Good Mother
•
•
Ruangan bernuansa cokelat tawny.
Di dinding kamar, terdapat beragam simbol dan tulisan-tulisan latin rumit. Buku-buku tebal maupun tipis berjejer rapi di rak kecil, bersih terawat. Sinar mentari menerobos celah-celah ventilasi, membentuk jalur-jalur cahaya keemasan.
Di kursi kayu, Johan duduk menghadap beranda kaca. Ia memangku mantel juga kemeja tipis dengan kedua tangan. Guratan-guratan di wajahnya menyiratkan kegelisahan dan lelah. Mungkin, terlalu banyak berpikir keras. Sebab, berkali-kali pula ia menghela napas.
Zeeki membawa mangkuk kecil mengilap. Ia melangkah kalem ke arah pria yang sebentar lagi menjadi kakak iparnya. Telaten, mengoleskan ramuan berwarna kuning pucat pada bahu yang mengalami cedera cakaran. Tenang dan lihai. Jelas, ia cukup berpengalaman mengobati orang. Namun, Zeeki sedikit mengernyit menatap pantulan samar raut muram di hadapannya.
"Ada apa? Apa ada sesuatu, Jo?"
Mengesah, Johan meluruskan pandangan. "Ya, ada beberapa hal."
"Boleh kutahu?"
"Tidakkah, kau merasa semua ini terlalu kebetulan, Zee? Pertama, seorang penyusup datang seperti hantu dan menodai Naila. Lebih parah, hal itu dilakukan di kastel ini, rumah kita sendiri. Lalu, mendadak Nyonya Anna berhasil mengenali penyusup yang dikirim Altan. Di saat yang sama, seseorang datang mencakar bahu kiriku dengan racun, sehingga bekas cakarannya akan sulit dihilangkan. Bukankah semua ini terlalu kebetulan? Aku merasa semua kejadian ini saling berhubungan satu sama lain? Dan tentu saja, didalangi oleh orang yang sama." Kedua mata Johan menyipit lebih rapat, sedangkan jemarinya mengepal erat.
Zeeki sudah selesai mengolesi luka di bahu Johan. Ia melangkah ke sisi ranjang dan duduk di tepinya. "Pertama, seseorang ingin kau dituduh sebagai pelaku yang menodai Kak Naila. Kedua, orang yang menyerangmu sudah pasti memiliki hubungan dengan si pelaku. Bila tidak, mana mungkin ia tahu di mana harus menempatkan luka. Bisa juga, orang yang menyerangmu adalah si pelaku itu sendiri. Hanya satu hal yang tidak kumengerti. Kenapa harus kau yang menjadi target? Apa dia mengincar posisimu sebagai orang kepercayaan Ayah?"
"Mungkin."
"Namun, bukankah semua orang telah diperiksa? Dan ...."
"Pelakunya tidak ditemukan." Johan mendesis lirih. "Seseorang yang memiliki akses leluasa pasti telah membuka jalan. Jadi, si pelaku bisa dengan mudah dan bebas melarikan diri. Padahal, tidak banyak orang yang memiliki akses di kastel ini."
"Orang yang memiliki akses leluasa." Zeeki memandangi deretan buku di rak. "Salah satunya, Ibu Anna."
Raut wajah Johan tidak menampilkan perubahan ekspresi. Namun, ia menghela napas cukup panjang.
Zeeki memandang calon kakak iparnya dengan tatapan serius. "Jo, mungkinkah Ibu Anna dalang di balik semua kejadian ini?"
Menggeleng lemah, Johan memandangi Ashalina yang tengah berlarian di taman. "Saat ini, aku tidak memiliki bukti apa-apa. Namun, sejak awal kedatangan wanita itu ke keluarga Armaghan, aku tidak pernah bisa mempercayainya. Bagaimanapun, wanita itu yang sudah membuat Nyonya Eira menderita. Sangat menderita, hingga beliau memutuskan mengakhiri hidup."
Mendengarkan tiap kata yang meluncur dari mulut Johan, Zeeki menggeram tertahan. Seolah tiap kata mampu menghadirkan lahar panas yang bergolak, tumpah ruah memenuhi dada. Marah, membuat kedua mata memerah.
"Benar! Kau benar! Wanita itu yang sudah membuat Ibuku menderita, hingga memutuskan mengakhiri hidupnya."
Mendapati suara calon adik iparnya bergetar, Johan menyadari remaja berusia delapan belas tahunan tahunan itu tengah menahan amarah. Tersenyum lembut, ia coba menenangkan. "Kendalikan emosimu, Zee. Kau tahu, orang yang tidak mampu mengendalikan emosi akan mengalami kegagalan lebih awal."
"Aku tahu." Zeeki mengembuskan napas pelan-pelan. Melebur semua amarah dan mulai mengendalikan diri.
Johan mengenakan kembali semua pakaiannya dan tengah merapikan kancing kemeja di bagian lengan. "Berburu saat marah hanya akan mendapat lelah. Ingat pepatah kuno itu baik-baik, Zee."
"Akan kuingat." Zeeki mengangguk kemudian mendongak, menatap lurus. "Jo, aku sudah menganggapmu sebagai kakak kandungku sendiri. Tolong, jaga Kak Naila dan buat di bahagia. Jangan menyakitinya."
"Kau pun sudah seperti adik bagiku, Zee." Johan bangkit dan merangkul Zeeki, menepuk-nepuk punggung remaja itu. "Aku pasti akan menjaga Naila dan membuatnya bahagia."
"Kau pria yang cerdas dan juga kepercayaan Ayah. Aku percaya padamu."
"Terima kasih. Jangan memujiku berlebihan." Johan melepaskan rangkulannya. "Omong-omong, aku harus mengurus sesuatu."
"Ya, pergilah."
Menepuk pundak calon adik iparnya sekali lagi, Johan melangkah pergi.
Hening.
Zeeki tercenung sendirian. Lama ia terdiam, mengendalikan kesabaran. Memejam menenangkan diri. Ketika membuka mata lagi, ia menoleh ke sisi kaca, menatap bocah perempuan yang tengah asyik bermain di taman.
Menyipitkan mata, Zeeki mengatupkan rahang.
Kabut benci melintas di rautnya yang muram.
Pengendalian dirinya gagal.
Marah masih bersarang.
Mengotori hati.
<>
Cahaya lilin memendar.
Ruangan redup redam, sedangkan asap teh mengepul tipis-tipis. Anna terdiam memandangi air berwarna cokelat madu di dalam gelas. Pantulan bayangan lidah api terlukis di kedua bola matanya yang menyorot tajam. Sudah cukup lama istri ketiga Dean Armaghan ini tercenung sendirian. Pelayan telah empat kali mengganti tehnya.
Menghadap ke dinding, seorang pria berusia tiga puluh tahunan berdiri mematung. Rambut gondrongnya tersanggul rapi. Kemeja ketat membuat otot-otot lengan dan dadanya terbentuk di balik kain.
"Ibu ingin aku membujuk Ayah supaya memeriksa Johan?"
"Benar."
"Tapi ... Ayah sangat mempercayai Johan, Bu."
"Karena itu aku membutuhkan bantuanmu, Cian. Ayahmu terlalu mempercayai Johan, aku tidak bisa memengaruhi pikirannya. Namun, terhadapmu Dean pasti mendengarkan. Walau bagaimana, kau adalah pewaris dari keluarga Armaghan. Ucapanmu pantas untuk didengar dan dipertimbangkan. Terlebih, kau putra dari istri pertama Dean, Nyonya Della Gallinna."
Menghela napas, Cian tidak mengatakan apa-apa. Bagaimana pun, hatinya selalu sakit apabila mendengar nama ibunya disebut-sebut.
"Kau mungkin tidak menyukai Eira. Sebab, kehadiran wanita itu yang membuat ibumu depresi, hingga akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Namun, pada akhirnya Eira pun mengalami nasib yang sama dengan Della." Anna memandangi bayangan wajahnya di permukaan teh, tengah tersenyum miris. "Kau membenci ibu tirimu, tapi tidak dengan adik-adik tirimu. Benar begitu, bukan?"
"Kau juga ibu tiriku."
"Dan kau tidak membenciku."
"Benar."
"Tentu saja, itu sebuah pengecualian."
Tidak menjawab, Cian diam membisu.
"Cian, kau tidak ingin Naila jatuh pada orang yang salah, 'kan?"
Melangkah, Cian duduk menghadap ibu tirinya. "Aku akan bicara Ayah."
Tersenyum, Anna mengangguk. "Bagus. Namun, bicara saja tidak cukup."
Mengernyit, Cian menatap dengan sebuah tuntutan penjelasan.
"Pertama, pastikan Ayahmu bersedia memeriksa Johan sebelum pernikahan dilangsungkan. Waktunya sangat singkat. Jadi, kau bekerja keras. Kedua, bila Dean bersikeras mempercayai Johan, kita terpaksa harus memaksa tikus kecil itu membuka pakaiannya sendiri. Kau mengerti maksudku, bukan?"
Cian mengangguk. "Ya."
"Bergegaslah."
Berdiri, Cian membungkuk hormat lantas berlalu.
Anna mengantarkan putra tirinya dengan seulas senyum. Saat sudah sendirian, senyumannya berubah menjadi seringaian. Santai, ia menyesap teh dengan nikmat. Memandangi bayangan api pelita yang berlenggak-lenggok di dinding.
Air mata menetes jatuh.
Hening.
________
Bersambung ....
_________