Setelah memotong-motong daging rusa itu, sang bayang hitam itu memanggangnya hingga matang. Tentu saja ia menggunakan tusukkan yang terbuat dari besi untuk memudahkannya dalam memanggangnya. Aku tidak tahu entah benar terbuat dari besi atau apa, saat memegangnya tidak terasa panas sama sekali. Bahkan, saat dibakarpun gagang besi itu tidaklah meleleh sama sekali.
Bentuk daging yang dipanggang itu nampak seperti barbeque, meskipun di sini kami tidak menambahkan bahan apapun. Seharusnya daging rusa ini bisa ditambahkan bumbu lagi dan beberapa sayuran yang ikut dipanggang bersamanya. Mungkin tidaklah jauh beda dengan barbeque dari daging beef.
Ah... Setiap kali aku melihat ke arah api itu, aku kembali melihat masa-masa indahku saat masih berada dalam istana. Ketika ibu dan ayah sibuk dengan pemerintahan, hanya Mozart yang senantiasa hadir di sisiku. Bahkan, aku hampir berpikir tengah memanggang daging rusa ini bersamanya.
Tetapi sebenarnya aku hanya bersama sesosok bayangan...
Iapun memutar batang besi itu agar seluruh bagian daging rusa itu bisa matang dengan sempurna. Saat aku melihatnya melakukan itu, kenangan di istana bersama Mozart kembali terngiang di depan mataku.
Apakah ini pertanda rindu?
"Dagingnya sudah matang, makanlah."
Iapun mengambil daging rusa itu dari pemanggang dan memberikannya kepadaku.
"Terima kasih."
Akupun menerimanya.
Aroma gurih yang begitu kuat bisa tercium di hidungku. Begitu menusuk, membuat selera makanku juga meningkat tajam.
Sejujurnya aku masih belum kenyang hanya karena separuh buah yang tadi aku makan. Karena aroma gurih yang begitu kuat ini membuat rasa laparku semakin menjadi-jadi.
Gigit.., kunyah.., telan..
Ah... Nikmatnya...
Apa yang pernah diceritakan Mozart memang benar. Rasa dari daging rusa ini sangat gurih dan lezat. Padahal, bayangan itu tidak menggunakan bumbu apapun. Ia hanya sekedar menusuk empat potong daging dalam tusukan besi kemudian memanggangnya begitu saja.
Soal tekstur dagingnya... Ternyata tidak terlalu keras, namun aku tak bisa menyebutnya lembut. Bahkan untuk menyebutnya empuk saja, terasa agak kurang? Aku hanya bersyukur gigi-gigi kecilku kuat untuk mengunyahnya hingga dapat ku telan melalui kerongkonganku.
"Bagaimana rasanya?"
"Enak sekali! Cuma... Memang agak sedikit keras dari daging beef yang biasa ku makan."
"Ya, begitulah rasanya daging rusa. Ini pertama kalinya kau memakannya, bukan?"
"Iya."
Aku masih berusaha mengunyah daging rusa di dalam mulutku. Mungkin akan butuh waktu yang agak lebih lama agar dapat menelannya.
"Syukurlah, aku senang kau menyukainya. Kalau begitu makanlah sampai kau kenyang." Tawarannya padaku.
Itu sangat baik sekali, tapi... Ia seolah tak ingin memakan hasil makanannya sendiri. Ada apa?
"Kau sendiri tidak makan?"
Ia diam sejenak.
Wajahnya sempat ditundukkan sesaat, ada sebuah helaan napas terdengar. Jika aku boleh menebak, aku yakin wajah itu tengah menampakkan kesedihan yang nyata.
"Karena wujudku sebagai Spectre, aku tak bisa melakukan kebiasaanku lagi sebagai manusia. Tidak makan, tidak minum.. sekalipun aku tak merasa lapar, tetap saja aku juga ingin merasakan bagaimana nikmatnya menyantap makanan sepertimu."
"Spectre?"
"Sang hantu. Makhluk demihuman berwujud bayangan hitam seperti yang kau lihat seperti sekarang ini, gadis kecilku." Jelasnya.
Mungkinkah ini adalah salah satu makhluk yang pernah diceritakan oleh orang-orang di istana? Spectre.
Mendengar perkataannya aku jadi merasa sangat menyesal.
"Maafkan aku."
"Umm?"
"Maafkan aku karena sudah merepotkanmu. Kau yang merawatku saat aku pingsan, kau juga yang sudah menyembuhkan kakiku, memberiku makanan, justru aku malah lari darimu."
Ada jeda sesaat, aku bisa merasakan ia tersenyum padaku.
Ia membelai kepalaku dengan tangannya yang berbungkus kegelapan. Iapun membalas pertanyaanku dengan nada lembut dan hangat...
"Tidak apa-apa. Sebenarnya, memang seharusnya kau takut pada makhluk sepertiku. Seharusnya gadis kecil sepertimu tidak ada di tempat ini! Lalu mengapa kau bisa sampai ke dalam hutan ini?"
Sebuah pertanyaan yang ku takutkan akhirnya terdengar. Bukan karena suatu alasan, aku hanya tidak tahu bagaimana caranya untuk menjawab pertanyaan itu.
Ia juga berkata aku sudah berada di sini dalam keadaan pingsan selama tiga hari. Bahkan mungkin lebih. Aku tidak tahu. Untuk menghitung hari saja aku sudah lupa, bagaimana caranya mengingat apa yang membawaku ke dalam hutan ini?
"Kau tidak ingat?"
Ini aneh, aku masih bisa mengingat beberapa kejadian sebelum berada di hutan ini. Ceritaku bersama dengan Mozart sang pelayan. Tetapi, mengapa aku bisa lupa caraku datang ke tempat ini? Sungguh, pikiranku benar-benar kosong! Aku tak punya jawaban untuk menjawabnya.
"Aku...aku... Aku tidak tahu. Bahkan aku tidak yakin mengapa aku bisa berada di sini?"
Sang Spectre diam sejenak.
"Kau ingat hal terakhir yang pernah kau lakukan sebelum berada di sini?"
Aku tidak begitu yakin, tapi sepertinya aku masih mengingatnya. Itu tepat sebelum aku terbangun di dalam hutan ini.
Yaitu ketika sore hari, ketika aku menikmati senja di dalam jendela kamarku. Saat itu, matahari berwarna jingga cerah dan indah tanpa ada awan yang membatasi. Burung-burung camar juga terbang ke arah matahari itu tenggelam, menambah suasana tenteram menjadi semakin syahdu.
Hingga suatu saat aku mendengar seperti ada yang membisikkan namaku dan memanggilku dengan lembut. Suara itu berasal dari hutan, hutan yang letaknya tak jauh dari istana. Mendengar panggilan itu aku berusaha mecari siapakah dia. Namun, tiada satupun orang yang ku temui selain mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Suara itu kembali terdengar dan memanggilku kembali. Membuatku semakin penasaran siapa yang memanggil. Hingga akhirnya....
Ah, astaga! Benar! Aku di sini karena kesalahanku sendiri!!
"Sihir pengendali pikiran: [hipnotis]." Ucap Sang Spectre mendengar ceritaku.
"Apa?!"
"Itulah sebabnya ingatanmu sedikit kabur. Kau telah dihipnotis oleh seseorang. Bukan, lebih tepatnya kau telah di hipnotis dengan menggunakan [Tunadi]."
"Sihir Tunadi? Sihir hipnotis jarak jauh, begitu?"
"Ya. Para penggunanya menggunakan angin sebagai perantara sihirnya sampai ke telinga target mereka. Sihir ini pada dasarnya pengaruhnya lemah, tetapi untuk gadis kecil yang polos sepertimu bisa dengan mudah terhipnotis oleh panggilannya."
Aku menundukkan kepala, ini sangat memalukan..
"Jangan sedih, ini bukan salahmu. Seharusnya kau dijaga dan dikawal dengan ketat, kan? Dimana para penjaga saat kau bisa pergi dari istanamu?"
"Aku tidak begitu yakin. Di istana aku hanya diperhatikan oleh satu orang saja yang tulus merawatku."
"Siapa, gadis kecil?"
"Pelayanku, dia memang ditugaskan untuk merawatku dan menjagaku di bawah perintah ayah dan ibuku. Aku memang senang bersamanya tetapi... Aku ingin sesekali orang tuaku yang memanjakanku sebagai putri mereka."
Sang Spectre terdiam sejenak, ia mungkin merasa sedih juga sepertiku.
"Harus kau tahu, hutan Spectrum ini adalah hutan magis, dimana banyak sekali makhluk hidup tinggal. Aku dan Paduka Arryutus hanyalah salah satu dari banyak ras yang hidup dalam hutan ini."
"Paduka Arryutus?"
"Raja Hutan yang hampir menerkammu."
Raja Hutan, ya? Jadi itu bukan hanya sekedar majas. Singa itu benar-benar raja hutan di sini?
"Oh, ya... Kenapa ia sempat menerkamku? Lalu, mengapa ia sangat membenci manusia? Tragedi apa yang kalian bicarakan?"
Tunggu dulu! Aku tidak salah langsung menanyakan semua itu padanya? Mengapa aku baru memikirkannya setelah mengucapkannya. Bodoh!
Bayangan itu masih diam enggan menjawab.
Apa yang harus ku lakukan? Apakah dia marah?
"Itu cerita yang panjang, gadis kecil. Aku tak bisa menceritakan semuanya padamu." Jawabnya.
Ia masih menggunakan nada hangat dan lembutnya. Tetapi, aku tahu kau menyembunyikan sesuatu Ksatria Terkutuk.
Aku sudah menduga ia takkan menjawab pertanyaanku tadi. Aku masih bersyukur karena satu pertanyaan terakhir tak ku lepaskan begitu saja.
"Maafkan aku, aku terlalu banyak bertanya."
"Tidak apa-apa, aku tahu kau ingin tahu banyak. Tetapi, tidak semuanya bisa ku beritahu. Aku berjanji akan menceritakan semuanya pelan-pelan. Lebih baik kau habiskan dulu saing rusamu ini. Ambilah! Tambah lagi jika kau mau."
Tidak ku sadari, aku sudah memakan tiga tusuk daging rusa yang ia berikan padaku. Sekarang di pemanggang tinggal tersisa dua lagi.
Sekalipun mulutku sudah lelah mengunyah, namun tetap saja perutku masih belum lelah dan ingin lagi.
Menyimpan sejuta pertanyaan dalam kepalaku, aku lebih memilih diam dan melanjutkan makanku sampai habis. Ini juga termasuk bentuk penghormatanku padanya karena sudah membiarkanku makanan selezat ini.
"Oh, ya aku lupa memberitahu namaku. Kau bisa memanggilku Spectra. Siapa namamu, gadis kecilku?"
"Lily, Lily benet Piansa. Kau bisa memanggilku Lily."
"Lily..." Spectra bergumam.
Aku terpaku saat ia menyebut namaku seperti itu. Tidak seperti sebelumnya, aku tidak mengerti ekspresi wajahnya sekarang ini. Kebingungan??
"Nama yang indah. Sesuai dengan kecantikanmu, kau seindah bunga Lily..."