Beberapa hari setelah peristiwa banjir bulanan menerjang, penyerangan Manglong dan pembantaian seluruh Keluarga Pipit Ungu, Kota Samareand kembali normal.
Warga kota yang mengungsi sudah kembali ke rumahnya masing-masing dan melakukan aktivitas sebagaimana biasanya.
#Sekolah Spiritualis Menengah Atas Mahakama#
Aswa berjalan bersama Jeon dan Yanda menuju gerbang sekolah. Ningtyas untuk sementara waktu tinggal di rumah Aswa untuk menjalani terapi kejiwaan.
Tidak jauh dari tempat Aswa, Godel sedang menjalankan aktivitasnya memalak sepuluh orang siswa baru. Berbeda dari sebelumnya, Godel terlihat terluka setelah melakukan sejumlah perkelahian.
Sesaat setelah mendekat, Aswa menepuk pundak Godel dan berkata, "Kau masih melakukan ritual rutin seperti ini. Tidakkah kau merasa bosan?"
"Ini sudah jadi kebiasaan. Beberapa hari tidak melakukan kejahatan membuat perasaanku gelisah," jawab Godel, ringan.
.......
Aswa tiba-tiba menatap tubuh Godel dengan seksama
.......
Merasa ada yang aneh dengan Aswa, Godel langsung mendorong kepala Aswa dengan tiga jarinya. "Apa-apaan kau ini?!" teriaknya.
"Ranah jiwamu sudah mencapai tingkat cyan. Tapi aku merasa janggal mengapa kau belum bisa menembakkan es. Minimal pisau. Atau setidaknya jarum es," ujar Aswa sambil tersenyum.
Merasa diejek, Godel melotot ke arah Aswa. "Bacot! Itu urusanku!"
Godel langsung mengarahkan cakar es ke arah tenggorokan Aswa. Gerakannya tidak begitu cepat sehingga Aswa berhasil menghindar. Godel sebenarnya betul-betul marah, tapi sedikit ragu. Oleh karena itu ia urung menyakiti Aswa.
"Hehehe... Sorry, Del... Ini hari perdana keduaku masuk sekolah. Istirahat nanti ku traktir kau di kantin," tawar Aswa.
Aswa lari begitu saja meninggalkan Godel bersama Yanda dan Jeon.
Godel masih melotot ke arah Aswa yang pergi meninggalkannya. Perkataan Aswa memang ada benarnya. Selama ini ia hanya bisa memuntahkan ledakan es melalui mulut. Itupun dalam jarak dua meter. Elemen es semestinya sudah bisa ditembakkan saat ranah jiwa di tingkat Cyan. Tapi sebesar apapun upaya Godel memusatkan pikiran untuk membentuk kumpulan es, tidak sedikitpun es itu dapat dibentuk menjadi pisau bahkan jarum untuk ditembakkan.
.......
#Ruang Kelas 10-1#
Para siswa asyik mengobrolkan isu-isu hangat baru-baru ini. Isu itu tidak lain tentang pembantaian Keluarga Pipit Ungu oleh serangan Manglong dan tentu saja murid baru yang baru nongol, Aswa.
Mata para penggosip sesekali menatap Aswa. Menjadi perbincangan, Aswa hanya bisa tersenyum seperti orang bodoh. Tidak ada yang bisa Ia ajak bicara di kelas itu karena tiada satupun siswa yang Ia kenal. Berbeda jika ada Ningtyas.
*Kriing...*
Suara bel tiba-tiba berbunyi. Para siswa duduk di kursinya masing-masing. Suasana menjadi hening seketika. Tiap siswa memejamkan mata lalu melafalkan suatu mantra dengan suara rendah. Sangat rendah hingga tidak terdengar orang lain.
Aswa mengerti ini adalah tradisi sekolah sebelum memulai pelajaran. Ritual rutin untuk meningkatkan ranah spiritual. Hanya saja, apa yang dilafalkan teman sekelasnya, Aswa tidak tahu akan hal itu.
"Apa yang mereka lafalkan? Sepertinya menarik," ujar Aswa membatin. Aswa lalu memusatkan pikiran ke salah satu siswa terdekat. Mencoba membaca pikirannya.
"Hmmm... Dalam kondisi melakukan ritual, pikiran orang ini sangat kosong. Bakat yang baik," Aswa tidak mampu menutupi kekagumannya. "Bagaimana dengan cewek di sana? Wajahnya aduhai cantik," kata Aswa. Tidak dapat membaca pikiran siswa di dekatnya, Aswa beranjak ke siswa lain. "Kosong..." Aswa mulai paham teman-teman sekelasnya sangat baik dalam melakukan ritual. Hanya dalam hitungan detik mereka mampu mengosongkan pikiran setelah melakukan ghibah, membicarakan aib orang lain.
Tanpa dosa Aswa mengitari ruang kelas. Memandang wajah-wajah gadis dengan seksama. Langkahnya berhenti saat berada tepat di dekat Samudra Karang Wasi.
"Karang Wasi sepertinya paling cantik di kelas. Benar-benar cantik," ujar Aswa dengan kagum.
Aswa lalu berbisik ke telinga Karang Wasi, "Maukah kau jadi istriku? Hehehe..."
Dalam keadaan pikiran kosong, indra pendengar Karang Wasi seolah tertutup.
"Soplak!" *Cetarrrr....*
"Aduuuhh....! Bang...saaa..." Aswa kaget dan meringis kesakitan saat cambuk rotan menghantam pantatnya. Secara reflek ia ingin marah, tapi urung ia lakukan karena yang ia hadapi saat ini adalah seorang guru!
"Bangsa apa?!" tekan Guru itu dengan mata melotot. Walau matanya melotot Guru ini terlihat masih sangat cantik!
"Bangsa kita perlu generasi muda untuk menghadapi ancaman dari luar angkasa, bu..." jawab Aswa seadanya.
Dengan sekejap mata sang Guru berpindah ke sisi Aswa dan langsung menjewer telinganya. "Kau yang jadi ancaman di sini! Kelilingi lapangan sepuluh kali sekarang!"
"Asysyiaap...!" Aswa bergegas ke lapangan sekolah untuk menjalani hukuman.
"Kok senang? Tambah lima putaran!" Bu Guru benar-benar kesal dengan jawaban Aswa yang menyepelekan hukuman.
Bu Guru memandang ke punggung Aswa sambil memonyongkan bibir. "Baru masuk sudah bertingkah. Beginikah anak yang diisukan cerdas?" gerutunya.
Ia lalu menatap ke arah siswa. Dengan sekali tepukan tangan Bu Guru, para siswa menghentikan ritual.
"Oke, kelas! Hari ini saya akan menjelaskan teknik pengembangan ranah jiwa berwarna hijau. Sebelumnya kita terlebih dahulu harus memahami tipe elemen jiwa kita. Beda tipe, beda pula pendekatan pengembangan yang ditempuh..."
"bla-bla-bla... bla-bla-bla..."
Para siswa terlihat sangat serius memperhatikan penjelasan Bu Guru. Sebagian besar mencatat hal-hal yang menurut mereka penting. Beberapa kali terjadi diskusi antara siswa dengan Bu Guru. Iklim belajar-mengajar sangat-sangat baik.
......
#Ruang Wakil Kepala Sekolah Bidang Pendidikan#
Diatmar berdiri memandang ke arah lapangan melalui jendela. Ia telah memiliki perhatian yang buruk kepada Aswa. Melihat Aswa sedang menjalani hukuman, Diatmar sedikit terhibur.
"Anak ini... hahaha... mungkin Ketua Ansep terlalu melebih-lebihkannya. Di dunia ini, kekuatan spiritual nomor satu. Kecerdasan nomor lima! Di nomor lima ini saja ternyata ia tidak terlalu bagus!" ujar Diatmar sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ketua Ansep tiba di sisi Diatmar dari sudut gelap ruangan. "Kau memandangnya dari perspektif Einstein. Aku telah jauh lebih dalam melihat anak ini. Dibandingkan dirimu, prospek Aswa sangat menjanjikan," Ujar Ketua Ansep. Ia menghela nafas lalu mengatakan, "Hah... Sayangnya kau tidak bisa mengingat bagaimana kau menangis sampai mau kencing karenanya! Kikikkikikik..." Ketua Ansep tertawa sambil menggeleng dan menutup wajahnya dengan tangan.
Diatmar melirik ke arah Ketua Ansep. Tawa Ketua Ansep yang cekikikan menarik perhatian Diatmar. Puluhan tahun bersama, Diatmar tidak pernah tau tawa Ketua Ansep sebegitu buruk.
"Selucu itukah?" kata Diatmar. Sebagai orang yang menjaga wibawa, peristiwa itu jelas sangat memalukan. Namun Ia benar-benar tidak bisa mengingat kejadian itu. Seingatnya, Aswa telah mati di tangannya. Setelah itu ia hanya mengingat saat-saat ia bangun dari tidur di markas Sekte Kelopak Angrek Putih.
Merasa malu, Diatmar mencoba mengubah topik pembicaraan, "Ketua, mengenai Neo..."
.........
#Ruang Latihan Utama#
Dibanding ruangan lain, ruang latihan utama dibuat lebih luas. Ruangan ini dibuat khusus agar siswa dapat mengeluarkan seluruh potensinya namun tidak membahayakan.
Sejumlah siswa berlatih menembakkan elemen jiwa ke arah boneka yang dibuat bergerak secara acak. Hanya sebagian kecil siswa yang berhasil mengenai boneka yang bergerak dengan cepat. Muncul tak terduga, lalu menghilang tiba-tiba.
Godel nampak tidak mau mengikuti latihan dengan berbaring di salah satu sudut ruangan. Di antara siswa kelas 12, hanya ia yang tidak mampu menembakkan elemen jiwa. Padahal elemen es termasuk elemen yang mudah diolah dan memiliki kegunaan yang hebat dalam petarungan.
"Si Pandai Aswa bisa menyadari kesulitanku. Ini memalukan!" gerutu Godel. Ia lalu duduk dan menyilangkan tangannya di depan dada sambil memandang ke arah siswa yang sedang berlatih. "Apa aku harus bertanya kepada Aswa?" pikir Godel. "Oh, tidak... kenapa aku memikirkan Aswa? Bodohnya!"
Godel menundukkan kepala dan berpikir keras. Dalam hal serangan jarak jauh, ia kalah telak dengan siswa lain setingkatnya.
Sebagai penganut paham iblis yang diketahui pihak sekolah, Godel tidak begitu mendapat perhatian seperti siswa lain. Kesulitan yang dihadapinya diperparah dengan bakatnya yang dipandang kurang. Jika bakat Godel sangat bagus, pihak sekolah akan memberikan fasilitas dan merubah idiologi iblisnya. Sehingga, saat lulus, Godel bisa masuk ke dalam pasukan militer untuk memerangi kejahatan.
*Whooossszz...*
Hembusan angin menerpa rambut depan Godel. Seketika Godel mengambil sikap kuda-kuda untuk bertarung.
Seorang wanita berambut merah tersenyum sinis kepada Godel. Di telapak tangannya nampak elemen api melompat-lompat.
"Ersa Si Cacing... Cuih!" umpat Godel. Wanita ini seperti duri dalam daging. Sejak kelas satu sampai sekarang terus-terusan menghina Godel.
"The Dragon, Del... Hehehe... tidak mau ikut latihan?" ejek Ersa.
Dengan beberapa langkah cepat, Godel berhasil memperpendek jarak dengan Ersa.
*Whooo....*
Godel mengeluarkan es dari mulutnya. "Hehehe... seperti biasanya Godel," keluh Ersa. Hawa dingin tiada terasa di tubuh Ersa yang berelemen api. Ia tau itu sehingga tidak bepindah satu inci pun.
Sejurus kemudian Godel mencakar ke bagian depan tubuh Ersa. *Blitsss...*
Serangan Godel cukup cepat dan tiba-tiba. Ersa hanya bisa sedikit menghindar hingga menyebabkan pakaian latihannya sobek di bagian dada.
"Kurang ajar!" umpat Ersa. Segera ia menyerang balik Godel. Pertarungan tidak dapat dihindari!
Beberapa kali Ersa menembakkan api ke arah Godel. Biasanya serangan ini tepat sasaran. Tapi kali ini semua meleset. Dengan cekatan Godel menghindari setiap serangan sembari menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Guru pelatih dan siswa lain hanya jadi penonton. Mereka akan masuk melerai jika ada kemungkinan buruk terjadi.
Beberapa siswa lain masih melanjutkan latihan. Perkelahian Ersa dan Godel terlalu sering mereka saksikan. Godel yang selalu kalah.
"Terus, Del! Sampai kapan kau akan menghindar?" ujar Ersa, memprovokasi.
Tanpa terduga Godel berada di belakang Ersa. *Boom* pukulan Godel mengarah tepat ke arah Ersa yang masih bisa menangkisnya dengan dua tangan.
Mendapat pukulan keras dari Godel, Ersa terlempar beberapa belas meter. Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Godel melepaskan pisau es ke arah Ersa.
*Wussszz* pisau es melesat.
Ersa tidak menyadari tembakan pisau ini!
Pelatih dan para siswa yang menyaksikan tercengang melihat godel menembakkan pisau es. Godel akhirnya bisa menembakkan elemen!
*Sliiiing* Seorang siswa berambut merah mirip Ersa tiba-tiba melindungi Ersa. Dengan santai ia menangkis pisau es Godel dengan semprotan api.
Es akan mencair pada suhu tinggi. Ini hukum alam!
Benar saja, pisau es sudah mencair. Akan tetapi, pisau masih melesat! Ini pisau yang dibalur es oleh Godel.
*Blesss...*pisau menancap di telapak tangan.
"Awww...." siswa itu sedikit kesakitan. Telapak tangannya mengalami pendarahan.
Seketika Godel terkena tekanan gaya gravitasi hingga membuatnya terduduk. Ini sistem keamanan Ruang Latihan Utama! Dengan mudah Godel dibekuk penjaga sekolah karena menggunakan senjata di ruang latihan. Bahkan Godel bisa dikatakan melakukan upaya pembunuhan. Hal ini tidak bisa ditorelir untuk siswa di tingkat SMA.
........
Aswa telah selesai menjalani hukuman. Walau berbadan sedikit gempal, Aswa berhasil melewati 15 putaran keliling lapangan sekolah. Saat ini ia berdiri menghadap Bu Guru dengan nafas ngos-ngosan.
"Aku harap kau tidak mengulangi kesalahan. Duduk!" perintah Bu Guru sambil melambai.
"Terima kasih ibu cantik," kata Aswa.
Bu Guru melotot ke arah Aswa dan bertanya, "Apa kau katakan? Masih ingin dihukum?"
Aswa menunduk lalu menjawab, "Maaf, Bu. Saya tidak tau nama ibu. Tapi Ibu benar-benar cantik sampai mulut saya tidak bisa saya tahan..."
Sayup-sayup terdengar teman sekelas Aswa kembali mengomentari Aswa.
"Hah, ternyata ia orang bodoh! Ibu Mawar yang paling populer di sekolah ini!"
"Tidak ku sangka demikian." siswa lain ikut menyeletuk.
Aswa menoleh sedikit ke arah penggosip.
"Astaga... siapa namamu?" tanya Bu Mawar dengan nada kesal. Ia tau ada siswa yang tidak masuk selama puluhan hari. Tapi karena tidak peduli, Bu Mawar jadi tidak tau nama Aswa.
"Asnawarman Hamran, dipanggil Aswa, bu," jawab Aswa.
Ibu Mawar menyangga tangannya ke dagu. Kehadiran Aswa baginya mengganggu proses belajar-mengajar. "Baiklah. Tanyakan nama saya ke temanmu. Duduklah... ibu akan melanjutkan pelajaran," kata Bu Mawar.
Tiba-tiba Karang Wasi berdiri sambil mengangkat tangan. "Interupsi, Bu!"
"Silahkan," kata Bu Mawar setengah kaget.
"Saya mohon Bu Mawar tidak memperkenankannya masuk kelas. Bau keringatnya mengganggu konsentrasi saya belajar. Jika ia tetap masuk, saya mohon izin meninggalkan kelas," kata Karang Wasi dengan tegas.
Bu Mawar terlihat ragu mengambil keputusan. Urung menempati tempat duduknya, Aswa segera kembali menghadap Bu Mawar.
"Maaf, Bu. Sebenarnya saya juga sulit belajar dalam kondisi berkeringat. Saya mohon izin tidak masuk pelajaran ini," kata Aswa.
Mendengar perkataan Aswa yang sangat sopan membuat Bu Mawar terenyuh. "Kau sudah lama tidak masuk sekolah. Jika tidak masuk lagi, kau akan ketinggalan jauh dari teman-temanmu."
Aswa segera menjawab, "Saya juga khawatir, Bu. Sebenarnya saya mengharap bantuan dari orang sebaik ibu membantu saya mengejar ketertinggalan. Bakat bela diri saya memang rendah. Tapi semangat saya tidak akan pernah kendor."
"Semangat dengkulmu!" kutuk Karang Wasi dalam hati.
"Baiklah, Aswa. Ibu siap saja membantumu. Yang penting kau tidak jahil lagi dan terus bersemangat. Silahkan kau tidak mengikuti pelajaran hari ini," kata Bu Mawar dengan nada lembut. Sungguh menyejukkan di benak Aswa.
Jauh di lubuk hati Aswa yang tipis-tipis dalam, nafsu bejat Aswa menuntunnya untuk berkata memelas. Ia tentu saja mengambil kesempatan untuk dekat dengan Bu Mawar. Wanita cantik adalah kelemahan Aswa yang hakiki.
...........
#Ruang Wakil Kepala Sekolah Bidang Pendidikan#
Ketua Ansep dan Diatmar duduk di atas sofa sambil menatap seorang bocah SMP. Bocah ini putra Master Sain, Neo...
"Ruangan ini asyik, ya!" kata Neo dengan santai sambil memakan buah.
Diatmar sebenarnya tidak suka dengan perangai Neo. Tapi Diatmar tidak begitu tau cara memberinya pelajaran. Walaupun pernah sekali waktu ia memukul Neo. Namun Neo tetap tidak mau berubah. Menghadapi Neo jauh lebih sulit daripada menghadapi Aswa. Ia sebenarnya masih menunggu saat-saat memberi Neo pelajaran berikutnya. Sembari menunggu kabar kematian Neo.
"Kau belum menjawab pertanyaanku!" kata Diatmar.
Ditekan Diatmar, Neo tidak sedikitpun gentar. Neo menoleh ke arah Ketua Ansep lalu berkata, "Ketua, om Diatmar terlalu mengurusi urusanku. Terserahku donk mau buat Squad macam apa!"
"Bukan masalah membuat squadnya! Tapi kenapa kau memasukkan nama Godel?!" bentak Diatmar.
Neo menggigit buah apel lalu berkata sambil mengunyah, "Ini siapa yang dodol? Aku bilang Godel itu adalah temanku! Berapa kali harus ku bilang?"
"Teman apa? Ia pengkhianat Guild Cahaya dan menjadi buronan. Berteman dengannya akan membawa masalah. Sekarang kau sudah terlanjur mengeksposnya!" kata Diatmar.
"Memang ke..." belum sempat Neo berucap, Ketua Ansep buru-buru melempar kepalanya dengan gumpalan kertas.
"Sssttt... Neo, sekali-kali berpikirlah sebelum bertindak. Apa yang dikatakan om Diatmar memang benar. Guild cahaya salah satu pendukung kuat penguasa. Belum waktunya menghadapi mereka. Belum lagi kau mengajak orang-orang di luar sekte, Yanda dan Jeon. Kami mengkhawatirkan keselamatanmu dan kerahasiaan sekte. " kata Ketua Ansep sebelum dipotong Neo, "Tapi kita adalah gerakan... Awww!" lagi-lagi gumpalan kertas mengenai kepala Neo. Kali ini meninggalkan benjolan karena gumpalan kertas itu berisi batu.
"Aku belum selesai bicara!" bentak Ketua Ansep.
Diatmar tiba-tiba berdiri. "Aku tidak mau menghadapi bocah ini. Batinku terasa sakit sekarang!" Diatmar langsung pergi meninggalkan ruangan.
Di depan pintu Diatmar berpapasan dengan Aswa. Matanya tajam dan penuh kebencian. Aswa membalas tatapan itu dengan santai seolah tiada yang ia takuti dari Diatmar.
Aswa tetap melangkahkan kakinya tanpa ragu masuk ke dalam ruangan. Diatmar juga demikian.
"Oh, Aswa! Duduklah, nak..." Sambut Ketua Ansep.
"Ketua." Aswa memberi hormat lalu duduk di dekat Neo.
Neo menepuk punggung Aswa lalu berkata, "Kau sungguh beruntung jadi wakilku di Neo Squad. Hahaha..."
Aswa terlihat kebingungan. Baru setelah dijelaskan Ketua Ansep ia paham duduk masalahnya.
Neo secara sepihak mendaftarkan dirinya, Aswa, Jeon, Yanda, Ningtyas dan Godel dalam Squad yang ia beri namanya sendiri, Neo Squad (kalau dalam bahasa inggris seharusnya Neo's Squad. Tapi Neo tidak mengerti bahasa inggris).
Hal yang ditakutkan Ketua Sekte adalah pencantuman nama Godel. "Nama Godel dapat menyebabkan kalian, Yanda dan Jeon akan diburu Guild Cahaya. Ningtyas juga anggota Keluarga Pipit Ungu yang sampai sekarang masih dicari keberadaannya oleh penguasa. Belum lagi kerahasiaan sekte yang tidak boleh diketahui oleh anggota lain selain Neo. Aswa, kau sekalipun masih calon anggota sekte. Walaupun jujur aku benar-benar berharap kau bisa bergabung dengan kami," ujar Ketua Ansep.
Sambil berjalan ke arah jendela Ketua Ansep melanjutkan, "Saat anggota membuat suatu kelompok yang terorganisir, sekte akan memberikan dukungan penuh secara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi keberadaan anggota lain dapat menyebabkan kebocoran informasi rahasia. Hal ini sangat dihindari. Itulah mengapa Sekte Kelopak Anggrek Putih, yang telah ada sejak seratus tahun setelah Kaki Tangan Tuhan berkuasa, masih tetap terjaga kerahasiaannya. Para anggota sangat berhati-hati dalam bertindak dan merekrut anggota baru."
........
"Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain merencanakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Walaupun saya akui langkah saya menjadi lebih sulit sekarang karena kami terlanjur terekspos. Neo... Huh... dasar si pintar!" komentar Aswa. Ia sebenarnya sangat kesal dengan Neo yang lagi-lagi membuat masalah.
Aswa lalu merangkul leher Neo dan berkata, "Saudaraku, menyangkut pembuatan squad, aku memang sudah berencana membuatnya. Tentu saja tanpa memasukkan nama Godel dan Ningtyas karena sudah ketahuan beridiologi iblis. Tapi sisi baiknya, dengan membuat Squad, kita dapat mengikuti event-event yang diadakan penguasa untuk meningkatkan kemampuan bertarung."
***