Edited By Mel
Ruang Pertemuan Kerajaan Elim
Ruangan besar dan megah di penuhi lampu-lampu kristal dan garis-garis emas di setiap perabotannya. Ruangan itu benar-benar indah seakan di penuhi cahaya-cahaya bintang ketika malam, meski begitu suasananya tidak mencerminkan keindahan, hanya ketegangan dan kebingungan yang terasa di udara.
Para menteri dan jenderal serta kepala pemerintahan daerah berkumpul. Lionel dan Bernard pun berada di sana, di bangku terdepan dari para pemimpin lain, bersebelahan dengan seorang bertubuh besar dengan janggut di wajahnya.
Wanita berambut panjang berjalan keluar dengan tergesa-gesa, raja pun masuk dari pintu lain dan terlihat wajahnya menunjukkan hal yang sama.
"Hormat Paduka Raja!"
"Umur Panjang Yang Mulia Oracle!" Seluruh peserta pertemuan, baik menteri, perdana menteri, bendahara dan para kepala daerah memberikan hormat kepada keduanya secara bersamaan.
"Duduk!" Ujar Sang Raja. Ia pria paruh baya dengan tinggi seratus delapan puluh delapan sentimeter. Wajahnya memancarkan kebijaksanaan dan pengetahuan yang dalam. Wajahnya memiliki janggut dan kumis tipis yang membuatnya jadi lebih berwibawa, pakaiannya berwarna merah dengan jubah kerajaan dengan garis-garis emas di pinggir jahitannya.
Sang Oracle mengenakan baju putih yang sebelumnya ia kenakan, dengan mahkota emas yang sederhana namun indah.
"Aku tidak akan berlama-lama dan langsung ke inti permasalahannya." Sang Oracle berujar sambil menatap ke depan.
"Ramalan kebangkitan para kegelapan sudah dimulai, tapi para pembawa cahaya yang di katakan dalam ramalan itu pun belum kita temukan!"
"Aku merasakan celah dimensi telah terbuka di perbatasan antara Elim, akademi Exeter dan Gunung Umbara. Siapkan satu pasukan untuk memulai penyerangan!" sambung Sang Oracle.
Kerajaan Elim dipimpin oleh seorang Raja dan seorang Oracle. Oracle bukanlah sebuah nama melainkan sebuah jabatan. Setiap garis keturunan yang mampu mendengar semesta dan melihat masa depan akan menjadi penerus dan menyandang gelar Oracle. Telah menjadi tradisi dan kebiasaan bahwa semesta selalu menunjuk perempuan untuk menjadi Oracle selanjutnya.
Oracle merupakan seorang istri sang Raja, walau begitu ia menjauhkan dirinya dari hal-hal duniawi dan hanya mencari wahyu dari semesta. Meskipun pemimpin sebenarnya adalah Oracle dan penerusnya, namun setiap administrasi dan keputusan sering kali di alihkan pada raja. Namun ada hal khusus yang berlaku, setiap keputusan terakhir atas sebuah pilihan penting pasti selalu berasal dari sang Oracle.
"Baik Baginda Ratu, tapi siapakah yang akan pergi?!" Seorang pria dengan tubuh gemuk dengan rambut tersisir klinis membungkuk sembari maju ke pelataran. Ia bersujud sambil mengajukan pertanyaan pada sang Oracle.
Sang Ratu memandang ke arah raja, pria itu hanya mengangguk. Kemudian ia melihat ke arah Lionel dan Pria berjanggut di sebelahnya.
Pria berjanggut itu tanpa banyak berbicara berdiri dan kemudian membungkuk,"Yang Mulia, izinkan aku, Meridod membawa panji suci Elim dan menghancurkan para Iblis!" Suaranya tajam dan keras, membuat telinga seluruh orang di belakangnya kesakitan, mereka meringis akibat hal itu.
Meski begitu Oracle justru memandang Lionel yang hanya diam,"Lionel, pergi dan persiapkan dirimu!"
"Meridod! Kau juga bersiap, pergi ke bagian pegunungan. Kau harus menjaga para makhluk penghuni gunung itu!!" Ujar Sang ratu kemudian berdiri dan pergi.
"Lionel, mengapa?!" Meridod terlihat kesal, memandang pasangan ayah dan anak itu.
"Siapa penerusmu?!"
"Seharusnya kau segera menikah dan mempunyai keturunan atau kelak ketika kau mati hanya tinggal namamu saja yang tersisa!" ucap Lionel dengan sedikit rasa sedih di hatinya.
"Bagimu mungkin mati hanya kehilangan kesempatan untuk berperang lagi, tapi Elim kehilangan satu penjaganya dan tak akan bertahan di kemudian hari!" Lionel berucap dengan datar, merangkul Bernard dan beranjak pergi.
"Aku hendak berperang di antara gunung Umbara dan Akademi Exeter, kau ingat Umbara?! Kita berdua pun tak mampu membendungnya, bagaimana bila ia memanfaatkan waktu-waktu ini dan menyerang kerajaan!"
"Kau adalah perisai Elim!"
"Sedang aku adalah tombak perang!" Suaranya terdengar di lorong-lorong aula besar itu.
**
Akademi Exeter
"Hans!! Apa yang terjadi mengapa kau berteriak!" Ujar David sambil melihat sahabat baiknya itu sambil melotot.
Suara teriakan David menyadarkan Hans, ia menemukan semua mata memandang ke arahnya. Ia memandang ke arah bocah pembawa peti mati, mengabaikan pandangan ribuan orang ke arahnya.
"Ehm!"
"Mohon maaf atas gangguan sebelumnya, baiklah kita akan memulai pertandingannya!" Pico memandang Hans dengan tatapan penuh arti, kemudian berucap mengalihkan perhatian para penonton.
Pertandingan dimulai, arena pertarungan dipenuhi berbagai macam jenis magi. Namun mata Hans memandang ke arah bocah pembawa peti mati. Ia melangkah ke tengah arena pertarungan, sementara para magi lain juga terlihat tegang dan mengawasi lawan-lawannya.
"Mulai!" Suara Pico terdengar ke seluruh penjuru.
Puluhan peserta ujian berlari ke arahnya, menyerangnya dengan serangan mereka. Beberapa bola-bola jiha beterbangan ke arahnya, serangan bola jiha adalah serangan paling dasar dalam penggunaan jiha. Para magi tidak perlu membentuk aksara, hanya dengan memusatkan jiha pada tangan mereka dan melepaskannya para magi bisa melepaskan serangan ini.
Hanya saja kekuatan di balik serangan ini sangat lemah, namun kali ini yang datang ke arah bocah pembawa peti adalah puluhan bola jiha. Meski begitu ia hanya tersenyum sinis, mengangkat tangannya, suara derit terdengar dari belakang tubuhnya.
Energi hitam mengalir keluar menutupi tubuhnya, kemudian membentuk tangan besar yang melindungi seluruh tubuhnya. Semua serangan itu menghantam tangan hitam yang melindunginya, puluhan dentuman pun terdengar kemudian.
"Apa yang terjadi?! Peserta nomor 666 menerima serangan dari dua puluh orang sekaligus, setidaknya terdapat empat puluh bola energi yang menghantamnya!" Suara Pico terdengar penuh tanya.
Hal itu membuat para penonton pun terbawa dan ikut mencari tahu yang akan terjadi, ribuan pasang mata itu pun kemudian melepas suara terkejut bersamaan.
"Kemari..." Ujar Peserta nomor 666, si pemuda pembawa peti. Suara itu terdengar sangat parah, para peserta yang sebelumnya menyerangnya seakan terhipnotis dan termangu. Mata mereka kemudian terbelalak, hingga hanya menyisakan bola mata putih tanpa pupil. Urat di leher mereka bermunculan seakan tercekik.
Mulut mereka mengeluarkan asap putih, mereka menjerit keras bersamaan dengan keluarnya asap putih itu. Asap putih yang keluar masuk ke sela-sela peti mati yang sang pemuda bawa, membuat aura kematian semakin kuat keluar dari dalamnya. Para pelindung bergerak, menyelamatkan mereka dengan sekuat tenaga.
"Pemakan Jiwa!!"
"Sungguh mengejutkan! Peserta nomor 666 adalah seorang penghulu roh yang mengikat janji dengan makhluk pemakan jiwa!" Teriak Pico antusias.
"Woaaaaah!" Hal itu tentu membuat para penonton bertempik sorak, sebagian pun menunjukkan ekspresi ketakutan.
Pemakan jiwa masuk ke dalam kategori penghulu setan, mereka adalah makhluk yang mengerikan yang sebenarnya menjadi musuh manusia dan seluruh makhluk hidup. Tidak sembarang orang bisa mengendalikannya, karena ia termasuk ke dalam kategori penghulu iblis, pemimpin dari para yang terbuang.
Pico membolak-balik lembar halaman buku bersayap di tangannya,"Sebentar!"
"Peserta nomor 666 bernama Dylo Sa"
"Ia berasal dari keluarga pemuja Iblis!"
"Ia memiliki jiwa yang murni, memiliki bakat tingkat tujuh dalam penggunaan jiha!"
"Pada umur delapan hari orang tuannya mengorbankan seluruh keluarganya untuk menghubungkan dia dengan kegelapan!!!" Tubuh Pico bergetar, memandang pemuda yang berada di tengah lapangan, ia tidak berani meneruskan penjelasannya. Suaranya pun tidak dapat keluar, seolah seseorang menutup mulutnya. Ia kemudian memandang jauh ke arah departemen roh dan jiwa, kemudian membungkuk. Barulah kekuatan besar yang mencegahnya membuatnya kembali dapat berbicara.
Buku bersayap di tangannya beserta peri buku di dalamnya menjerit kesakitan karena ia terbakar secara perlahan oleh api berwarna hitam.
Pemuda pembawa peti menjilat bibirnya,"Ayo.. lagi..." Ia berbisik pelan, matanya seperti seorang yang tengah kecanduan. Peti mati di belakang tubuhnya pun seolah melonjak kesenangan, ke mana pun ia berjalan, pasti terdapat peserta lain yang tiba-tiba kehilangan kesadaran.
Amarah di dalam hati Hans semakin besar, ia melihat jiwa para peserta terserap masuk ke dalam peti mati di punggung Dylo. Meskipun para pelindung berhasil menyelamatkan para peserta, namun sebagian jiwa mereka telah terserap, dan secara tidak langsung merusak struktur tubuh mereka.
Tubuh manusia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Ketiganya bekerja dalam harmoni yang mengikat ketiganya menjadi satu kesatuan. Roh dan jiwa tidak bisa dikatakan hidup jika keduanya tidak diam dalam tubuh. Sedangkan tubuh yang berjiwa tak akan hidup tanpa roh. Sedang manusia yang memiliki Roh dan tubuh tapi tidak memiliki jiwa tidak ubahnya binatang karena tidak memiliki akal dan emosi yang merupakan fungsi jiwa.
Ketiganya memiliki fungsinya sendiri-sendiri, kehilangan sebagian dari jiwa mereka dapat membuat gangguan kejiwaan dan malfungsi emosi yang tentu berbahaya.
Peserta lainnya menjadi ketakutan dan memilih menjauh dari Dylo, namun bocah itu seperti tidak memedulikan pendapat mereka. Ia kini lebih aktif menyerang, bayangan hitam di belakang tubuhnya semakin nampak jelas. Perlahan layar-layar sihir mulai kehilangan gambarnya, seakan kabut gelap menutupi seluruh arena pertarungan.
"Woah!! Apa yang terjadi?!" Para penonton berdiri dan melihat ke arah layar-layar sihir kebingungan.
"Mengapa layar sihir mati?" Penonton yang lain bertanya kebingungan.
Di bangku penonton, di lokasi para guru dan profesor duduk. Mata Dyson dan Gyves terbesit cahaya, keduanya secara bersamaan mengayukan tangannya. Dua cahaya biru dan merah melesat melewati kepala ratusan orang, menembus medan pelindung arena pertarungan.
Ting ting prang
Seperti suara kaca yang pecah medan pelindung itu pecah seketika, puluhan orang terlempar dari dalam arena pertarungan. Awan gelap yang menutupi arena pertarungan tersingkap, lima orang berdiri di sana, bukan lima lebih tepatnya lima orang berdiri dan satu orang lagi melayang di udara, tercekik oleh tangan Dylo yang masih menghisap jiwa pemuda tersebut.
Empat orang lainnya berseberangan dengan pemuda pembawa peti itu, mata mereka menatap dengan tajam dalam posisi siap bertarung. Di posisi paling depan seorang gadis perempuan buta, dengan rambut panjang hitam menjadi sosok yang menyerang Dylo dengan dua pedang besar yang melayang di udara.
"Luar biasa! Pertarungan hanya berlangsung beberapa menit saja, namun jumlah peserta kini hanya tinggal lima orang!" Ujar Pico kembali dengan antusias menjelaskan apa yang terjadi di tengah arena pertarungan.
Dylo belum puas menelan jiwa pemuda yang ia cekik di tangan kirinya, namun seorang pelindung terlebih dahulu merebutnya.
"cih! Pengganggu!" Ujarnya kemudian berjalan mendekat. Tangan besar itu masih melindunginya dengan sigap, ia seperti di payungi awan yang melindungi setiap serangan yang mengarah padanya.
"Badai seribu pedang!"
"Aksara baja, pengendalian pedang!" Gadis buta itu melesat maju, dengan penuh keberanian puluhan pedang berbagai ukuran muncul, terbentuk oleh jihanya. Pedang-pedang itu membuat suara ketika bergesekan dengan udara, menjadi pemandu bagi ia yang buta.
"Haha! Jiwa kuat seperti mu adalah santapan yang lezat!" Ujar Dylo, bayangan hitam di punggungnya menyerang gadis buta itu.
Sang gadis tidak tinggal diam, ia maju membentuk dua pedang lagi di tangan kanan dan kirinya. Ia mendekat mengayunkan pedangnya sambil menari, di tengah puluhan pedang yang juga melesat bagai angin lesus yang mengelilingi Dylo.
Ia mampu menyerang dengan begitu indah, seakan menari-nari di antara puluhan pedang. Sungguh pun serangan itu begitu buas dan seakan tanpa jeda, namun pertahanan Dylo masih tak tertembus.
"Serang!" Ujar Sang Gadis buta.
"Peserta nomor 22, Lisa Meria, memimpin serangan!"
"Sejurus dengan aba-aba Lisa, tiga orang lainnya juga melepaskan serangan mereka!"
"Peserta nomor 28 Alex, memerintahkan Cerberus menyerang Dylo!"
"Luar biasa semburan api yang Cerberus keluarkan menyerang titik buta Dylo!"
"Namun! Namun! Luar biasa, tidak satu pun serangan berhasil menembus pertahanan bocah pembawa peti ini!" Pico semakin bersemangat menjelaskan proses terjadinya serangan.
"Buang-buang waktu!" Ujar Dylo yang kemudian tersenyum sinis, suara pintu peti mati terbuka. Tangan lain muncul dari dalam dan memegang Lisa dan Alex yang berada pada bagian depan.
Mata Dylo berubah menjadi hitam sepenuhnya, mulutnya terbuka lebar hendak menghisap jiwa keduanya.
"Pertarungan Selesai!" Pico berteriak, wajahnya pucat karena seseorang baru saja menyerangnya dari kejauhan. Peri kecil itu memandang ke arah dari mana serangan itu datang dan mendapati Dyson memandangnya dengan amarah, bulu kuduknya berdiri.
Pico seakan lupa, bahwa pertarungan ini seharusnya selesai ketika setengah dari peserta kalah, namun pertarungan ini baru berjalan beberapa menit namun hanya menyisakan lima orang!
Seluruh stadion terdiam, bahkan suara nafas pun akan terdengar karena begitu sunyinya tempat itu. Suara terkejut barulah muncul ketika pilar yang menunjukkan peringkat para peserta berkedip dan menunjukkan daftar baru.
#1 -666- Dylo (82)
#2- 606 -David (15)
#3 - 89 - Marc (14)
#4 - 22 - Lisa (10)
#5 - 202 - Olax (8)
#6 - 335 -Carl (6)
#7 - 28 – Alex (5)
#8 - 13 - Karyapum (4)
#9 - 7 - Hans (3)
#10 - 34 – Ignatio (3)