Fani beberapa saat lalu. Tapi semua itu akhirnya bisa dia pahami, karena ini bukan salah Fani seutuhnya. Ini semua salah bunda dan juga ayah. Kami sebagai orang tua tidak bisa memberikan contoh baik, jadi... bunda harap Lani mau menerima Pram." Intan memberikan senyum tipis dan kecil, kembali dia meraih tangan Melani.
Melani menatap genggaman tangan ibunya, ada perasaan yang aneh dan sulit dijelaskan. Tapi... rasa itu tidak nyaman, entah karena dia harus memilih ibu atau ayahnya, atau karena ibunya yang sudah bertekad bulat untuk segera bercerai.
***
Hari sudah malam dan Melani baru saja tiba dirumahnya. Ia pulang menggunakan taksi yang dipesankan oleh Intan, sekuat apapun ibunya membujuk. Melani lebih memilih pulang, karena pikirannya masih memikirkan keadaan ayahnya yang tak jelas dimana keberadaannya saat ini.
Melani baru saja tiba di pintu masuk rumah, ketika ia melihat ada sandal ayahnya yang tergeletak begitu saja. "Ayah? ayah... sudah pulang?" batin Melani senang, segera saja ia membuka pintu rumah yang tidak terkunci.
"Ayah? Ayah..." panggil Melani dengan suara yang lantang, dan dia segera saja menghidupkan semua lampu yang belum menyala.
Melani tidak menemukan siapapun diruang tamu, ia terus saja mengarah kearah ruang tengah. Tapi masih belum bisa menemukan keberadaan Bayu, "ayah...? ayah sudah pulang?"
Terdengar suara yang sedikit berisik, dan itu berasal dari dalam kamar ibunya yang sekarang ini sudah sangat kosong. Melani pun segera saja mengarah pada kamar ibunya, yang dulu sekali jarang di masukin oleh Bayu.
Benar dugaan Melani, ketika ia bisa menemukan Bayu yang sedang duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar pada sisi tempat tidur. Bayu dalam keadaan mabuk, dan kondisinya sangat memperihatinkan apalagi Banu yang dikenakan tampak kusut dan kusam.
"Ayah! Astaga... ayah minum? kenapa ayah baru pulang, ayah tahu enggak! Melani itu cari ayah kemana-mana, kenapa hp ayah enggak aktif!" Melani yang kesal, mencoba untuk memapah tubuh ayahnya agar bisa naik keatas tempat tidur.
"Lani... Lani... anak ayah... kamu masih disini? ayah pikir sudah tidak ada lagi yang mau tinggal bersama dengan ayah?" ucap Bayu dengan Isak tangis yang mulai keluar. "Aku ini ayah yang buruk bukan, kenapa kamu enggak tinggal saja sama ibu kamu. Ayah ini tidak pantas menjadi orang tua kamu. Ayah ini... ayah yang buruk!" Ucap Bayu masih dengan derai air mata yang masih terus mengalir.
"Ayah ini ngomong apa sih? bagaimanapun ayah... adalah ayah Lani. Dan enggak mungkin Lani tinggalin ayah, sekarang ayah harus ganti baju dan istirahat. Lani akan buatkan minuman hangat, agar badan ayah enggak sakit." Ujar Melani dengan kedua matanya yang berkaca-kaca, ia menahan kuat agar tidak menangis dihadapan ayahnya.
Bayu yang sudah duduk pada tepi tempat tidur, semakin menundukkan wajahnya. Dia berusaha untuk menutupi air mata yang terus saja keluar, merasa malu dengan tingkah lakunya sendiri. "Maafkan ayah Lani, maafkan... hk... hk... hk.." Ucapnya dengan suara parau.
"Tidak apa-apa ayah, tenang saja... ayah masih punya Melani disini, dan aku janji akan jaga ayah selalu," ucap Melani dengan menggenggam kedua tangan Bayu.
Hal itu sontak membuat Bayi menegakkan wajahnya, ia merasa sangat malu dihadapan putrinya. "Maafkan ayah, Lani." Bayu yang segera memberikan pelukan pada putrinya, sangat erat dan Isak tangis itu masih saja muncul.
Rasanya sangat menyedihkan, tapi ada perasaan lega ketika Melani merasa Bayu masih peduli dengannya. Setidaknya malam itu ayah dan anak itu bisa saling mencurahkan perasaan sedih yang selama ini dipendam kuat oleh keduanya.
Malam yang sangat berat bagi Melani, dia baru saja menutup kamar dan Bayu sudah tertidur pulas, usai meminum teh hangat dan obat tidur yang Melani temukan di salah satu kotak obat.
Dia kembali ke kamarnya, kembali dalam kesunyian yang tidak asing bagi Melani. Banyak hal yang dipikirkan oleh Melani, meskipun tubuh itu berbaring tapi pikirannya masih saja membawa Melani pada kejadian hari ini yang sudah ia lalui.
"Hhh..." Melani menghela napas panjang sambil ia memejamkan mata, kamar kecilnya terasa menjadi luas dengan hanya ada dia seorang saja.
"Aku harap semua akan baik-baik saja, aku harap ayah bisa terus bertahan meskipun sudah tidak ada bunda." Gumam Melani, dengan air mata yang berhasil lolos pada kedua matanya yang terpejam.
Dia memeluk guling dengan cepat, memiringkan tubuhnya dan mulai mengeluarkan Isak tangisnya yang ia tahan kuat. Malam itu malam yang menyedihkan bagi Melani, siapapun yang bisa mendengar tangis Melani yang tertahan kuat, akan tahu bagaimana dia merasakan kesedihan yang teramat dalam.