"Sepertinya kau punya gaya bicara yang unik, ya, 'waka. sama'?" sindirnya dengan penekanan dibuat-buat di akhir kalimat. Wataru menatap miring ke arah Mamoru. Ia memijat-mijat tangannya yang sakit akibat pitingan tadi. Meski terlihat tangguh di luar, tapi dalam hati ia meringis efek dari pitingan sang butler, lumayan juga untuk pria sepertinya.
Sudah lama ia tak melatih tubuh dan kemampuannya sehingga tak heran dengan mudahnya ia dikalahkan. Walau tahu kenyataan itu, tetap saja membuatnya cukup terkejut oleh serangan tiba-tiba yang tak pernah dibayangkannya hadir dari seorang butler tua. Keterkejutan itu meninggalkan rasa jengkel lain selain sikap para penumpang mobil limusin yang begitu sombong.
Mamoru kembali tertawa-tawa girang sejenak, "saya orang yang sibuk. Tolong sebutkan saja berapa harga yang Anda inginkan. Saya malas membawa hal ini ke meja hukum. Lagi pula, jika kita ke pengadilan, sudah jelas siapa pemenangnya, bukan?" senyum tipis mengejeknya terlihat jelas di depan Wataru.
"Hooo... anak orang kaya yang sombongnya selangit rupanya. Baiknya kuhancurkan dengan cara yang bagaimana, ya?" ujarnya berbisik dengan nada suara terkontrol, matanya menilai penampilan Mamoru dari ujung kaki hingga kepala. Hatinya tergelitik membuat lelaki berambut abu-abu itu menjerit gila karena kehilangan uang dan harta.
"Maaf. Saya tak bisa mendengar ucapan Anda. Tolong sebutkan jumlah nominalnya, NEET-san?!" tangan kirinya bergerak-gerak memanggil sang butler yang berdiri di belakangnya.
"Aku tidak ingin uangmu. Minta maaf saja sudah cukup!"
Mamoru lagi-lagi tertawa-tawa girang.
"Jangan meminta yang tidak-tidak, NEET-san." Nada suara Mamoru berubah dingin dan mengancam, ia melempar uang tadi ke aspal, ke hadapan Wataru, "kurasa ini sudah cukup menutupi salah paham kita. Jangan berulah pada orang yang tak selevel denganmu. Benar begitu, kan, Alfred-san?"
"Benar sekali, waka-sama."
Alfred berdiri di samping Mamoru dengan kedua tangan ditautkan di belakang tubuh, dada membusung tegas.
"Aku bilang tak ingin uangmu, anak manja!" Wataru menendang seikat uang itu ke arah Mamoru.
"Ckckck! Sungguh lelaki miskin tak tahu diri!" tatapannya menyipit tak suka.
"Cepat berlutut dan minta maaf!" seru Wataru dengan suara dalam tertahan, tangan kanan dimajukan dengan posisi telunjuk mengarah ke aspal.
"Tidak mau." Jawab Mamoru dengan nada riang menjengkelkan dan tegas.
"Apa?"
"Kami tidak salah. Kenapa harus minta maaf? Harusnya Anda bersyukur kami akan memberi uang."
"Jangan bercanda, ya!"
"Anda yang jangan bercanda, tuan NEET-san!" Alfred berdeham sekali, mendahului tuannya berbicara, "maaf, saya menyela Anda. Biar saya jelaskan situasinya."
"Oke. Tolong dipercepat, Alfred-san. Kita sedang terburu-buru."
Mamoru berjalan menuju pintu limusin, mendorong tubuh Wataru dengan keras hingga sang playboy itu nyaris terjatuh dari pijakannya. Bola matanya membesar, kembali terkejut dengan perlakuan seenaknya itu.
"Oi! Apa kau tak punya tata krama?"
"Maaf, NEET-san! Berdebat di tengah jalan bukanlah levelku! Silahkan berurusan dengan pengacaraku jika Anda bersedia keluar uang banyak."
Dan dengan ucapan setengah mengancam itu, Mamoru menutup pintu mobil dengan perasaan puas setelah melihat ekspresi syok di wajah lawan bicaranya.
Wataru hendak meraih pegangan pintu untuk dibuka paksa, tapi sang butler buru-buru menghentikannya.
"Saya mohon anda berpikir logis, tuan! Terima saja uang ini, dan tak usah ada keributan yang tidak perlu."
Ia menyodorkan uang tersebut ke dalam tangkupan kedua tangan Wataru.
"Apa-apaan, kalian ini!"
"Keluarga Sato tidak akan membiarkan skandal remeh begini menghiasi karir putra mereka yang gemilang. Anda bisa dihancurkan jika nekat melawannya. Saya mohon, dinginkan kepala anda dan terimalah uangnya demi kebaikan kita semua."
Wataru yang semula marah bukan karena masalah hampir ditabrak, kini kembali menggunakan otaknya ketimbang emosi yang meluap-luap. Sang butler itu ada benarnya juga. Jika ia terlibat skandal dengan anak manja sombong sepertinya, ia bukan hanya akan membuka potensi tersorot kamera media seluruh negeri dan dikejar-kejar paparazi, tapi semua rencananya selama bertahun-tahun bisa hancur berantakan. Dengan perasaan tak rela ia melemaskan ketegangan otot di sekujur tubuhnya dan memandang sinis pada sang butler. Uang yang ada di tangkupannya dihempaskan ke aspal.
"Aku tak butuh uang kalian! Buang saja ke tempat sampah! Uang kotor semacam ini bahkan di panti asuhan pun tak layak mendapatkannya!"
Alfred terkejut dengan ucapan kasar itu, kedua bahunya naik dengan kedua bola mata melotot.
"Anda terlalu kasar, tuan!"
"Oh, ya? Lantas, bagaimana dengan tuan kalian itu? Didikan macam apa yang diberikan keluarganya yang kaya raya hingga menjadi anak tak punya tata krama begitu? Kau pikir uang bisa menyelesaikan semua hal di dunia ini? Aku benci dengan model manusia seperti kalian! Cuih!" Wataru meludah ke jendela limusin.
"Anda benar-benar kurang ajar! Tuan saya sudah cukup sabar dan bermurah hati dengan sikap anda ini!" Alfred tampak geram, namun tetap menahan diri.
"Katakan pada tuan kalian itu, jika ia berurusan denganku sekali lagi, seperti kataku sebelumnya, ia akan menyesal pernah dilahirkan di dunia ini."
"Tuan!"
"Aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Ingat itu! Dasar orang kaya sombong!"
Sebelum pergi, Wataru menendang bagian belakang mobil tersebut.
"Sungguh kurang ajar dan kasar sekali anak muda itu!" Alfred mengepalkan kedua tangannya dengan perasaan gemas.
Jendela limusin diturunkan, Mamoru tersenyum kecil. "Lupakan masalah tidak penting ini, Alfred-san! Aku baru saja mendapat pesan dari informan kita di Amerika. Mereka sudah berhasil melacak keberadaan hacker legendaris itu dan membuat kontak dengannya. Ayo, kita cepat-cepat pulang dan bersiap ke bandara!"
"Oh! Baik, waka-sama!" Alfred membungkuk sejenak, lalu memungut uang yang sedari tadi dilemparkan ke aspal seolah kertas biasa oleh kedua pemuda itu. Ia menggeleng tak percaya. Uang dalam genggamannya itu setara dengan beberapa bulan gajinya.
Dasar anak muda jaman sekarang! batinnya lesu.
***