Edited by Mel
Pernah kamu merasa ketakutan serasa hadir di setiap arah pandang dan kesan, merasa jerat kengerian membelenggu mata dan telinga. Seakan segala sesuatu tak lagi jelas, tak bisa berpikir jernih. Berusaha ingin lari namun keadaan seperti memegang kedua kaki, tak mampu berbuat apa-apa. Suara tak mampu mengeluarkan bunyinya, hanya air mata yang menjelaskan semua.
Lelah, putus asa, seakan semua selesai. Merasa kematian lebih mudah dari pada menghadapi semua yang ada di depan mata, itu yang di rasakan bocah bernama Philip. Ia terperangkap di tengah kerumunan puluhan makhluk jahat. Tubuhnya bergetar, ia memeluk tubuh sang adik dengan erat, memandang makhluk menyeramkan yang kian lama kian dekat dengan tubuhnya. Tangan kiri sang adik memegang serangga kecil, sedang tangan kanan memeluk erat tubuhnya.
Hari itu seakan gelap, sangat gelap. Ia hanya berharap, ia dan adiknya bisa mati tanpa merasakan rasa sakit, karena kenyataan di depannya lebih mengerikan dari kematian.
Ia menutup mata dan masih terasa air matanya mengalir membasahi pipinya, sementara dadanya juga basah oleh air mata sang adik. Hanya teriakan gadis kecil itu yang terngiang di telinga dan memenuhi kepalanya. Ia merasa tak berdaya dan gagal melindungi adiknya.
Teriakan makhluk-makhluk itu semakin keras terdengar menggantikan suara tangis sang adik.
Namun tiba-tiba semuanya hening.
Ia tertegun,"Apakah ini kematian?" Tanya Philip dengan suara pelan, namun pelukan erat di punggungnya menyadarkan dia. Ia membuka mata melihat ke arah sumber pelukan itu, menemukan sang adik tengah memandang ke arah kiri.
Ia mengikuti arah pandangnya dan menemukan seorang pemuda tersenyum ke arahnya,"Maaf aku terlambat!"
Philip tersentak, seakan matahari tersenyum padanya. Ia mendapati pemuda yang sebelumnya menyelamatkan mereka, kini datang dan menyelamatkan mereka lagi.
Ia teringat, ke mana semua makhluk jahat yang mengelilingi mereka?
Ia melihat ke kanan dan ke kiri, menemukan ribuan tubuh tercecer di atas tanah, di sela-sela akar-akar pepohonan.
"Ayo kita harus cepat pergi!" Ujar pemuda itu kemudian membawa keduanya pergi.
Seketika itu ketiganya melesat bagaikan peluru, Philip merasa isi perutnya dikocok-kocok, ia menahan agar dirinya tidak muntah. Sedangkan sang adik telah tertidur di belakang mereka karena kelelahan, Maki menahannya dengan tangan kirinya sedang Philip ia dekap dengan tangan kanannya.
Ribuan makhluk seperti gorila berlarian sambil sesekali melompat-lompat mengejar mereka. Sebagian bertubuh tiga meter, dengan lengan dan tubuh yang besar, namun tanpa mata. Makhluk lain mengendalikan mereka dengan pacul dengan dua sisi tajam menyerupai belencong yang di gunakan para penambang atau pekerja galian.
Jumlah mereka amat banyak, seperti tsunami yang menghancurkan pepohonan. Mereka menghancurkan apapun yang mereka lewati.
Philip melawan rasa mualnya dan melihat ke belakang, mengintip dari sela-sela lengan Maki. Awalnya ia hanya melihat pepohonan, namun...
"Krek..."
"Krek..."
"Gedebum..."
Pohon-pohon mulai berjatuhan, ia melihat ke arah pohon pertama yang jatuh, seketika rasa ketakutan tergambar jelas di wajahnya, bukan karena mengerikannya makhluk-makhluk itu namun karena jumlah mereka yang begitu banyak yang akan diingatnya hingga akhir hayatnya.
Maki melihat ke belakang sesaat sebelum ia menghilang, seperti kilat di siang hari bolong ia melesat melewati ribuan pepohonan. Lalu muncul kembali setelah lima ratus meter jauhnya, keringat bercucuran di keningnya namun Philip sudah kehilangan kesadaran akibat kejutan yang luar biasa di balik lompatan Maki.
Ia menurunkan Philip, kemudian mengambil kain dari dalam cincin dimensi miliknya. Dengan segera ia mengikat lembut gadis kecil yang masih tertidur di punggungnya dan tak ketinggalan Philip pun harus digendongnya pula sehingga mereka tidak terjatuh. Dengan respon yang cepat ia menghunuskan katana panjangnya. Ia berbalik dan seketika suara ledakan terdengar.
"Gedebum..!"
Makhluk besar dengan tinggi empat meter menghantamkan kapak besarnya ke arah Maki. Katana dan kapak besar beradu, membuat udara bergetar. Tangan Maki terlihat kesulitan menahan serangan itu, karena ia hanya menggunakan satu tangan, sedang tangan yang lain ia gunakan untuk menggendong Philip.
Sejujurnya keputusannya untuk menyelamatkan kedua bocah itu adalah keputusan berisiko, hanya saja hati nurani kadang membutakan nalar.
"Arggh..!!" Ia menjerit kecil kemudian melesatkan jiha melalui ujung tajam pedangnya.
"Prang..!"
Kapak itu hancur seketika oleh karena serangan maki, makhluk besar yang menyerangnya hanya memiliki kekuatan fisik namun tidak memiliki jiha sehingga serangan itu itu membelahnya menjadi dua, membuat darah hitam yang bau terciprat ke berbagai arah.
Maki menghindari darah yang terciprat karena mengandung racun berbahaya bagi dua bocah yang ia lindungi, dengan seketika ia melesat dan muncul sepuluh meter dari tempatnya semula berdiri, ia tidak berpikir panjang kemudian pergi meninggalkan tempatnya dan berlari dengan kecepatan penuh.
Baru ia berpindah beberapa meter lagi-lagi ia menjadi sasaran serangan. Sebuah tombak besar melesat tepat ke keningnya, deru angin terasa ketika tombak itu hanya beberapa ratus sentimeter dari kepalanya, ia menunduk hanya beberapa detik sebelum tombak itu menghujam kepalanya. Berhasil menghindar ia kemudian melesat bagai kilat dan menghilang.
Sosok besar lain menghalangi langkahnya, makhluk besar itu memiliki tubuh seperti manusia raksasa dengan otot besar. Mereka adalah bangsa Asura[1] keturunan raksasa kegelapan yang menyembah kegelapan.
Mereka tidak jauh berbeda dengan ahengkara, menyembah para iblis. Mereka adalah bangsa yang lahir dari perpaduan antara naga dan para manusia, mereka merupakan pasukan utama dari kerajaan kegelapan.
Semakin tinggi darah naga mengalir dalam tubuh mereka, semakin kecil dan tampan mereka. Sebaliknya apabila semakin besar dan kuat fisik mereka, berarti semakin rendah darah naga yang mengalir dalam tubuh mereka. Perpaduan ini menimbulkan sebuah bangsa baru yang memiliki kekuatan naga dan raga seperti manusia.
Meski begitu wajah mereka menunjukkan kehausan akan darah. Walaupun terlahir dengan memiliki darah manusia, mereka memakan apa saja terutama daging mentah khususnya manusia.
Maki menghindari serangan itu, berputar ke kanan ia kemudian melompat maju dan memotong kaki kiri sang Asura.
"Aarrrrrrrrrroarrrraaa..!!"
Makhluk besar itu berteriak keras, sementara Maki telah jauh meninggalkan sang Asura. Tindakan yang diambil maki cukup bijak, ia tidak mungkin membunuh semua musuh yang menghadangnya, ia hanya melukai dan menghilangkan kemampuan gerak setiap musuhnya.
"Exeter masih dua hari jauhnya!!" Ujar Maki, ia terlihat panik.
Jumlah musuh yang bermunculan semakin lama semakin banyak.
"Sepertinya mereka berhasil membuka portal yang menghubungkan kerajaan kegelapan dengan daratan Sylivian!"
Maki terus berlari, sesekali ia menggunakan teknik lompatan cahayanya untuk melompat lebih dari beberapa ratus meter setiap lompatan agar sampai lebih cepat. Setiap kali ia kehabisan jiha dan tubuhnya letih karena menggunakan teknik lompatan cahaya terus menerus, ia mengambil botol demi botol ramuan dari cincin dimensinya.
"Hans aku berhutang banyak padamu!" Tentu saja ramuan yang ia bawa adalah ramuan yang Hans buat, dan sudah pasti masing-masing ramuan berharga cukup tinggi. Hans bukan hanya melakukan bisnis pencarian tanaman langka, namun ia juga memulai bisnis obat-obatan dan ramuan penambah jiha. Ia menjualnya sepuluh persen di bawah harga pasar.
Maki tidak menyadari, bahwa kejadian ini adalah sebuah tanda dimulainya masa peperangan di seluruh daratan!
**
Di sebuah lorong gelap di bawah tanah, Hans berjalan perlahan. Berusaha tidak membuat suara sedikit pun, ia kemudian terhenti di sel besar tempat Yu'da dikurung.
"Nak.."
"Bukankah kau sedang dalam turnamen?" Suara penuh karisma terdengar dari dalam sel besar itu.
"Ia pak, hanya saja aku merasakan sebuah firasat buruk. Tidak tahu mengapa, seakan sebuah bencana besar akan datang.." Ujar Hans ragu, perasaannya kini bercampur aduk antara kebingungan dan kesedihan yang tidak ia ketahui karena apa.
Mata Yu'da terlihat terkejut kecil, namun ia dapat menyembunyikannya.
"Mereka datang nak.." Ujar Yu'da pelan, kemudian berjalan masuk lebih dalam ke sel tempatnya terpenjara.
"Mereka?" Hans bertanya seraya berjalan masuk, ia kemudian duduk di lantai sambil memandang Singa besar yang juga berbaring di lantai. Domba kecil lucu menghampiri Hans dan tertidur di sampingnya.
"Para Naga dan kerajaan kegelapan.." Yu'da melepas nafas.
"Kau ingat ceritaku sebelumnya? Kerajaan manusia dan para makhluk suci bersatu untuk melawan naga dan semua pemujanya?" Tanya sang singa yang disambut anggukan kecil Hans.
"Meski dengan bantuan para Malaikat, kami hanya berhasil memaksa mereka melarikan diri dan bersembunyi!"
"Mereka bersembunyi di bagian terdalam dunia, hidup di bawah tanah!"
"Meski begitu sebuah daratan lain yang amat luas juga berhasil mereka kuasai! Di sanalah mereka membuat kerajaan kegelapan, tempat itu sangat jauh, ditambah dengan manusia yang kesulitan bahkan untuk melindungi diri, kami tidak mengejar mereka!" Yu'da terlihat mengalami perdebatan antara menceritakan hal ini atau tidak.
"Sekarang mereka kembali, entah mengapa mereka kembali lebih cepat.." Ia memandang Hans, seakan ia sudah tahu alasan hal itu terjadi.
"Baiklah anakku, masa-masa yang sukar akan datang. Engkau harus lebih kuat agar bisa melalui semuanya!" Ujar Yu'da penuh ketegasan.
"Aku tidak takut, anda kan raja yang kuat!" Ujar Hans percaya diri, memandang Yu'da dengan penghormatan.
"Tidak nak, engkau harus menjadi lebih kuat sehingga kau bisa melewati masa-masa sulit ini!"
"Sebelum waktuku habis nak.." Ia membatin sambil memandang Hans, ia sembunyikan rasa sedihnya agar Hans tidak melihatnya.
"Jangan bentuk aksaramu sampai engkau mencapai delapan siklus sempurna pemurnian uma."
"Tingakatan penggunaan jiha terbagi menjadi tiga tingkatan, bintang adalah tingkatan paling pertama, aku yakin engkau tahu itu kan?"
"Dasar yang kuatlah yang akan menentukan seberapa jauh kau terbang, jadi jangan terburu-buru karena apa kata orang!"
"Tiap-tiap orang memiliki jalannya sendiri!" Yu'da menjelaskan dengan gaya bahasa yang tua dan suara yang penuh karisma.
Memandang Hans yang tengah berpikir sambil menghitung dengan jarinya sang singa terdiam, membiarkan sang bocah mencerna perkataannya.
Ia hanya mengangguk meski dari wajah mudanya itu terlihat sedikit keraguan, ia memilih untuk duduk bersila kemudian kembali bertanya,"Tuan bisakah kau bercerita tentang iblis pemakan jiwa?"
Tubuh singa besar yang menempel erat dengan lantai penjara itu bergerak kecil,"Kau menghadapi pemakan jiwa?"
"Belum, tapi aku melihatnya bertarung dan cepat atau lambat kami pasti akan saling berhadapan.." Hans menjawab pelan kemudian terdiam.
**
—Keesokan harinya—
Kabut tebal menutupi seluruh stadion, membuat jarak pandang menjadi begitu terbatas. Meski begitu hal itu tidak menyurutkan antusiasme para penonton dan peserta pertarungan, hanya saja keluhan seakan menjadi sebuah tren baru hari itu.
Semua orang mengeluh hari itu, tak terkecuali David.
"Sial! Kabut ini benar-benar menyulitkanku melihat!"
"Terkutuk kau asap putih, ini sungguh mengganggu penglihatan!!" Ia berteriak-teriak membuat semua orang menatapnya kesal, meski begitu mereka mengabaikannya karena mereka juga merasakan hal yang sama.
Marc yang berada di sebelahnya terdiam dan menggeleng, matanya mencari-cari ke segala arah.
"Mana Hans?" Tanya Marc pada David yang masih mengangkat tangan besarnya ke langit sambil menghina kabut yang tak berdosa itu.
"Eh?!" David terhenti di tempatnya berdiri, ia kemudian teringat kawan baiknya itu.
"Betul juga! Tapi kau tahu dia kan? Lebih baik kita menunggu di tempat duduk kemarin saja!" David kemudian sedikit melompat sambil terus meninju-ninju kabut tebal di depannya. Marc bergegas berusaha memastikan si gempal itu tidak meninju orang lain.
Keduanya sampai di tempat mereka duduk kemarin, mendapati Hans tengah berbicara dengan Bartus dengan wajah yang sangat serius. Melihat kedua temannya datang, Hans berdiri.
"Marc! Apakah ada kabar tentang kak Maki?" Tanya Hans tanpa menunggu kawannya itu duduk.
Marc terkejut, namun kemudian menjawab dengan gelengan dan wajah khawatir.
Melihat hal itu Hans mematung, tangannya bergetar kecil kemudian memaksa tubuhnya duduk kembali di bangku batu. Ia bingung harus berpikir apa, sudah hampir satu minggu Maki tidak memberi kabar.
"Hans, guruku melakukan pemeriksaan. Ia berkata tugas yang ia ambil adalah melakukan investigasi di perbatasan antara tiga kerajaan. Terdapat fluktuasi energi besar di sana, ia bergegas pergi ke sana. Jarak antara perbatasan dan tempat ini membutuhkan waktu lima sampai sepuluh hari bila di tempuh dengan kuda!"
"Namun bila mengingat kemampuan kak Maki, ia hanya membutuhkan waktu setengahnya." Ujar Marc.
Hans terdiam dan membenamkan pikirannya dalam ribuan pemikiran, tanpa sadar suara Pico memecah seribu lamunan yang ia kumpulkan.
"Selamat Pagiiiiiii!!!"
"Kalian siap melihat pertumpahan darah???!!!!!!!!!!!!!"