"Aaaggh!!"tangisanku yang setiap malamku luapkan. Menutup mulutku dengan bantal agar tidak ada yang mendengar teriakanku. Kesedihan yang tiap hari kulalui, kekecewaan yang selalu ada pada diriku terlihat dihadapanku. Terpapar, teringat kembali.
"Kesedihan itu, kekecewaan itu, dan kesakitan itu bisa lenyap" ucap sosok wanita didepanku.
"Siapa kamu? Apa yang kamu tahu tentang diriku?" Aku melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa kecuali wanita ini. Diruangan gelap ini.
"Dimana teman-temanku?"
"Kamu mencari teman-temanmu? Makhluk sampah yang hanya memanfaatkanmu? Kamu mencarinya?"
"Apa maksudmu makhluk sampah. Mereka itu harta terindah yang kumiliki. Mereka yang selalu membuatku tertawa, dan mereka selalu ada ketika aku sedih"
"Harta terindah? Yang membuatmu tertawa? Selalu ada ketika kamu sedih? Dusta!!! Kau tahu kan kalau tawamu itu tawa palsu? Kau tahu kan selama ini kamu selalu berpura-pura? Sadarlah! Mereka tidak benar-benar ada ketika kamu sedih. Kejadian tadi, kejadian yang kuperlihatkan padamu. Setiap malam kau menangis sendiri, berusaha menutupinya dari dunia. Aku tahu! Berhentilah berpura-pura!"
"Kamu tidak tahu! Tidak hanya mereka, Orang tuaku juga menyayangiku. Kamu tidak tahu apa-apa!"
"Orang tua? Halah. Kamu sendiri saja tidak tahu asal dan orang tua aslimu dimana, kau bilang mereka menyayangimu? Orang tua angkatmu menyayangimu? Kau ingat ketika Ayahmu menyalahkanmu ketika kau masih kecil? Sampai sekarang dia tetap cuek dan tidak perduli terhadapmu. Itu yang kau bilang sayang?!"
Aku tidak tahu kenapa dia mengetahui banyak hal tentang kesedihan dihidupku.
"Siapa kamu?!? Kenapa kamu berpikir kalau kamu benar-benar tahu akan kesedihan pada hidupku?"
"Aku?!? Aku adalah Nightmare. Aku adalah semua mimpi buruk setiap orang. Aku adalah tempat pelampiasan semua kesedihan orang. Aku tahu semua kesedihanmu. Jadi, kemarilah. Aku adalah bahagiamu, aku akan memberikan segala kebahagiaan padamu. Lampiaskan semua kesedihanmu itu padaku." Wanita itu memperlihatkan wajahnya, wanita seumuran Bunda itu menggunakan pakaian serba hitam. Wajahnya cantik, matanya teduh.
Tangisku pecah sejak tadi, belum pernah aku seterbuka ini. Belum pernah ada orang lain yang mengetahui kesedihanku seperti ini. Aku mengangkat tanganku, berusaha menggapai tangan wanita itu.
"Senja!!"
"Senja!"
Aku mendengar suara. Itu suara Rintaf dan Mob dimana dia?? Tak ada siapa-siapa kecuali wanita ini yang menungguku menggapai tangannya.
"Jangan hiraukan. Itu hanya suara ego mereka yang membutuhkanmu tapi tak menghargaimu." Aku melupakan suara itu, mencoba lebih dekat dengan wanita itu.
"Senja!!!"
"Senja sadar!"
Itu suara Atta dan Disal. Suara itu lebih jelas dari sebelumnya. Lebih dekat, namun tidak ada siapa-siapa.
"Senja!!"
Suara Rey terdengar, semakin dekat dan jelas. Namun sama saja, tidak ada siapa-siapa disana. Mungkin mereka benar-benar hanya memanfaatkanku.
"Senja! Kita ada disini. Maafin kita yang selama ini belum bisa menjadi teman yang baik buat lu. Gua tau klo tiap malam lu nangis. Lu gk pernah tidur cepet. Lu cuma pura-pura bahagia didepan kami. Gua udah sering liat lu tengah malem nangis, lu pikir kita semua udah tidur. Tapi gua gak. Gua mau minta maaf sebelumnya, gua pernah baca buku lu. Semua curahan isi hati lu. Lu bukan beban buat kita. Lu yang buat kita bisa sampai sejauh ini. Karena lu Rintaf udah berubah, karena lu gua udah mulai berenti ngerokok, karena lu Rey udah balik ceria lagi, karena lu Mob bisa balik nginget semuanya, dan karena lu kita semua jadi sedeket ini. Maafin kita klo kita belum bisa jadi temen yang baik, bukan temen yang bisa dengerin curahan hati lu. Jadi, gua mohon balik lagi ama kita-kita ya?" Suara Arga terdengar. Ini sangat jelas, tepat seperti berada di belakangku. Aku menoleh, mereka berenam berdiri disana. Menungguku datang, mengulurkan tangannya berusaha menggapaiku.
Aku langsung berlari kearah mereka, mencoba menggapainya. Namun, entah kenapa setiap aku berlari mereka seakan menjauh. Tak bisa kugapai.
"Lupakan mereka. Aku ini bahagiamu, dengarkan aku!" Raut wajah wanita itu berubah. Dia marah
"Aku tidak akan bahagia jika berasamamu! Itu hanya akan membuatku larut lebih jauh kedalam kesedihan!! Pergi jangan ganggu aku"
Seketika lengang, tidak ada siapa-siapa disini, termasuk wanita itu.
"Rintaf?"
"Mob?"
"Atta?"
"Disal?"
"Rey?"
"Argaa?"
"Kalian dimana?" Aku melihat sekeliling, mencari-cari. Tak ada apa-apa, hanya ruangan gelap yang tak berhujung.
"Tak usah pikirkan mereka!" Suara wanita itu kembali terdengar, tapi tak ada sosoknya.
"Kau akan bebas tanpa mereka. Mereka beban bagimu. Bunuh mereka!" Suara itu terdengar lagi, menusuk masuk ketelingaku. Memaksaku mendengar setiap kata-kata yang tak ingin kudengar. Aku menutup mataku, dan menutup telingaku dengan tangan ini.
"Buka matamu!"
Suara itu memaksaku. Aku membuka mataku perlahan, disana mayat mereka berenam tergeletak, udara tempat ini menjadi lembab. Darah terus keluar dari mayat-mayat itu.
Tanganku berlumuran darah.
"Tidak!! Apa yang terjadi?"
"Mereka mati! Mereka terbunuh!"
"Bukan aku yang membunuh mereka kan?" Tanganku gemetar takut.
"Sudah jelas kamu yang membunuhnya Senja! Luapkan amarahmu! Liat mayat-mayat itu. Itukan yang selama ini kamu inginkan?" Suara wanita itu terdengar lagi. Ruangan gelap ini memperlihatkan sesuatu.
"Itu adalah kamu. Sekarang kamu sedang meluapkan semua kesedihan, kekecewaan, amarahmu. Kamu akan bebas!".
Ruangan ini melihatkan diriku yang sedang mengamuk tak terkendali. Aku menyerang yang ada disekitarku. Mataku hitam pekat, menunjukkan kehampaan. Aku hanya bisa terdiam menangis terisak melihat diriku menyerang teman-temanku disana. Tak ada yang bisa kulakukan, mungkin ini adalah akhir dari cerita kami.
***
"Senja sadarlah!! Nenek tau itu bukan kamu" suara lembut khas itu terdengar, itu suara Nenek. Tiba-tiba di ruangan gelap ini muncul setitik cahaya. Aku bergegas lari kearah cahaya itu. Tapi sama saja, semakin kudekat cahaya itu akan semakin jauh. Aku lelah, ingin berhenti. Tapi sepintas Nenek datang mendorongku lalu kembali berlari. Ayah, Bunda, Senjani, Rog, Barqa, Kakek Angko, kakek Goro, Pion Iblis yang lain, Natha, Alea, Biru, Tara, Armi, dan Zira, mereka terus mendorongku, membantuku berjalan mengikuti cahaya itu. Hingga aku berada tepat di depan cahaya itu, disana berdiri enam orang terdekatku, enam orang yang selama ini terus bersamaku, enam orang yang membuat waktuku selalu berharga, mereka yang selalu mengukir bulan sabit di wajahku, mereka yang selalu memberiku harapan hidup. Rintaf, Mob, Disal, Rey, Atta, dan Arga. Ya mereka berenam sahabat sejatiku.
"Kayaknya ada yang kurang nih!" Mob berbicara dengan nada bercanda
"Iya deh, kayak ada yang kurang" Disal juga ikut-ikutan
"Anak Indie tukang baperan mana ya?" Rey juga
"Oh, murid baru yang kacamatanya suka melorot karena pesek ya?" Rintaf bisa resek juga
"Oh, yang si pindiem tapi klo sama kita gk bisa diem ya?" Atta mengikut
"Itu bukan?" Arga menunjukku, lalu yang lain ikut melihat kearahku
"Nah ininih! Bocah!" Lalu mereka mendekat. Sudah jarang sekali aku merasakan kehangatan seperti ini. Tidak, bukan jarang, sebenarnya aku selalu mendapatkannya. Tapi tak pernah kunikmati.
***
"Maaf, aku tidak bisa membantu lebih lagi. Sihir Emosiku tidak bisa menggapai terlalu jauh, seperti ada yang menahan di dalam sana" ucap Asha. Dia anggota Pion Iblis dengan sihir Emosi.
"Senja sadar!!" Rey berteriak, yang lain melihat kearahnya. Lalu mengangguk paham.
"Senja!!"
"Senja sadar!"
Yang lain ikut berteriak, berusaha menyadarkanku. Aku terus mengamuk mengeluarkan serangan terus menerus. Yang lain berusaha menghindar dan menahan. Hingga akhirnya serangan mereka terhenti. Arga, dia bergerak maju. Mundur Arga!! Aku bisa saja menyerangmu. Dia terus bergerak maju, tidak peduli dengan keadaanku. Tidak hanya Arga, Rey juga bergerak maju, diikuti Atta, Disal, Mob, dan Rintaf. Mereka memelukku bersama-sama. Pelukan hangat, membuat cahaya terang yang membantuku keluar dari ruangan gelap itu. Air mataku jatuh
"Bodoh! Kalian kok bodoh banget sih! Bisa aja kalian mati!" Ucapku, aku kembali sadar ketika sampai ke titik cahaya itu. Keluar dari ruangan gelap itu. Tiba-tiba sesuatu keluar dari tubuhku. Itu Nightmare, wanita yang hendak menjerumuskanku pada kegelapan. Dia lalu tersenyum hangat. Senyumnya indah dengan mata teduhnya.
"Kan emang bodoh Ja! Kita emang bodoh dari dulu. Udh gak bisa di perbaikin lagi"ucap Arga lalu tertawa. Yang lain juga ikut tertawa. Bahagia.
Sang Penjaga terbang diatas kami. Dia melihatku, lalu memberikanku kembali liontin itu.
"Terimakasih, kalian telah mengusir Nightmare dariku. Menyadarkanku kembali bahwa tak semua makhluk di dunia itu serakah dan licik. Masih ada hati tulus disana, hati yang indah, walau hanya setitik kecil, tapi itu adalah awal dari perdamaian yang sesungguhnya. Kalian harus pulang" ucap Sang Penjaga. "Anakku sudah besar yah" dia melihatku, tersenyum dengan pipi yang basah karena air mata. Aku tidak sempat bertanya apa maksudnya. Tiba-tiba cahaya keluar dari tubuhnya, sangat terang. Menerangi ke tujuh lapisan dunia. Cahaya hangat menyelimuti kami.