Waktu terus berjalan hingga akhirnya tibalah waktu pulang sekolah setelah bel berbunyi yang menandakan waktu belajar hari ini telah berakhir.
Pikiranku masih melayang-layang akibat memikirkan apa yang dikatakan oleh Taniguchi-san dan kawan-kawan saat makan siang tadi. Saat belajar tadi, aku tidak terlalu bisa fokus walaupun aku berusahan untuk fokus. Perkataan mereka terngiang-ngiang di pikiranku.
Aku masih berada di kelas, menopang dagu di tangan kiri sambil melihat ke arah lapangan. Sekarang sudah tidak hujan lagi, tapi lapangan tampak sedikit basah. Saat kulihat ke atas ternyata ada awan hitam besar yang siap menurunkan hujan di sekitar sini. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi.
Beberapa murid kelas ini sedang bersiap-siap untuk membersihkan kelas karena jadwal piket mereka. Aku sadar hal itu dan meninggalkan kelas menuju ruang klub. Sebelum itu, aku mampir ke perpustakaan untuk meminjam buku. Sangat membosankan bila harus menunggu seseorang klien tanpa melakukan apa-apa. Selain itu, aku dan Shiraishi-san juga tidak terlalu melakukan tukar-menukar frasa.
Masuk ke perpustakaan, aku melihat Namikawa-san sedang duduk di konter perpustakaan sambil membaca sebuah buku. Melihatnya yang sedang asik membaca, kuurungkan niatku untuk menyapanya. Sekarang, aku menuju rak buku fiksi untuk mencari bahan bacaan untuk dibaca di ruang klub dan di rumah.
Keadaan perpustakaan saat ini sedikit lebih ramai atau hanya perasaanku saja,ya.
Aku berkeliling di rak buku fiksi hingga mendapatkan satu novel yang menarik perhatianku saat membaca blurb-nya. Novel ini kubawa ke konter untuk kupinjam. Ah, aku tidak melihat Kayano-san di sini. Mungkin saja dia sudah pulang.
Namikawa-san sama sekali tidak menyadari kehadiranku di depannya dan terus membaca. Kukira dengan berdiri di dekatnya, dia bisa menyadariku, ternyata tidak. Aku pun memamanggilnya, "Namikawa-san."
Dia dengan cepat menutup buku yang dibacanya dan melihat ke arahku yang sudah berdiri di depannya dari tadi.
"Amamiya-kun…"
"Halo."
"Halo. Mau pinjam buku, ya?"
"Iya. Ini bukunya," jawabku sambil menyerahkan novel tadi.
"Baiklah," Namikawa-san mengambil novel itu dan dicatat di buku peminjaman.
Setelah selesai, dia memberikan buku itu kepadaku.
"Ini bukunya. Silakan dinikmati."
"Makasih."
"Sama-sama."
"Kalau begitu, Aku ke ruang klub dulu. Sampai jumpa, Namikawa-san."
"Ya. Sampai jumpa lagi, Amamiya-kun."
Meninggalkan perpustakaan, sekarang saatnya untuk menuju ruang klub.
Aku membuka pintu geser ruang klub dan melihat seorang gadis sedang duduk di tengah ruangan ini sambil membaca buku yang dipegangnya dan terdapat secangkir teh di mejanya. Gadis itu adalah Shiraishi Miyuki-san yang merupakan ketua klub bantuan. Dia selalu sudah berada di ruang ini saat aku masuk. Aku duduk di kursi yang biasanya kutempati dan mengambil novel yang tadi kupinjam untuk kubaca sambil menunggu klien yang kedatangannya tidak bisa diprediksi.
"Ehem ehem," terdengar seperti Fuyukawa-san sedang membersihkan tenggorokannya. Hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Dia melakukannya untuk memanggilku.
Aku punya nama juga, Shiraishi-san. Ya ampun.
Aku melihat ke arahnya dan dia melihat ke arahku, sehingga dia mata kami bertemu. Bibirnya yang tipis itu mulai bergerak. Akhirnya kata keluar dari mulutnya.
"Sepertinya kamu sudah menepati janjimu dengan manajer klub voli putri."
"Hah? Kenapa Shiraishi-san bisa tahu?" Aku sedikit kaget.
"Aku melihat kalian di 109. Kebetulan, waktu itu Aku juga sedang belanja."
"Ah… begitu ya. Kenapa nggak menyapa kami?"
"Aku hanya tidak ingin mengganggu kalian."
Percakapan pun berakhir. Dia kembali membaca bukunya.
Kubuka novel yang kuambil tadi dan kubaca tulisan yang ada di dalamnya. Paragraf demi paragraf dan halaman demi halaman kubaca hingga akhirnya aku merasa haus.
Hal yang selalu ada di ruangan ini adalah teh. Sejak peralatan sudah dibeli oleh Shiraishi-san, setiap harinya di ruangan ini tersedia teh yang diseduh oleh dirinya. Teh yang digunakan juga berbeda tiap harinya. Rasa dan aroma yang berbeda setiap harinya membuatku tidak bosan untuk meminum teh yang diseduh Shiraishi-san. Aku menuju meja yang digunakan untuk meletakkan peralatan teh dan menuangkan teh ke dalam gelas kertas. Seperti biasa, masih ada satu cangkir yang belum digunakan sama sekali.
Cuaca di luar sangat mendung membuat suhu udara menjadi sejuk. Menyeruput teh hangat ini merupakan hal yang sangat bagus.
Suasana di ruangan ini sangat hening. Kalau kubuat diriku menjadi fokus, maka aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri.
Shiraishi-san dan aku sangat jarang berbicara walaupun kami berada di satu ruangan. Yang kami lakukan biasanya adalah membaca buku. Terkadang aku tiduran di meja karena tidak tahu melakukan apa. Percakapan seperti tadi sangat jarang terjadi.
Suasana hening dan nyaman ini membuatku sangat menikmati membaca novel ini. Kesadaranku masuk ke dunia sastra dan terperangkap di dunia itu. Aku memang bukan tipe orang yang membaca dengan cepat, tapi kalau dalam suasana seperti ini akan berbeda.
Halaman demi halaman kubalik untuk mengetahui kelanjutan ceritanya yang membuatku semakin penasaran. Sesekali kuseruput teh yang berada mejaku. Jika sudah habis, aku akan menuangkannya lagi.
Waktu terus berjalan. Detik berganti menit, menit berganti ke jam. Saat badanku terasa sedikit pegal, kesadaranku kembali ke dunia nyata. Aku melakukan gerakan ringan untuk menghilangkan rasa pegal itu. Saat kulihat ke arah jam dinding yang berada di dinding depanku, jarum pendek jam itu akan menuju angka enam dan jarum pendeknya berada di angka delapan.
Ternyata sudah jam 5:40 sore.
Aku melihat ke arah Shiraishi-san yang ternyata sudah tidak membaca buku lagi. Dia berada di dekat jendela sambil melihat ke arah luar. Ternyata hujan sudah turun dan lumayan deras. Jika aku berjalan dari Gedung Utama ke gerbang sekolah tanpa menggunakan payung, aku akan basah sebelum sampai ke gerbang.
Shiraishi-san memindahkan arah pandangannya sehingga mata kami pun betemu. Aku langsung memalingkan pandanganku dan mulai membereskan barang-barangku.
"Hari ini nggak ada yang datang, ya."
"Iya."
"Kalau begitu, ayo kita pulang."
"Baiklah."
Setelah membereskan semuanya, kami meninggalkan ruang ini setelah mengunci pintunya.
Di koridor yang sepi ini yang hanya ada kami berdua, kucoba untuk membuka percakapan dengannya.
"Oh iya, Shiraishi-san pulang dengan apa?"
"Mobil."
"Eh? Kamu nyetir mobil ke sekolah?"
"Tidak. Ada supir yang mengantar dan menjemputku."
"Oh, begitu ya. Kalau aku jalan kaki."
"Begitu ya."
Percakapan pun berakhir.
Aku tidak tahu harus membicarakan apa saat bersama dengannya. Tatapan mata dan nada bicara yang dingin membuatku takut untuk melanjutkan percakapan sedikit lebih lama. Akhirnya kami berpisah di loker sepatu.
Dari loker sepatu, kulihat Fuyukawa-san sedang berdiri di depan pintu masuk Gedung Utama. Sepertinya dia tidak membawa payung.
Setelah memakai sepatuku, aku menuju ke arahnya.
"Fuyukawa-san belum pulang?"
"Ah, Amamiya-kun. Belum, nih. Aku lupa bawa payung."
"Nggak minta dijemput aja sama orang tuamu?"
"Ah, mereka sedang ada urusan kerja."
"Begitu ya."
Aku berdiri di samping Fuyukawa-san dan mulai berpikir. Hari ini aku membawa payung yang bisa kugunakan untuk pulang melewati hujan ini. Haruskah aku mengajaknya untuk pulang bersamaku? Apa jadinya kalau ada orang yang membuat gosip seperti dulu itu hanya karena aku pulang bersama dengannya? Fuyukawa-san pasti akan kesusahan.
Aku harus melakukan sesuatu. Kulihat ke arah sekitarku, sudah banyak murid yang pulang. Hanya beberapa murid yang masih berada di sekolah. Di saat cuaca hujan seperti ini, melihat wajah seseorang pasti sedikit susah karena hujan mengganggu pandangan seseorang. Tidak. Sudah pasti akan mengganggu pandangan seseorang karena hujan semakin deras. Aku ini temannya Fuyukawa-san, maka aku harus melakukannya.
"Fuyukawa-san, Aku ada bawa payung," kataku sambil mengeluarkan payung dari tasku. "Mau pulang bareng?"
"Eh?" Fuyukawa-san seperti terkejut mendengar ajakanku. Ekspresi di wajahnya tergambar seperti itu.
"Em… begini… arah pulang kita searah, kan? Jadi... kalau kamu mau, kita bisa pulang bersama."
"Mau," jawab Fuyukawa-san secara cepat dan dengan senyuman di wajahnya.
"Baiklah. Ayo kita pulang."
Aku membuka payungku dan kami pun berjalan meninggalkan sekolah.
Untuk pertama kalinya aku bersama seorang gadis dalam satu payung. Selain itu, gadis itu adalah Fuyukawa-san. Gadis cantik, populer, dan ace-nya klub bola basket putri. Tidak heran kalau banyak yang menyukainya. Sekolah ini memang banyak murid perempuan yang cantik, tapi sepertinya dia lebih populer.
Kami berjalan bersama begitu dekat sehingga membuat lengan kananku menyentuh lengan kirinyanya. Karena hal itu, jantungku berdetak begitu cepat. Aku pun menepi sedikit untuk memberikan celah di antara lengan kami. Alhasil bahuku basah terkena hujan karena sudah melewati payung ini dan jantungku berdetak dengan normal seperti biasa. Seperti ini lebih baik.
"Amamiya-kun, kamu basah, tuh."
"Hm?"
Ternyata dia menyadarinya. Bagaimana sekarang?
"Mendekat lagi saja."
"Tapi…"
"Sini… Aku saja yang pegang payungnya," Fuyukawa-san menjulurkan tangannya untuk memegang pegangan payung dan tanpa sengaja dia memegang tanganku.
Aku terkejut dan melepas tangan kananku dari pegangan payung ini. Walaupun hanya sebentar, aku dapat merasakan betapa lembut tangannya.
Payung ini jatuh dan terbawa angin karena tidak ada yang memegangnya lagi.
"Ah… payugnyanya," teriak Fuyukawa-san.
Secara refeleks, kukejar payung itu. Hanya membutuhkan tiga langkah untuk mengambilnya kemabli. Setelah payung itu kuambil, aku kembali ke arah Fuyukawa-san lalu memayunginya.
"Ah, maaf, Fuyukawa-san. Kamu jadi basah."
"Amamiya-kun juga. Kenapa tiba-tiba kamu lepas?"
"Eng, soalnya Aku terkejut."
"Terkejut kenapa?"
"Eng… karena kamu memegang tanganku."
"Eh? Cuma karena itu?"
"Iya. Kamu memegangnya tiba-tiba, sih, Fuyukawa-san"
"Maaf."
"Nggak apa-apa, kok. Ayo kita pulang."
"Um, ayo."
Jadi inilah yang disebut dengan aiaigasa.Berbagi payung dengan seseorang dan berjalan bersama dalam keadaan hujan terdengar agak romantis.
Hal ini pertama kalinya bagiku. Sebelumnya, aku sama sekali belum pernah berbagi payung dengan seorang gadis. Di situasi sekarang, jarak di antara kami menjadi dekat kembali. Lebih dekat daripada biasanya. Lengan dan bahu yang bersentuhan membuatku gugup dan hatiku berdebar-debar. Sesekali mata kami bertemu. Namun, kami langsung mengalihkan pandangan kami ke arah lain. Sepertinya bukan aku saja yang gugup di keadaan seperti ini.
Tak lama kemudian, kami sampai di apartemenku.
"Ini apartemen tempatku tinggal."
"Nggak terlalu jauh dari rumahku, ya."
"Iya, benar. Kalau begitu, Fuyukawa-san, kamu pakai saja payungku ini."
"Makasih, ya. Besok kukembalikan."
"Iya. Sampai jumpa, Fuyukawa-san."
"Sampai besok."
Aku memberikan payungku ini kepada Fuyukawa-san, lalu berlari menuju apartemen. Kubalikkan badanku untuk melihat ke arahnya. Dia sedang melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Setelah itu aku menaiki tangga untuk menuju kamarku.
Keesokan hari, aku bertemu Fuyukawa-san di persimpangan jalan menuju sekolah. Dia mengembalikan payungku di sana dan kami pun berangkat ke sekolah bersama. Seperti biasa jika ada seorang laki-laki yang berjalan di dekat Fuyukawa-san, sudah pasti dia akan menjadi bahan tatapan seluruh murid Keiyou yang melihatnya.
Dari gerbang sekolah, aku sudah menarik perhatian semua murid karena bersama dengan Fuyukawa-san. Mereka hanya melihatku dan mulai berbisik. Sepertinya kejadian ini akan terus berlanjut jika aku di dekatnya.
Daripada memikirkan hal itu, lebih baik fokus untuk studi sosial yang sudah ada di depan mata.
Rabu, 8 Juni, merupakan hari di mana trip studi sosial dilaksanakan. Sebelumnya, setiap murid kelas dua diwajibkan untuk mengisi suatu kuisioner untuk menentukan tempat studi sosial yang akan dituju. Hasilnya, aku akan menuju pembangkit listrik yang ada di Kawasaki, Prefektur Kanagawa. Kelompok sudah ditentukan oleh guru yang terdiri dari tiga orang dan setiap murid bergerak bersama anggota kelompok masing-masing.
Kami berangkat ke tempat studi sosial menggunakan bus yang sudah disiapkan oleh pihak sekolah. Di dalam bus, aku sama sekali tidak melihat wajah dari sesorang yang kukenal, tapi itu bukanlah masalah. Dua orang murid laki-laki yang sekelompok denganku dengan santainya mengajakku berbicara. Ini kesempatan bagiku untuk mendapatkan teman dari kelas yang berbeda.
Setiba di pembangkit listrik, kami mengikuti pemandu kami yang berasal dari pembangkit listrik ini. Dia membawa kami melihat satu per satu peralatan dan menjelaskan proses yang terjadi.
Pembangkit listrik ini menggunakan energi termal untuk menghasilkan listrik. Air dipanaskan untuk menghasilkan uap air yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin. Turbin mengubah energi gerak menjadi energi listrik. Energ listrik ini kemudian dikirim di sepanjang saluran transmisi listrik dan melalui gardu ke rumah pelanggan.
Dengan pergi ke tempat ini rasanya membuat ilmuku semakin bertambah.
Setelah semua agenda untuk studi sosial ini selesai, kami kembali ke sekolah. Wajah murid-murid terlihat begitu senang karena mereka baru saja melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Aku juga demikian.
Bus kami merupakan bus yang terakhir tiba di sekolah. Banyak bus sudah keluar dari sekolah karena sudah mengantar kembali murid-murid dan beberapa murid juga ada yang mulai meninggalkan sekolah.
Setelah turun dari bus dan mengatakan selamat tinggal untuk dua orang teman sekelompokku, di perkarangan depan sekolah, kulihat kerumunan orang yang tidak biasa. Ada banyak orang yang kukenal sedang berkumpul di depan pintu masuk Gedung Utama. Di sana ada Taka, Fuyukawa-san, Mizuno-san, Seto-san, Namikawa-san, Kayano-san, Taniguchi-san, Nazuka-san, dan Shimizu-san. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Karena ingin menyapa mereka selagi mereka bersama, aku mendekat ke arah mereka.
"Fuyukawa-san, sebenarnya kamu, kan? Gadis yang diselamatkan Amamiya-kun."
Apa yang baru saja kudengar?
Fuyukawa-san adalah gadis yang kutolong waktu itu?
Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan?
Mataku bertemu dengan mata Fuyukawa-san. Dia tampak terkejut saat melihatku berada di dekat mereka. Saat aku hendak mendekatinya, dia berlari meninggalkan sekolah.
"Fuyukawa-san!!!"
Aku hanya bisa meneriaki namanya dan melihatnya berlari meninggalkanku.