"Kalian! Hentikan! Ini sudah hampir malam. Mau sampai jam berapa kalian bertarung?" Jeon sudah muak dengan keributan yang dibuat Neo dan Godel. Sejak siang hari hingga petang mereka belum selesai bertarung. Bahkan Yanda dan Jeon sempat pulang ke rumah untuk mengganti pakaian.
Tidak diindahkan, Jeon pergi ke arah Neo dan memberikannya sebuah pukulan.
*Bamm...!*
"Aduuuhh... kok sakit begini ya?" Neo langsung mengerang setelah dipukul dengan spatula oleh Jeon.
"Jangan iku..." *Bamm...!* satu pukulan Jeon mengarah ke kepala Godel sebelum ia sempat melarang Jeon ikut campur.
Godel ingin membalas pukulan Jeon tapi lagi-lagi ia terpukul dan kini secara membabi buta. "Gadis ini..." Godel membatin.
Puas memukul Godel, Jeon berucap, "Mari kita makan dulu. Setelah itu kita bahas masalah ini dengan kepala dingin."
Seperti anak-anak yang habis dimarahi ibunya, Godel dan Neo menghentikan perkelahian dan menuruti keinginan Jeon.
..........
Neo makan dengan lahap. Bisa dikatakan rakus. Berbeda dengan Godel yang makan dengan elegan.
*Krauss..**Krausss...**Nyam..**Glek...*
"Berisik!" *Godel melayangkan pukulan ke arah Neo namun terhenti saat melihat mata merah Jeon.
"Kalau makan jangan bertengkar!" bentak Jeon. Ia lalu melotot ke arah Neo, "Kau juga! Apa yang sedang kau kejar? Kau bisa mati kalau makan seperti itu!"
*Ough...!* Karena makan seperti monster, tulang ayam masuk ke tenggorokan Neo!
"Apa ku bilang?" keluh Jeon.
*Bam...!*
Dengan sigap Aswa memukul tengkuk Neo hingga tulang ayam keluar dengan seketika. "Ah... Terima kasih... Hampir saja aku tewas."
..........
Setelah makan kelompok anak muda ini mulai serius.
Aswa memulai pembicaraan. "Del... kau sepertinya kurang setuju dengan pembuatan Squad ini. Cuman..."
"Aku bukannya tidak setuju!" Godel memotong perkataan Aswa. "Ya! Aku tidak setuju!" lanjut Godel.
"Kenapa kau jadi plin-plan seperti ini? Kau bisa mengambil keuntungan dari persenjengkolan, persengkong, bleb... persengkokolan ini!" balas Aswa.
"Banyak rugi dari pada untung! Sudahlah... kalian saja yang lanjut," ujar Godel.
"Tidak ada salahnya dicoba dulu. Atau Kau takut?" cibir Aswa.
Godel melotot, "Jaga mulutmu! Kau itu cerdas. Kau pasti tau situasinya."
"Aku tau situasinya. Tapi nama-nama anggota Squad terlanjur terdaftar. Pengurangan anggota bisa saja dilakukan. Tapi itu perlu waktu. Makanya aku memintamu untuk mencobanya dulu."
Aswa mencoba membujuk Godel karena ia merasa sudah ada ikatan yang terjalin di antara mereka. Walau Godel adalah seorang pengkhianat dan suka berbohong, tapi Aswa akan menganggap Godel sebagai temannya. Terlebih Godel adalah orang yang mudah diatasi oleh Aswa.
"Kau ingin mencuri harta di Balai Kota, bukan?" lanjut Aswa.
Jeon tiba-tiba menyela, "Untuk berbuat kejahatan aku tidak akan ikut Squad ini!"
"Tuh, kau lihat? Orang-orang di sini memiliki pandangan yang berbeda. Bagaimana mungkin kita bisa bekerja sama?" Godel menatap sinis ke arah Jeon dan Aswa.
Aswa lalu tertunduk. "Aku sadari itu. Akan sulit bagi kita jika tidak satu pandangan. Tapi sebenarnya kita bisa mencari kesamaan untuk mencapai tujuan masing-masing."
"Tidak mungkin kejahatan dan kebaikan bisa berjalan bersama!" sela Godel.
Pernyataan Godel ini disetujui oleh Jeon.
"Hitam dan Putih bagiku sama! Di zaman ini, sulit membedakan mana orang baik dan mana orang yang jahat. Tapi tidakkah kalian bisa melihat baik orang jahat maupun orang baik setidaknya adalah sama-sama orang?" bentak Aswa. Ia lalu menatap Jeon, "Kau..."
"Kenapa aku?" Jeon kebingungan saat perhatian Aswa berpusat padanya.
"Kau tau kami orang jahat. Tapi masih mau berteman dengan kami. Kau berpikir kalau kami masih memiliki kebaikan di dalam diri kami. Sekarang kami ini orang jahat atau orang baik?" Aswa memberi penekanan kepada Jeon. Walau tidak banyak, tapi Aswa bisa membaca sedikit apa yang dipikirkan Jeon selama mereka berteman. Alam pikiran Jeon sebenarnya sangat unik hingga Aswa sulit membacanya.
"Begini saja, yang tidak mau ikut Squad ini silahkan. Tapi sayangnya tahun depan baru bisa dilakukan perubahan." Aswa menatap ke arah teman-temannya ini.
"Tidak ada? Tidak ada juga yang menanyakan hal lain?" lanjut Aswa. "Kalau begitu semua setuju tinggal ku bicarakan skenario terbentuknya Squad ini."
Godel dan Jeon hanya duduk terdiam. Mereka masih ragu bergabung dengan Squad ini. Tapi entah mengapa mereka tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Seolah Aswa telah meracuni pikiran mereka. Godel sekalipun tidak mampu berkata-kata lagi.
"Pembentukan Squad ini beranjak dari kedekatan Jeon dan Yanda." Ujar Aswa. "Lho, kok kami?" protes Yanda. "Ini karena kalian saja yang berasal dari keluarga baik-baik. Sedangkan kami sudah pernah berurusan dengan Guild Cahaya. Jadi praktis dianggap penjahat dah," lanjut Aswa.
"Ceritanya aja nih kalian yang bertemu dengan kami. Lalu setelah lama dekat dengan kami, kalian lalu mengusulkan pembentukan Squad agar dapat membantu kami jadi orang baik. Dengan alasan terjadi perebutan kursi kapten Squad, akhirnya anggota termuda yang dipilih, itu Neo. Aku menjadi wakil. Untuk segala urusan harta Squad, Godel yang bertanggungjawab. Urusan administrasi ku harap Jeon mau mengurusnya. Yanda mengurus keanggotaan. Kelak anggota kita akan bertambah memenuhi dua belas slot yang disediakan penguasa." Aswa menatap seluruh anggota. Mereka terlihat kebingungan. Tapi tidak ada yang menunjukkan penolakkan.
"Apa maksud Aswa memberiku tanggung jawab masalah harta? Apakah ia mencoba mengikatku lagi? Posisi itu memang menguntungkan bagiku yang selalu kesulitan keuangan," pikir Godel.
Diskusi terjadi hingga pukul 10 malam. Jeon dan Yanda pulang ke rumahnya masing-masing. Sisanya menginap di rumah pohon karena rumah Aswa untuk sementara sudah tidak aman lagi. Anggota Guild Cahaya tentu akan terus mengintai rumahnya.
........
#Sekolah Menengah Atas Spiritualist Mahakama Kelas 10-1#
"Hari ini hari ketigaku masuk sekolah. Aku tidak ingin mendapat masalah sehingga aku harus terus berupaya untuk lebih berhati-hati. Dari pada mengurus orang lain, lebih baik fokus pada pengembangan diri. Cuman empat rapalan yang aku implementasikan pada empat [Domain] mulai aku rasa kurang. Aku perlu menyusun rencana menambah bait rapalan tingkat tinggi untuk menggapai mimpiku." Aswa bergumam sambil menaruh dahinya di atas meja.
Ia harus bangun subuh untuk mandi di pemandian umum. Bau badan bisa membuat masalah seperti hari kemarin. Akhirnya ia juga membeli deodoran untuk menghindari masalah tersebut.
"Banyak hal yang belum ku selesaikan di sekolah ini. Bahkan hal kecil seperti jadwal pelajaran aku belum punya," pikir Aswa sambil melirik ke arah siswa terdekatnya.
Lirikan Aswa membuat siswa itu tidak nyaman. "Apa?!" ungkapnya. Siswa ini terlihat lusuh. Tapi memiliki sikap cuek.
"Di kelas ini aku belum punya teman. Ini sungguh menyedihkan. Aku Aswa. Siapa namamu?" tanya Aswa dengan keluh kesahnya.
"hah! Jangan bagi-bagi kesialanmu pada orang lain!" ungkap siswa itu.
"Oh..." Aswa menunjukkan wajah memelas. "Aku hafal nama kalian semua di sini. Tapi akan sangat mengherankan kalau kalian tau itu!" Aswa membatin.
Di hari pertama sekolah mereka memperkenalkan nama mereka satu per satu. Siswa biasa bisa mengingat beberapa nama siswa saat itu. Berbeda dengan Aswa yang hafal dari nama hingga alamat mereka.
Melihat Aswa seperti daun layu siswa itu menepuk pundak Aswa. "Baiklah-baiklah... namaku Ivan Hakim. Aku sudah terlalu sering mendengar cerita tentangmu. Sepertinya kau tidak sejahat yang orang bicarakan."
"Aku digosipkan jahat, Van?" Aswa pura-pura terkejut.
Ivan lalu memelankan suaranya, "Sudah jadi rahasia umum kalau kau bermasalah dengan Guild Cahaya. Kau lalu bersembunyi puluhan hari hingga akhirnya berani hadir di sekolah kemarin. Kader Guild Cahaya juga sekolah di sini. Di kelas kita juga ada."
"Kalau kau?" tanya Aswa.
"Aku dari Guild Keledang Emas. Rival Guild Cahaya. Kau tau kan?" ujar Ivan.
*Kring...!* tiba-tiba bel sekolah berbunyi.
"Nanti kita lanjutkan," ucap Ivan yang langsung memfokuskan dirinya mengembangkan ranah pikiran.
Aswa cukup lega karena Ivan mau ngobrol dengannya. Persepsi Aswa mengatakan bahwa Ivan adalah siswa berbakat yang kelak akan menjadi pendekar yang hebat. Tentu saja pahlawan, bukan penjahat seperti Godel.
Suasana kelas menjadi sangat hening. Aswa lalu ikut berdiam diri sambil memejamkan mata. Bagi Aswa yang memiliki sembilan ranah pikiran, cara seperti ini tidak begitu perlu. Sambil mengobrol atau melakukan aktivitas kompleks sekalipun Aswa masih bisa fokus mengembangkan empat ranah pikiran. Namun akan menjadi masalah jika ia terlihat berbeda.
...........
Dalam keheningan Aswa mendengar suara langkah. Menurut persepsinya, langkah ini kemungkinan besar adalah seorang guru.
Suara langkah terus terdengar dengan sangat jelas. "Orang ini 90 persen adalah seorang pria. Sepertinya ia mendekatiku. Ah, betul juga. Aku belum diajarkan bait rapalan, tapi sudah sok melakukan ritual. Ah, peduli amat. Lanjut!" Aswa membatin.
Langkah kaki kembali terdengar. Aswa sadar sosok ini mulai menjauh lalu berhenti beberapa meter. Suara geseran kursi dapat didengar Aswa. "Ini harusnya guru." Aswa membuat kesimpulan. Beberapa menit berikutnya tiada suara lagi yang terdengar.
*Plok..!* tepuk tangan Pak Guru menghentikan ritual siswa. Semua murid membuka matanya.
"Siapa nama beliau?" tanya Aswa kepada Ivan sambil berbisik.
Ivan mendekatkan mulutnya ke telinga Aswa. "Pak Pongki. Guru mata pelajaran Teknik Pengobatan."
"Oh...!" Aswa mengangguk.
Ivan membuka tas miliknya sambil menepuk meja Aswa. "Minta barcode-mu! Akan ku kirim jadwal pelajaran."
"Asysyipp..." Aswa merasa niat tulus Ivan. Tapi ia tidak dapat mempercayai Ivan seratus persen. Sebagaimana ia sampai sekarang masih berhati-hati dengan teman-temannya sendiri. Sewaktu-waktu pengkhianatan bisa saja terjadi.
Berbeda dengan Ivan yang sebenarnya menganggap Aswa sebagai remaja biasa. Kenakalan hanya bumbu masa muda. Apesnya Aswa bermasalah dengan kelompok selevel Guild Cahaya. Guild ini memiliki relasi di tingkat internasional.
"Kita melanjutkan pelajaran kita minggu lalu..." Pak Pongki mulai memberikan penjelasan.
Selama pelajaran berlangsung, tidak ada tatapan yang ditujukkan Pak Pongki kepada Aswa barang sekilas pun. Hal ini menarik perhatian Aswa. Aswa menyadari ada yang mendekatinya dan kemungkinan besar Pak Pongki yang melakukan. Tapi maksud orang tersebut mendekatinya tidak Aswa ketahui.
Kemampuan membaca pikiran yang Aswa miliki sangatlah bagus. Tapi tidak berguna saat berhadapan dengan orang yang memiliki ranah pikiran yang dalam.
.......
#Rumah Pohon#
Pukus dan Ningtyas sedang duduk di teras rumah pohon. Mereka mengamati pertarungan lanjutan antara Godel dan Neo.
Kali ini pertarungan terlihat sangat seimbang. Baik Godel maupun Neo saling memberikan pukulan. Mereka berbagi lebam dan luka di sekujur tubuh.
Melihat kondisi Godel dan Neo, Pukus berkomentar, "Lihatlah... betapa bahagianya mereka saling membunuh. Hidup ini hanya satu kali, jadi seharusnya mereka harus memanfaatkannya dengan baik. Buat apa mereka melakukan hal bodoh seperti itu? Membunuh teman sendiri... astaga..."
Mendengar komentar Pukus, Ningtyas tertunduk lesu. "Betapa hinanya diriku. Aku sudah diberikan kesempatan hidup yang kedua. Tapi aku masih belum bisa menjadi lebih baik..."
"Oh... Ning... aku tidak bermaksud menyinggungmu," Pukus merasa melakukan kesalahan.
"Aku mengecewakan orangtuaku untuk kedua kalinya..." Ningtyas terus larut dalam kesedihan. Ia ingin menangis. Akan tetapi air matanya tidak mau keluar. Seolah sudah kering.
"Kau itu masih muda. Jalanmu pun masih panjang untuk dapat membahagiakan orangtuamu." Pukus membelai rambut oranye Ningtyas yang indah.
"Luka di hatimu tidak bisa diobati memang. Bahkan untuk dilupakan. Mengapa tidak kau jadikan sebagai alasanmu untuk tetap hidup? Balas dendam misalnya," lanjut Pukus.
"Benar kata Aswa. Masih ada mimpiku yang belum tercapai. Mengenai balas dendam. Aku tidak peduli dengan hal itu," ujar Ningtyas. Selama ini ia jarang berkomunikasi. Sekarang ia sudah mulai bisa membuka diri. Khususnya kepada Pukus yang setiap hari menemaninya.
"Oh... Ning..." Pukus memeluk lengan Ningtyas dengan haru.
Ningtyas membalas pelukan Pukus sambil tersenyum. "Sekarang, ada secercah cahaya di hatiku."
......
#Sekolah Spiritualis Menengah Atas Mahakama Kelas 10-1#
Sekarang sudah jam istirahat. Aswa masih bertahan di kelas karena sudah tidak memiliki uang untuk berbelanja. Dana pensiun ayahnya entah mengapa sudah dihentikan. Kakaknya, Fidel, berulang kali mencoba mengkonfirmasi ke pihak penguasa. Namun belum mendapat keterangan yang jelas.
Sambil merapal syair pengembangan spiritual dan memikirkan masalah keuangan, Aswa mengobrol dengan Ivan dan seorang teman baru lain. Teman baru ini bernama Udin, teman satu Guild Ivan.
"Kenapa kau bisa berurusan dengan Guild Cahaya, anying? Kami saja dari Guild Keledang Emas menghindari masalah yang tidak perlu," tanya Udil.
"Hust! Di sini ada dua orang kader Guild Cahaya, lengo!" Ivan membentak Udil.
"Tenang saja! Mereka pergi ke kantin," balas Udil.
"Yah, waktu itu aku sedang mencari hewan spiritual bersama temanku. Apesnya kami melihat mereka membunuh teman Godel. Begitulah. Kami jadi terlibat pertarungan hidup dan mati." Wajah Aswa terlihat memelas.
"Bagaimana mung... Ehm... maaf nih ya. Bukan menjelekkan bakatmu. Serius nih. Bakat bela dirimu kan jelek. Aduh kesebut kan! Hihihi..." Udil berusaha menahan tawa karena meragukan cerita Aswa.
"Gak apa-apa. lanjut aja," ujar Aswa tanpa sedikitpun tersinggung.
"Dah kesebut jadinya to the point aja nih. Bagaimana ya. Kok bisa kau lolos dari pengejaran mereka?" Udil terlihat tidak percaya dengan cerita Aswa.
"Aku juga mikirnya gitu, encu. Jujur dah..." Ivan ikut menambahkan.
Aswa lalu menunjukkan wajah santai dengan sedikit kesombongan. "Ya bisa lah. Kalian pasti tau betapa dendamnya mereka kepada kami. Itu sudah jadi bukti. Aku, Godel dan satu temanku lagi saling bekerja sama mengatasi mereka. Bakat nomor sekian. Yang penting hokky!"
"Hah, membual. Setauku kau orangnya jauh dari keberuntungan." Udil menggeleng tidak setuju.
Aswa tidak mau berdebat dengan orang seperti ini. "Emang sih," balas Aswa singkat.
"Kalau dari penjelasanmu itu memang masih masuk akal. Sampai sekarang orang-orang Guild Cahaya berkeliaran mematai kalian." Ivan mulai paham dengan masalah Aswa. Tidak mudah mengatasi orang-orang dari Guild Cahaya. Tapi setidaknya Aswa sampai sekarang masih baik-baik saja.
"Kalau bertemu mereka ya tinggal lari. Gitu aja kok repot?" jawab Aswa setengah bercanda.
"Sampai kapan mau lari?" Ivan sedikit bersimpati pada Aswa.
"Bagaimana dengan Godel? Orang itu hampir membajakku setiap hari..." Udil terlihat lesu saat berbicara tentang Godel. Sosok yang ingin ia kalahkan beberapa bulan ke depan.
"Godel sekarang sedang menjalani hukuman karena percobaan pembunuhan di sekolah." Jawab Aswa.
"Serius? Berani betul!" Udil terkejut mendengar informasi dari Aswa.
"Ya, menurut penjelasan Godel dia tidak berniat membunuh. Walaupun bagi dia membunuh adalah hal yang biasa. Kalian tidak tau aja kalau kami berhasil membunuh beberapa anggota Guild Cahaya." Bagi Aswa berbagi informasi seperti ini dengan rival Guild Cahaya tidak akan menimbulkan masalah. Bahkan sangat bagus berteman dengan musuhnya musuh.
*Boom!* seseorang menendang meja Aswa.
Udil dan Ivan dengan reflek menangkap meja tersebut agar tidak rusak. "Doni, coy!" kata Udil kepada Aswa.
Doni merenggut kerah Aswa lalu berteriak, "Apa yang kau katakan? Katakan terus!"
Sebagai kader Guild Cahaya, ada ikatan antara Doni dengan seluruh anggota Guild Cahaya. Dapat dikatakan ikatan yang terjalin adalah ikatan persaudaraan.
Aswa tidak menyadari Doni mendengar percakapannya dari balik jendela kelas. Lagi-lagi apes.
Dengan satu gerakan Aswa berhasil membalik posisi dari bertahan menjadi menyerang. Tangan Doni yang mencengkram kerah Aswa diputar hingga Doni sekarang tertelungkup di atas meja.
"Mereka yang ingin membunuhku! Apakah aku harus diam?!" bentak Aswa. Doni sudah tidak berdaya saat ditekan Aswa kali ini.
"Aku tau mereka seperti saudaramu. Sedang aku ingin bertahan diri. Kalau kau ingin membalas dendam, lakukan dengan cara yang baik-baik!" kali ini Aswa berbicara seadanya. Menghadapi remaja yang sedang emosi tidak perlu memeras otak untuk berbicara.
"Hehehe... balas dendam yang baik-baik itu seperti apa ya?" Udil tidak bisa menahan tawa mendengar kata-kata Aswa.
Seketika Aswa melihat Karang Wasi masuk ke dalam kelas. Menghadapi cewek lebih sulit dari menghadapi cowok. Aswa paham teori ini.
*Buk..!*
"Aduh...!" Aswa pura-pura terjatuh. Udil dan Ivan kebingungan melihat tingkah Aswa. Tiada angin dan tiada hujan tiba-tiba terjatuh.
"Cuiih..! makhluk lemah!" Karang Wasi mencibir melihat Aswa terjatuh.
Bebas dari tekanan Aswa, Doni hendak menyerang kembali. Tetapi urung ia lakukan karena ada Udil dan Ivan di dekat Aswa. Akhirnya ia memilih duduk di kursinya.
"Kenapa kau, Wa?" tanya Udil.
Ivan yang melihat Karang Wasi datang saat Aswa pura-pura terjatuh langsung berkomentar, "Pasti karena Karang Wasi! Kau takut dihajar lagi kan? Hahaha..."
"Tau aja kau, bro! Malas aku berurusan dengan doi," ujar Aswa sambil merapikan tempat duduk dan mejanya yang sempat terbang.
"Malas atau takut? Jujur aja lah..." Udil mencoba menggoda Aswa.
"Sebenarnya takut sih... hehehe..." Aswa menjawab dengan candaan. Tidak ada yang ia takuti dari Karang Wasi. Hanya waktunya saja yang belum tepat berurusan dengan Keluarga Burung Enggang.
***