Namikawa-san dan Kayano-san sekarang sedang membaca bukunya masing-masing.
Saat ini aku berada di Study Corner yang terletak di sudut perpustakaan. Kucoba pelajari kembali pelajaran tadi pagi yang tidak bisa kupahami. Lebih tepatnya mata pelajaran sebelum istirahat makan siang karena teringat cerita dari novel itu. Oh, tidak. Jangan mengingatnya lagi. Jika kuingat, maka persaan melankolis itu akan datang lafi. Ini akan mengacaukan fokus dan konsentrasiku.
Bahkan perasaan seseorang dapat memengaruhi kesehariannya.
Diriku yang tadi dilanda perasaan melankolis karena mengingat kembali cerita novel itu membuatku ini tidak bisa tidur tadi malam dan hari ini fokus dan konsentrasiku menjadi kacau. Alhasil, dampaknya ke keseharianku di sekolah yaitu pelajaran yang disampaikan oleh guru sama sekali tidak melekat di otakku.
Kucoba jernihkan pikiranku saat ini.
Kembali ke buku pelajaran.
Baca, baca, dan baca.
Pahami, pahami, dan pahami.
Misalnya, diriku tadi yang dilanda perasaan melankolis karena mengingat kembali cerita novel itu membuat diriku ini tidak bisa tidur tadi malam, dan hari ini fokus dan konsentrasi menjadi kacau. Alhasil, efek ke tubuhku yaitu merasa ngantuk padahal masih sore hari, mata merah dan sedikit bengkak karena iritasi. Sedangkan efek ke keseharianku di sekolah yaitu pelajaran yang disampaikan oleh sensei sama sekali tidak melekat di otakku.
Aku ini tipe murid yang tidak akan berhenti belajar sebelum paham. Biasanya aku belajar di malam hari karena suasana lebih sunyi, tapi kali ini aku belajar sepulang sekolah. Lagian juga aku tidak punya aktivitas apapun sepulang sekolah. Berbeda saat masih di kampung halamanku yang mana saat pulang sekolah aku membantu kakek dan nenek, walaupun tidak setiap hari.
Aku mendengar langkah kaki seseorang yang menuju ke arahku. Karena meja di Study Cornerbersekat, aku tidak bisa melihat siapa orang itu. "Amamiya-kun, kamu sedang belajar apa?" terdengar suara yang lemah dari arah kananku. Suara itu berasal dari Kayano-san.
"Kayano-san, ya? Sedang baca ulang pelajaran tadi pagi. Entah kenapa hari ini sedikit tidak fokus."
"Oh… ngga apa-apa?"
"Apanya?"
"Amamiya-kun sedikit berbeda saat dengan yang kemarin. Matamu juga terlihat tidak sehat."
Kayano-san mengatakan hal yang diluar perkiraanku. Sepertinya diriku di hari ini memang terlihat sangat berbeda. Tadi pagi saat melihat wajahku sendiri di cermin, aku bahkan sempat bertanya "siapa anda?"di dalam hati.
"…Ya, aku hanya kurang tidur."
"Karena membaca novel yang kamu pinjam kemarin?"
"…Hm, iya."
"Ceritanya memang menyedihkan, ya? Aku sampai menangis saat membacanya dulu."
"Eeeeh, beneran?"
"Iya. Saat Si Aku menangis di depan ibunya Sakura, aku dapat perasaannya. Aku masih bisa mengingat ceritanya sampai sekarang. Amamiya-kun, kamu pasti menangis juga saat membacanya, kan? Matamu mengatakannya."
"Jujur saja, memang seperti itu. Saat aku mengingat kembali ceritanya, perasaan melankolis mendatangi diriku. Aku juga pernah merasakan hal seperti itu, kehilangan seseorang saat aku kecil." Aku berdiri dari kursiku dan memasukkan semua buku ke dalam tas. Lalu menambahkan, "Kayano-san, lebih baik kita berbicara di sana." Aku menunjuk ke arah Namikawa-san berada.
"Bagaimana dengan belajarnya?"
"Sudah selesai."
"Um, baiklah."
Kami menuju ke meja tempat Namikawa-san membaca. Kayano-san duduk di samping Namikawa-san, dan aku duduk di depan Namikawa-san,meletakkan tasku di kursi kosong sebelah kanan.
Kayano-san mulai melanjutkan pembicaraan yang tadi, "Maksudmu pernah mengalami hal seperti itu, bagaimana Amamiya-kun?"
Namikawa-san yang mendengar itu menutup bukunya. Lalu bertanya, "Kalian bicarakan apa?"
"Amamiya-kun bilang, dia pernah merasakan hal yang sama seperti di novel Kimi no Suizou wo Tabetai,novel yang dipinjamnya kemarin itu. Kamu sudah pernah membacanya juga kan, Sakura-chan?"
Saat ini, di perpustakaan dipenuhi banyak murid yang sedang membaca dan belajar. Jadi, kami berbicara dengan suara yang pelan agar tidak mengganggu.
"Sudah. Tapi Chi-chan, apa ngga apa-apa menanyakan hal pribadinya Amamiya-kun?"
"…Benar juga. Maaf ya, Amamiya-kun."
"…Sebenarnya aku tidak keberatan memberitahukannya kepada temanku."
Aku sama sekali tidak keberatan menceritakan hal ini karena ada yang menanyakannya. Menurtuku, akan lebih baik jika kita bisa membuka diri kita kepada orang lain melalui cerita tentang diri kita yang mana bisa membuat mereka menerima dan mengenal diri kita.
"Teman, ya?"
"Teman?
Namikawa-san dan Kayano-san bergumam bersamaan.
"….."
Aku melihat ke arah mereka berdua. Aku berpikir kenapa mereka menggumamkan itu. Pikiranku sedikit kacau hari ini, jadi aku kurang sigap menanggapinya. Mereka melihat ke arahku dengan ekspresi penuh tanda tanya. Ah, aku paham.
"Ma, maaf sudah seenaknya menganggap kalau kalian temanku. Padahal aku baru saja pindah ke sini, kita juga baru ketemu dua kali, dan hanya mengetahui nama dan kelas masing-masing. Ya, mana mungkin bisa menjadi teman kalian secepat itu. Kenalan mungkin lebih cocok, ya..." Aku mengatakannya secara spontan. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi mukaku saat ini. Namun secara jelas aku sedikit panik karena mengatakan sesuatu yang tidak kupikirkan terlebih dahulu.
"Aku sudah anggap kamu sebagai teman kok, Amamiya-kun." Namikawa-san merespon perkataanku tadi dengan senyuman di wajahnya.
"Temannya Sakura, berarti temanku juga." Kayano-san juga tersenyum.
"Kalian berdua…" Seketika aku terharu mendengar mereka berdua mengatakan hal itu.
"Amamiya-kun, jangan nangis." Kayano-sanmengatakannya seperti ingin mempermainkanku.
"Aku tidak nangis."
"Hahaha." Kayano-san tertawa kecil.
Namikawa-san hanya tersenyum kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. Pasti dia tertawa juga. Aku mulai tertawa melihat mereka tertawa. Tawa mereka yang manis itu seperti membuat perasaanku membaik. Ah, mungkin ini yang kuharapkan tadi. Proton yang membawa muatan energi positif. Mereka berdua Si Proton itu.
"Kalian berdua, terima kasih." Aku menundukkan kepalaku ke arah mereka berdua.
"Um… Yoroshiku ne, Amamiya-kun."
"Yoroshiku, Amamiya-kun…."
Namikawa-san dan Kayano-san tersenyum. Senyuman di wajah mereka begitu tulus. Terasa sangat manis, lembut, dan menghangatkan perasaanku.
"Yoroshiku onegaishimasu…"
"Jadi, kamu kehilangan siapa, Amamiya-kun? Apa pacarmu?" Kayano-san kembali menanyakan topik yang tadi kami bicarakan.
"Bukan… Aku belum pernah punya pacar."
"Satu pun?" Namikawa-san bertanya dengan ekspresi ingin tahu.
"Iya..."
"Kalau bukan pacar, terus siapa?"
"Orang tuaku."
"Ah, maaf ya. Aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu ke masa lalumu."
"Um, iya. Tidak apa-apa."
Aku belum pernah menceritakan tentang ini kepada murid kelas 2-D. Namun, aku telah menceritakannya kepada dua murid dari kelas lain yang kutemui di perpustakaan. Mereka berdua yang telah mengetahui hal ini hanya terdiam. Suasana perpustakaan semakin menjadi sunyi.
Kayano-san terdiam sambil melihat ke arah bawah, sama seperti Namikawa-san. Aku tidak tahu ekspresi seperti apa di wajah mereka saat ini. Kualihkan pandanganku ke arah jendela untuk melihat cuaca di luar sana. Rintikan hujan mulai turun membasahi sekolah.
Suasana sunyi seperti ini rasanya tidak mengenakkan jika berlangsung lama. Jadi, kucoba menghilangkan suasana ini.
"Ngomong-ngomong, kupikir kalian berdua tipe orang yang sulit diajak bicara. Tapi, ternyata tidak seperti itu."
Mereka berdua mulai mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku.
"Aku kira Amamiya-kun yang seperti itu."
"Apa aku terlihat seperti itu, Kayano-san?"
"Iya… ya kan, Sakura-chan?"
"Iya…"
"Ah, begitu ya…"
Karena satu tahun berada di SMA yang tidak memiliki teman, mungkin hal itu lah yang membuatku terasa sedikit sulit untuk diajak bicara. Padahal, aku suka berbicara. Aku senang bersosialisasi, baik itu dengan orang yang seumuran denganku, senior dan junior di sekolah, dan para tetangga di desa. Setidaknya sekarang aku bisa mengubah tanggapan itu. Aku bisa lebih sering berbicara dengan Namikawa-san dan Kayano-san.
"Tapi, saat kamu menolongku kemarin, aku merasakan kalau kamu punya daya tarik yang unik. Jadi, aku ngga sungkan mengajakmu bicara tadi. Kalau kamu, Sakura-chan?"
"Aku setuju denganmu, Chi-chan. Saat aku ketemu Amamiya-kun kemarin di kafe, aku merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya, seperti berkharisma. Jadi, kucoba sapa deh..."
"Ah, begitu ya… Terima kasih."
Sebelumnya, tidak ada orang yang mengatakan kalau aku mempunyai daya tarik yang unik atau berkharisma. Jujur saja aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa perkataan mereka tadi. Jadi, aku hanya mengatakan terima kasih.
"Ya… dan Amamiya-kun, jangan bicara formal begitu dengan kami. Kita kan seumuran."
"Um, santai saja bicara dengan kami, Amamiya-kun. Ya kan, Chi-chan?"
"Um, um." Kayano-san mengangguk.
"Akan kuusahakan."
Sekarang pukul 5:35 sore dan perpustakaan tutup pukul enam sore.
Aku mengambil tasku, lalu berdiri.
"Kalau begitu, aku pulang duluan, ya. Gawat kalau hujan deras."
"Ya, sampai jumpa lagi besok."
"Sampai jumpa."
Kejadian tidak terduga di mana Namikawa-san dan Kayano-san hari ini telah menganggapku sebagai teman mereka. Mereka berdua bisa dianggap sebagai teman pertamaku di sekolah ini. Aku tidak bisa menganggap langsung Fuyukawa-san sebagai teman. Memang kami sekelas, menjabat perwakilan kelas, dan dia sering berbicara denganku. Tetapi, bukankah itu hal yang wajar dilakukan seseorang kepada teman sekelasnya? Walapun dalam kasusku ini yang berbicara denganku di kelas hanya Fuyukawa-san. Hanya dia seorang.
Aku tidak tahu apa yang murid kelas 2-D pikirkan tentangku. Dari pengamatanku sampai saat ini, mereka seperti tidak menerima kehadiran diriku di kelas itu. Kalau waktunya tiba, pasti mereka nantinya bisa menerimaku sebagai teman sekelas mereka.
Setiap orang punya gilirannya masing-masing.
Daripada terus memikirkan sesuatu yang tidak jelas, lebih baik aku bergegas pulang ke apartemenku untuk beristirahat, seperti yang dikatakan Mitsui-sensei. Kupercepat langkahku yang berjalan di bawah awan abu-abu ini. Walaupun saat ini hujan rintik-rintik, bukan berarti tidak ada kemungkinan terjadinya hujan deras. Semoga hujan tidak turun sekarang.