Beberapa kaleng minuman kosong tergeletak di lantai, berserakan di sekitar kaki tempat tidur dan sedikit isinya tumpah mengenai permukaan karpet.
Suasana kamar itu remang-remang tanpa sinar matahari dan lampu.
Sang pemilik kamar masih tertidur dengan posisi tertelungkup di atas kasur. Wajah indah dan tampannya yang terlihat damai dan tenang tertidur layaknya bayi tanpa dosa. Di sampingnya, terdapat laptop putih yang berada pada mode siaga, lampu kecil di sudutnya memancarkan cahaya putih jernih. Selain laptop, juga ada sebuah tablet dan dua ponsel pintar.
Salah satu ponsel itu berdering, membuat lelaki yang tertidur tadi mengeryitkan kening tak suka. Tangan kanannya meraba permukaan kasur mencari-cari sumber bunyi mengganggu tersebut. Dengan mata masih berat dan kepala sakit oleh efek mabuk dan cahaya tiba-tiba dari ponselnya, ia menggeser tombol terima telepon di layar tanpa melihat jelas siapa yang menghubunginya.
"Halo?" ucap Wataru dengan nada kesal khas miliknya.
Wataru masih belum bisa memproses dan mengidentifikasi suara si penelepon, kedua matanya enggan diajak kerja sama untuk terbuka.
"Kau siapa?"
Si penelepon tergelak begitu keras.
"Apa? Diam kau!" Wataru berusaha membuka kedua matanya, namun rasa nyeri di antara keningnya membuatnya meringis, ia membalikkan tubuh menghadap langit-langit kamar.
Nada suara Shou terdengar jelas seolah dibuat-buat memelas.
"Kau berisik sekali pagi-pagi begini!" bentaknya, berusaha bangkit dari tempat tidur.
Suara Shou berubah serius dan dalam di ujung kalimat, licik dan penuh perhitungan.
"Terserah kau saja."
"Apa yang dikatakan Mika tentang Misaki?" tiba-tiba kesadarannya bangkit meski sakit kepala menyerangnya kemudian, Wataru mengerang.
--------------
*Silahkan lihat arti nama Misaki di catatan Bab 4: Warna Merah Yang Mengintimidasi
--------------
"Aku tidak sedang main!" bentak Wataru dengan perasaan kesal, kening bertaut.
"Hah! Benarkah?"
Wataru berjalan lesuh menuju kulkas dan meraih satu botol air mineral ukuran sedang.
"Semalam aku minum terlalu banyak. Itu saja."
Shou terdengar menahan tawa dan nyaris tergelak di seberang sana. "Jangan membahas perempuan itu!" Wataru mengencangkan rahangnya, botol air mineral yang digenggamnya diremas kuat. Shou adalah pria paling buruk dan licik yang pernah Wataru temui dalam hidupnya, ia tak mau Misaki terlibat dengan manusia buruk macam itu. Bahkan, reputasinya sebagai playboy saat ini masih berada di bawah si penelpon itu. Jantung Wataru menjadi berdebar gelisah. Si penelepon adalah pemain wanita sejati, sekali ia menandai wanita yang menarik minatnya, maka akan dikejarnya sampai sukses membawanya ke tempat tidur, tak peduli siapa perempuan itu. Bukan hanya masalah merayu dan mendapatkan wanita yang lebih unggul dari Wataru, Shou adalah pria yang sangat kasar dan sadis saat sedang bermain dengan pasangannya, lelaki itu akan mencoba banyak macam cara dan metode dalam 'menikmati' hidangan di hadapannya sampai hal paling tabu dan berbahaya sekalipun. Shou ibarat candu s*ks bagi perempuan mana saja yang pernah tidur dengannya. Pria licik itu bukan hanya senang gonta-ganti pasangan sampai tak tahu nama yang sudah diajaknya tidur, tapi ia suka dilayani lebih dari satu wanita di saat bersamaan. Jika dibandingkan dengannya, Wataru seolah masih anak TK di hadapannya. "Misaki perempuan baik-baik. Jangan menyentuhnya...." Wataru berusaha menahan nada bicaranya agar terdengar santai dan tak peduli, namun tanpa sepengetahuan Wataru, si lawan bicara tersenyum penuh minat dengan kedua bola mata memancarkan sinar temaram yang misterius. Wataru membeku menyadari kesalahannya berbicara, kedua bola matanya mengecil dan bergetar. "A-ah.... Ya. Dia sangat patuh di atas kasur. Jangan mengganggunya. Dia mainan pribadiku. Aku tidak ingin berbagi 'hidangan' dengan yang satu ini." "Aku tidak peduli." Shou sengaja menekan dua kata terakhir dengan tujuan melakukan intimadi psikologi padanya, dan semua kalimat itu diucapkan bertujuan untuk menyindirnya. Tenggorokan Wataru tercekat mendengar hal itu, sakit kepalanya akibat mabuk tiba-tiba lenyap, darah berdesir di nadinya. "Perempuan itu adalah salah satu alat untuk mencapai tujuanku. Jangan mengganggunya!" Wataru berbohong, atau bisa jadi hal itu akan menjadi kenyataan mengingat keinginannya untuk menghancurkan Misaki dengan tangannya sendiri masih dalam status aktif. Jadi, rasanya tidak salah ia berkata demikian. Ia tak mau merusak kepercayaan si lawan bicara, karena Shou merupakan jaringan paling kuat yang dimilikinya, lelaki yang memiliki banyak informasi dan mampu menyediakan barang-barang langka serta ilegal. "Kau sedang mengejekku, ya?" Shou diam-diam menahan tawa. "Dari tadi kau bicara yang tidak berguna. Ada apa meneleponku? Kenapa melalui nomor utamaku?" "Tidak. Aku akam mengambilnya sendiri. Sudah kubilang aku punya hal yang ingin dibicarakan." "Berhenti memanggilku dengan sebutan waka-sama!" Wataru tiba-tiba teringat kejadian kemarin saat bertemu lelaki kaya menyebalkan, dan hal itu merembet pada ingatan akan hadiah-hadiah yang ditujukan untuk Misaki. Hatinya kembali panas secara perlahan. Ledeknya seraya terbahak di ujung telepon. "KAU!" Wataru mendecakkan lidah, kesal. "Tidak. Aku sedang sibuk. Nanti aku hubungi kembali. Oh! Satu lagi, apa kau sudah melakukan apa yang kuperintahkan?"