Namaku Lily, seorang putri Piansa yang terjebak di dalam sebuah hutan magis bernama Spectrum. Aku sempat berpikir diriku akan berada di sini dalam kesendirian. Tapi sosok bayangan yang menjadi tempat bersandarku saat lelah menyangkal segalanya.
Awal aku bertemu dengannya memang menakutkan, tetapi justru ia memberikan semuanya yang aku butuhkan. Setelah aku berada di tempat ini, aku benar-benar kehilangan segalanya. Kehangatan, cinta, kelembutan, dan kasih sayang. Semua yang senantiasa ku dapatkan dari satu orang yang tulus, kini aku mendapatkannya kembali dari hanya satu orang yang tulus.
Dialah Spectra, Sang Spectre.
Ia membelai lembut kepalaku di kala aku tidur di atas pangkuannya. Di tengah kerinduanku kepada pelayan itu, dia seakan datang sebagai pengganti pelayan tersebut. Atau mungkin, Spectra adalah Mozart di dalam hutan ini. Begitulah dalam hatiku, selalu merasakan kehadirannya dalam sosok bayangan nyata di depan mataku.
Setelah bercerita banyak dari siang hingga malam dengan bekal hanya daging rusa yang dipunyainya, aku bisa tertidur pulas dan nyenyak. Entah kenapa, aku memercayainya melebihi kepercayaanku kepada Mozart sebelumnya. Di atas pangkuannya ini, aku merasa aman. Makanku yang dingin berubah menjadi hangat saat aku bersama dengannya.
Ia terus membelai kepalaku, hingga akhirnya aku benar-benar sampai menjelajahi alam mimpi.
Wahai bunga tidur, cerita seperti apa yang ingin kau berikan padaku?
Sebuah mimpi yang klise?
Aku tidak tahu.
Di dalam kegelapan, aku berdiri dan mengangkat kepalaku. Aku berusaha mencari penerangan agar aku dapat melihat, tetapi aku tak dapat menemukannya.
Hingga aku berjalan sedikit ke arah depan, tanpa aku tahu kemana ku menuju. Tiba-tiba ada nyala api terang terlihat bersinar di depan mataku.
Saat aku mendekati cahaya itu, kian jelas sosok yang membawa api itu. Ia adalah sosok ksatria. Ksatria yang membawa obor dalam kegelapan. Obor itu laksana pelita sehingga siapapun di sekitarnya dapat melihat.
Lalu, tiba-tiba ksatria itu berubah...
Aura kegelapan laksana asap hitam mengitari tubuh ksatria itu. Lalu ia mulai diselimuti oleh kegelapan. Mulai dari kaki hingga perlahan naik menutupi seluruh tubuhnya.
Ksatria itu berteriak: "Tolong aku!" Seraya memberikan tangannya padaku.
Akupun berusaha menolongnya dan memberikan tanganku kepada ksatria itu. Menggapainya dengan segenap tenagaku. Meskipun aku tidak tahu mengapa aku harus menolongnya? Siapakah ksatria itu sebenarnya?
Hingga aku menggapai tangannya yang berotot itu, sebuah cahaya menyilaukan membutakan mataku. Mengusir kegelapan yang nyata itu dan mengubahnya menjadi tempat yang terang dan berwarna putih. Namun masih sama seperti sebelumnya hanya sebuah ruang kosong tak berisi selain hanya ada aku dan ksatria itu.
Aku membuka mataku dan sempat menyadari kalungkulah yang mengeluarkan cahaya sebesar itu. Kalung pemberian Mozart yang terbuat dari Tritium. Mozart memang pernah bercerita padaku kalau bahan Tritium itu bisa bercahaya seperti lampu ketika dalam keadaan gelap. Tetapi, mengapa kalung tersebut tidak menyala sebelumnya? Padahal sebelumnya ruangan ini benar-benar gelap. Lalu, apakah bahan Tritium itu selalu mengeluarkan cahaya yang besar seperti tadi?
Aku tidak tahu.
Aku mengangkat kembali kepalaku dan melihat sosok ksatria itu. Tubuhnya masih berbalut kegelapan.
Tapi itu tidak lama...
Perlahan-lahan kegelapan dan bayang-bayang hitam di tubuhnya lenyap. Sosok ksatria gagah dengan baju besinya itu menutupi seluruh tubuhnya. Begitupun Wajahnya, tertutupi oleh helm besi yang senantiasa melindungi kepalanya dari berbagai macam serangan. Nampak beberapa goresan di sekujur baju zirahnya itu sebagai saksi perjuangannya selama ini.
Lalu taman indah yang penuh dengan bunga-bunga dan kupu-kupu menyusul mengubah laman putih kosong ini menjadi lebih berwarna. Di sana juga ada bunga lili berwarna putih terang dan cantik. Bunga itu mekar dan mengeluarkan semerbaknya yang harum.
Ksatria itupun pergi, ia memetik bunga lili itu.
Datang kembali ke hadapanku, iapun bertekuk lutut dan memberikan bunga itu padaku.
Itu membuatku tersipu malu.
Namun selama itu tidak ada satupun kata yang dikeluarkan, baik aku ataupun dia.
Hingga mimpi itu akhirnya berakhir di sini...
"Selamat pagi, Lily..."