Sekarang waktu istirahat siang.
Pelajaran olahraga memang selalu menguras tenagaku sehingga perlu bagiku untuk mengisi ulang tenagaku di kantin. Sebenarnya aku memiliki stamina yang lumayan, tapi karena pelajaran selanjutnya memerlukan konsentrasi dan kerja otak yang maksimal, aku harus menyuplai gula untuk otakku agar bekerja nanti.
Kadang-kadang, Taka mengajakku makan siang di kantin, tapi hari ini aku sama sekali tidak melihatnya. Fuyukawa-san juga beberapa kali mengajakku makan di kantin bersama murid kelas 2-D lainnya, tapi hari ini sepertinya dia makan siang di ruang klub karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan kepada anggota klub bola basket putri. Oleh karena itu, aku pergi ke kantin sendirian.
Setelah mengantri, aku memesan satu porsi gyuudon dan sebotol air mineral. Karena memiliki silver pin yang kupakai di dasi sebagai tanda perwakilan kelas, aku bisa makan secara gratis di kantin sekolah.
Aku mengambil nampan yang berisi menu makan siangku dan berbalik untuk mencari meja makan kosong. Saat sedang melihat ke seluruh arah kantin, seorang gadis berdiri dan melambai-lambaikan tangan kanannya. Mata kami pun bertemu dan dia tersenyum dengan lembut. Gadis itu seseorang yang kukenal. Gadis yang mengahabiskan waktunya akhir pekan kemarin bersamaku. Gadis itu adalah Taniguchi-san. Dia terus tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku pun menuju ke arahnya dan akhirnya dia berhenti melakukan itu.
"Amamiya-kun, ayo makan bersama," kata Taniguchi-san saat aku tepat berdiri di depannya.
"Ah, halo, Pelatih Amamiya."
"Halo."
Kulihat sampai ke ujung meja yang diisi orang ini, ternyata semuanya anggota dari klub bola voli putri. Ada beberapa gadis yang tidak kuketahui namanya, tapi aku familiar dengan wajahnya. Nazuka-san dan Shimizu-san juga sedang makan di meja ini. Jumlahnya tujuh orang.
"Ah, halo, semuanya. Memangnya boleh Aku makan di sini? Ini kan tempat kalian dari klub voli."
"Amamiya-kun kan juga sudah bagian dari klub kami. Benar, kan, semuanya?"
"Um. Kamu kan sudah bantu kami menang, Amamiya-kun."
"Benar. Amamiya-kun sudah jadi bagian dari klub kami sejak saat itu. Jadi nggak perlu sungkan."
"Dengar itu, Amamiya-kun? Kapten kami yang bilang, lho."
"Makasih, semuanya."
"Kalau begitu, duduklah. Mari makan."
"Ah, iya," kataku sambil duduk di kursi yang letaknya di ujung meja dan tepat di depan tempat duduk Taniguchi-san.
Shimizu-san dan Nazuka-san tersenyum dan tertawa bersamaan saat aku duduk. Sepertinya mereka mengingat apa yang kukatakan kemarin. Sepertinya itu memang hal yang memalukan. Seharunya aku memang tidak duduk di sini.
Taniguchi-san tersenyum. Senyumannya memang selalu indah untuk dipandang. Tanpa sadar, kubalas senyumannya dengan senyumanku dan melupakan perlakuan Nazuka-san dan Shimizu-san tadi. Dia tertegun dan berhenti menggerakkan sumpitnya. Aku menjadi bingung kenapa dia tiba-tiba seperti itu.
"Kenapa tiba-tiba berhenti, Taniguchi-san?
"…"
Dia masih terdiam dan tidak menggerakkan sumpitnya.
Sekitar tiga detik kemudian, dia menggerakkan mulutnya.
"Ah, ng-nggak ada apa-apa. Mari makan, semuanya!"
"Um, ya. Itadakimasu."
Gyuudonkantin ini memang enak. Dagingnya banyak, lembut, dan rasanya seperti meleleh saat masuk ke dalam mulut. Memakan daging saat sedang terasa lelah dapat membuatku menjadi lebih baik dan tenagaku kembali pulih. Aku selalu memilih menu ini di hari Senin karena pelajaran olahraga membuatku lelah.
Beberapa saat kemudian, kami selesai makan siang. Beberapa anggota klub bola voli putri yang tidak kuketahui namanya sedang berbicara dengan santai menikmati sisa waktu istirahat siang. Nazuka-san dan Shimizu-san yang duduk di sebelah kananku juga melakukan pembicaraan kecil. Sementara itu, aku hanya menopang daguku dengan tangan kiri sambil memperhatikan mereka yang sedang berbicara dan juga ke arah lain yang aku sendiri tidak tahu apa yang kuperhatikan.
Mereka terus berbicara sambil tersenyum dan tertawa karena pasti mereka membicarakan hal yang menyenangkan. Pasti menyenangkan bisa berbicara dengan santai seperti itu sambil tersenyum dan tertawa.
Saat sedang melihat ke arah yang tidak menentu, mataku bertemu dengan mata seorang laki-laki berkacamata dengan tampang ikemen. Dia adalah Hiroaki Takahiro dari kelas 2-I.
"Ah, Ryuki… kamu makan siang sendirian?" tanyanya langsung saat melihatku.
"Nggak. Kamu bisa lihat, kan? Aku dengan klub voli putri."
"He…"
"Kamu sendiri, makan sendirian?"
"Nggak. Aku dengan teman seklub ini," jawab Taka sambil melihat ke arah temannya yang berada di belakangnya.
Aku melihat ke arah teman-temannya yang berada di belakangnya. Jumlah mereka lima orang, tiga perempuan dan dua laki-laki.
"Oh, klub fotografi, ya. Kalau begitu, makan terus sana!"
"Ya. Sampai nanti, Ryuki."
"Ya, Taka."
Taka dan teman-temannya berjalan menuju meja kosong.
Aku terus memperhatikan Taka dari belakangnya. Dari sini aku tahu kalau dia memang murid yang populer di sekolah ini. Saat dia berjalan, beberapa murid perempuan yang ada di kantin melihat ke arahnya. Auranya memang berbeda. Dia bisa menarik perhatian para gadis dengan aura ikemen-nya itu.
Seorang gadis dari kelompok Taka berbalik dan melihat ke arahku dengan tatapan mata yang tajam. Panjang rambutnya hanya sebahu dan tubuhnya tidak pendek untuk seorang gadis. Dengan perasaan yang sedikit terkejut dan panik, aku memalingkan pandanganku ke Taniguchi-san.
Taniguchi-san sepertinya sedang memandangai sesuatu yang ada di belakangku sambil minum dari sedotan minumannya. Karena penasaran, aku membalikkan badanku untuk melihat ke arah yang dilihatnya. Namun, tidak ada sesuatu yang spesial. Hanya ada beberapa murid laki-laki dan perempuan yang sedang makan di meja yang sama sambil bercengkerama.
Aku kembali melihat ke wajahnya dan sepertinya dia tidak melihat ke arah beberapa murid yang berada di belakangku, tapi sepertinya dia melihat ke arahku. Sambil terus menyedot minuman dari gelasnya, dia melihat ke arahku yang tepat berada di depannya. Namun, apakah benar kalau yang dilihatnya itu adalah aku?
"Taniguchi-san, sedang lihat apa?" tanyaku dengan nada yang sedikit lebih pelan.
"Ah, nggak ada kok."
"Begitu ya."
"Um, i-iya." Taniguchi-san menghabiskan minumannya, lalu melanjutkan. "Amamiya-kun kenal dengan Hiroaki-kun? Sepertinya kalian berteman dekat."
"Ah! Aku juga penasaran," kata Shimizu-san dengan rasa penasaran tergambar di wajahnya.
"Aku juga." Bahkan Nazuka-san ikut penasaran.
Tidak hanya itu, beberapa anggota klub bola voli putri yang berada di meja ikut penasaran juga dengan pertanyaan Taniguchi-san. Mereka berhenti berbicara dan melihat ke arahku.
"Um, ya… bisa dibilang seperti itu. Taka tahu tentang kecelakaan itu dan mungkin karena itulah kami menjadi dekat."
"Kenapa dia bisa tahu tentang kecelakaan itu?" Nazuka-san yang menyadari hal itu langsung menanyakannya.
"Tunggu… kecelakaan? Sebenarnya kalian bicarakan apa, sih?" Seorang gadis bertanya karena sama sekali tidak mengerti alur percakapan kami.
"Oh iya, kalian belum tahu, ya. Gimana, Amamiya-kun?"
Wajar saja karena hanya sedikit orang yang mengetahui tentang ini.
Klub bola voli putri sudah menganggapku bagian dari mereka dan juga sepertinya mereka sudah menganggapku sebagai teman, walaupun aku masih belum mengetahui nama mereka semua. Namun, mereka sudah menerimaku kehadiranku. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi bagiku untuk menyembunyikan tentang kecelakaan itu.
"Biar Aku yang ceritakan, Taniguchi-san."
Aku pun menceritakan tentang kejadian itu dan tentang bagaimana aku bisa masuk ke sekolah ini lagi di tahun kedua. Satu hal yang tidak kuceritakan adalah mengenai kedua orang tuaku yang sudah tiada.
Mereka yang pertama kali mendengar hal ini sedikit terkejut, sama seperti orang lain yang mengetahui tentang ini.
"Jadi… Taka tahu tentang kecelakaan itu karena dia…"
"…Berada di dekat tempat kejadian itu," kata Nazuka-san memotong perkataanku.
"Ya, benar sekali."
"Kalau begitu, bukannya Hiroaki-kun tahu gadis yang Amamiya-kun selamatkan?" Nazuka-san benar-benar tajam.
"Dia bilang nggak tahu. Sudah kutanya waktu itu."
"Tapi… apa itu benar?"
"Hm…?"
"Apa maksudmu, Izumi?" Taniguchi-san bertanya menggantikanku.
"Begini… Hiroaki-kun tahu kalau Amamiya-kun yang menjadi korban saat itu karena berada di dekat tempat kecelakaan itu. Bukannya aneh kalau dia nggak tahu siapa gadis yang Amamiya-kun selamatkan? Bukannya dia seharusnya tahu karena berada di tempat itu?" Pikiran Nazuka-san benar-benar tajam.
"Berarti Hiroaki-kun membohongi Amamiya-kun?"
"Tunggu dulu, Shimizu-san. Terlalu cepat untuk menyimpulkannya. Taka bilang waktu itu dia langsung memanggil guru dan disuruh masuk. Jadi dia nggak bisa melihat wajah gadis itu."
"Hm… bisa saja Hiroaki-kun menyembunyikan sesuatu."
"Ah, kamu berpikiran seperti itu, Hitoka? Aku juga. Pasti ada informasi yang sengaja nggak diberitahu kepadamu, Amamiya-kun."
"Tapi Shimizu-san… untuk apa Taka nggak bilang informasi itu?"
"Mungkin saja Hiroaki-kun berjanji dengan gadis itu untuk nggak memberitahukannya padamu, Amamiya-kun."
"Itu mungkin saja, Amamiya-kun."
"Kemungkinan, ya."
"Ya, masih sebatas kemungkinan. Kemungkinan itu pasti nggak satu, kan?"
"Benar."
Bel berbunyi yang menandakan waktu istirahat makan siang telah berkahir. Saat meletakkan kembali nampan sebelum kembali kelas, aku menyempatkan diriku untuk bertanya kepada Taniguchi-san tentang suatu yang menggangguku hari ini.
"Taniguchi-san," kataku seperti berbisik.
"Ada apa, Amamiya-kun?"
"Aku mau tanya sesuatu."
"Mau tanya apa?"
"Kemarin, apa aku mengatakan hal yang memalukan?"
"Oh, tentang itu. Tentu saja bukan. Aku, Izumi, dan Sumire merasa senang karena bisa mengetahui tentang Amamiya-kun." Taniguchi-san menjawabnya dengan senyuman di wajahnya.
"Tapi… Nazuka-san dan Shimizu-san dari tadi seperti menertawakanku. Mereka tersenyum dan juga tertawa."
"Ah… itu tandanya mereka berdua sedang gembira. Seperti yang kubilang tadi."
"Begitu, ya."
"Um."
Ternyata aku hanya salah sangka terhadap mereka berdua. Mereka tidak menertawakanku atas apa yang kukatakan kemarin, melainkan mereka berdua senang karena sudah mengetahui tentangku dan sudah menjadi temanku.
Kami pun kembali ke kelas masing-masing untuk melanjutkan kegiatan belajar, tapi masih ada satu hal lagi yang mengganggu pikiranku.
Benar apa yang dikatakan Taniguchi-san tadi. Kemungkinan tentu saja ada, tapi nilai kebenarannya masih belum bisa dipastikan.
Saat pertama kali makan siang dengan Taka, ekspresi dan nada bicaranya berubah saat kutanya apakah dia melihat gadis itu. Apakah benar dia tidak mengatakan dengan jujur dan masih menyembunyikan sesuatu? Ini membuatku penasaran.
Aku juga penasaran kenapa dia bisa mendapatkan nomor ponselku waktu itu. Dia bilang mendapatkannya dari Hiratsuka-senseidengan nada bicara yang berbeda daripada biasanya. Dia mengatakannya seperti sedang memberikan jawaban yang dipikirkan terlebih dulu, bukan secara spontan karena sudah mengetahui jawabannya. Bisa kukatakan kalau sebenarnya dia tidak meminta nomor ponselku dari sensei,tapi dari orang lain. Saat itu hanya Fuyukawa-san yang mengetahui nomor ponselku. Apa berarti dia memang meminta nomor ponselku dari Fuyukawa-san? Dia juga pernah mengatakan kalau pernah sekelas dengan Fuyukawa-san yang memungkinkannya untuk bisa meminta nomor ponselku darinya.
Ah… memikirkan hal ini tidak ada gunanya. Memang benar kalau aku ingin mengetahui siapa gadis yang kutolong itu, tapi tetap saja aku tidak dapat mengetahuinya kalau hanya berpikir. Aku harus mencari tahu. Tapi… aku harus melakukan apa? Kalau kutanya pada Taka, pasti dia mengatakan hal yang sama seperti waktu itu. Teman macam apa aku ini yang mencurigai temannya sendiri? Sudah, sudah, aku berhenti saja. Lebih baik kufokuskan pikiranku untuk mendengar penjelasan dari guru dan belajar sebagaimana mestinya seorang murid SMA.
Pasti waktunya akan tiba saat di mana aku mengetahui kebenaran siapa gadis yang kutolong itu dan siapa orang yang menabrakku itu.
"Kebenaran itu hanyalah satu," dan "Kebenaran akan selalu terungkap," kata seorang detektif fiksi yang sering kubaca sewaktu kecil dulu.