Chereads / Good Mother / Chapter 2 - Pelayan Palsu

Chapter 2 - Pelayan Palsu

Good Mother

Kelopak bunga berguguran.

Sebenarnya, Naila sudah meminum ramuan yang akan mencegah kehamilan. Namun, Dean masih merasa khawatir. Jadi, ia meminta Johan Kartz agar menikahi putrinya.

Johan Kartz merupakan tangan kanan kepercayaan sang Armaghan. Pemuda ini sangat piawai dan teliti dalam bekerja. Memiliki perangai lembut dan ramah. Oleh karena itu, keluarga Armaghan sangat menyukainya. 

"Jadi, dia sudah setuju?" Anna menyodorkan handuk. "Sayang, apa kau yakin dengan keputusan ini?"

Mengesah, Dean mengusap-usap rambut menggunakan handuk yang diberikan oleh istrinya. "Johan sudah seperti putra bagiku. Dia pria yang ramah, cerdas, dan mampu diandalkan. Kurasa cukup layak untuk menjaga Naila."

"Aku tahu itu. Hanya saja ...."

Merebahkan tubuh di kasur, Dean memandang wanita berpinggang ramping di sisi kaca. "Hanya apa?"

Memandang ke luar kaca, Anna menghela napas. "Hanya saja, saat ini kita tidak bisa mempercayai siapa pun."

Mengesah, Dean bangkit. Menghampiri sang istri, memeluk pinggang Anna. "Sayang, aku tahu kau cemas. Namun percayalah, Johan pria yang baik. Aku bisa menjamin itu. Lagi pula, seperti katamu tempo lalu. Tidak seekor semut pun dapat keluar dari kediaman Armaghan. Kita akan lekas mendapatkan keparat itu secepatnya."

Mengusap pipi Dean yang ditumbuhi cambang halus, Anna memejam. "Semoga ...."

Angin lirih berembus.

<>

Taman bunga.

Bersama semilir angin, Naila dan Johan menyusuri jalan setapak yang tersusun dari batu-batu hitam mengilap. Di sisi-sisi jalan, rumput-rumput hijau tertata rapi. Pohon-pohon musim semi bertengger, meranggaskan kelopak-kelopak bunga.

Dulu, Johan tidak lebih dari gembel di jalanan. Sampai suatu hari, ia mencoba merampok Dean. Sayang, ia malah serupa tikus yang masuk ke kandang singa. Tidak mampu berkutik sama sekali. Namun, tanpa diduga, sang Armaghan malah memungut dan memanusiakannya.

Kini, Johan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada Dean. Jadi, ketika sang Armaghan meminta ia menikahi putrinya. Tidak menolak sama sekali. Meski tahu Naila sudah dinodai oleh orang yang tidak bertanggung jawab, Johan tidak keberatan.

"Apa kau yakin dengan keputusanmu untuk menikah denganku, Jo?" Suara halus Naila memecah keheningan.

"Ya."

"Kau terpaksa, bukan?"

Johan menatap wanita yang hanya setinggi pundaknya. "Tidak."

Naila menghentikan langkah, memutar sedikit tubuh agar dapat berhadapan dengan calon suaminya. "Apa kau mencintaiku?"

Menggeleng, Johan memandang ragu. "Saat ini belum, tapi saya akan berusaha mencintai Nona Naila dengan sepenuh hati."

Meski masih tampak sedikit kesedihan, tawa rendah Naila mengalun. Selama ini, ia tidak terlalu memerhatikan pria berwajah teduh itu. Benar-benar sosok yang jujur. Pantas ayahnya sangat menyukai Johan──dan mungkin──ia pun akan segera menyukainya juga.

"Setelah menikah, apa kau akan tetap memanggilku dengan sebutan 'Nona', huh?"

"Eh?" Johan tersenyum canggung. "Itu ...."

"Belajarlah menghilangkan kata nona, Jo."

"Baik, N-nai ... Naila ...."

Tersenyum, Naila menghambur memeluk tubuh tegap di depannya. Mencoba mengembangkan perasaan di dalam hati agar lebih cepat berubah menjadi cinta. Ia memejam, mencari kenyamanan. Mendengarkan detak jantung Johan yang berdentum cepat.

Mematung, Johan tetap bergeming. Pendekatan yang terlalu cepat, ia belum siap. Meski pada akhirnya, ragu-ragu mengangkat tangan. Merengkuh punggung Naila. Namun, suara nyaring ringkikan kuda tiba-tiba memenuhi udara.

Naila buru-buru melepaskan rangkulan, memendarkan pandang mencari sumber suara. Mengernyit tatkala melihat sekor kuda jantan bertubuh besar berlari melewati bunga-bunga hias. Di belakangnya, pemuda berkulit pucat mengejar tergopoh-gopoh.

Penasaran, Naila melangkah menghampiri. Johan mengikuti dari belakang.

Si pemuda berkulit pucat telah berhasil mengejar dan menenangkan si kuda. Dengan lembut ia mengusap-usap puncak kepala bintang pelari cepat itu.

"Kenapa dengan kuda ini?" Naila memandang si pemuda berikut kudanya.

Membungkuk sopan, si pemuda menundukkan kepala. "Pelayan baru salah memberi pakan. Kuda ini jadi marah lalu mengamuk."

"Oh." Naila mengangguk. "Apa kau juga baru? Aku belum pernah melihatmu."

"Iya, saya baru beberapa hari di sini."

"Namamu?"

"Adrian."

"Margamu?"

"Roperros."

Menyipitkan mata, Naila menatap lekat-lekat Adrian sampai beberapa waktu. Ia merasa ada suatu hal yang janggal dengan pekerja baru itu. Namun, umpama tertutup kabut tebal, sulit melihatnya. Hanya mampu dirasakan, tetapi sulit dijelaskan.

Johan menyadari perubahan sikap Naila. Jadi, ia menepuk pelan pundak gadis itu. "Apa ada yang salah dengan pelayan baru ini."

Mengerjap kaget, Naila menjawab dengan sedikit terbata-bata. "T-tidak ... tidak ada."

"Jika tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, saya mohon pamit mengantar kembali kuda ini ke kandangnya."

"Pergilah."

Adrian membungkuk hormat. Lantas buru-buru berlalu setelah mendapat izin dari Naila.

"Nai, kau baik-baik saja?" Johan memerhatikan wajah calon istrinya yang sedikit memucat.

"Ya. Aku tidak apa-apa." Naila tersenyum meyakinkan. Namun, malah terlihat getir. Traumatik atas kejadian buruk beberapa hari lalu masih tersisa. Sedikit membuat mual dan menjijikkan. Walau sudah berusaha dilupakan, tetap terbayang.

"Kau terlihat kurang sehat, Nai. Lebih baik masuk dan istirahat."

Mengangguk, Naila tidak menolak. Ia memang agak sedikit merasa lelah. Mungkin tidur akan menjadi pilihan.

Johan mengantar calon istrinya memasuki kastel.

<>

Adrian telah sampai di istal, kandang kuda. Usai memasukkan kembali kuda yang tadi sempat mengamuk dan lari. Ia mengambil sekop kecil dan ember kayu untuk membersihkan kotoran di kandang.

"Ellan ...."

Adrian yang tengah berjongkok membersihkan kotoran kuda membeku seketika. Seluruh tubuhnya mendadak menjadi kebas. Menelan ludah. Ragu-ragu ia berdiri, tetapi tidak berbalik. Meski sudah lama tidak bertemu, ia masih mengenali suara wanita itu.

"Di sini bukan tempatmu. Kenapa kau bisa sampai ada di sini? Apa Altan yang memintamu kemari?"

Adrian yang sebenarnya Ellan menggeleng. Masih tetap membelakangi. "Ibu ... aku datang untuk memberi tahumu sesuatu."

"Memberi tahuku, tentang apa?" Anna mengernyitkan alis.

Berbalik, Ellan menatap lekat wanita cantik di depannya. "Ayah mengirim para pembunuh untuk membunuh suami Ibu."

Menatap dingin, Anna tidak menampilkan ekspresi apa pun di wajahnya. "Kau bisa menunjukkan siapa saja mereka?"

Ellan mengangguk. "Ya."

________

Bersambung ....

________