Pagi yang indah di lantai bawah.
Tidak salah lagi. Linx benar-benar menganggap serius lamaran tidak sengaja yang kemarin Kimansu ucapkan. Wajah gadis itu merona ceria dan bertingkah manis begitu Kimansu duduk di meja makan.
"Pagi sekali menungguku? Aku kira kamu cuma kucing pemalas."
"Karena hari ini hari istimewa." Linx menjawab penuh semangat. Dia mengamati jaket dan celana kulit yang baru saja Kimansu beli. "Kamu tampan sekali memakai pakaian itu."
Spontan, Kimansu tersipu mendapat pujian pertama dari lawan jenisnya. Dia ikut melirik pakaian yang Linx kenakan.
"Kamu cantik seperti biasa." Dia membalas pujiannya.
"Aku tahu kamu juga menyukaiku."
Kimansu langsung menyesal kesalah-pahaman itu semakin besar. Kata-kata pujian itu keluar apa adanya karena memang itulah yang Kimansu nilai.
Gadis itu mengenakan hotpant dan penutup dada mini seperti biasa. Kimansu langsung mencolok matanya sendiri karena tidak sadar melihat oppai itu lama-lama.
'Aku laki-laki normal, aku laki-laki normal, aku laki-laki normal!'
"Ehem ... kamu sudah mengambil keputusan, Suki?" Linx membuyarkan lamunannya. Dia menyebut nama Kimansu seenaknya.
Kimansu tahu gadis itu ingin ditembak sekarang juga. Dia memilih pura-pura tidak paham dengan apa yang Linx harapkan.
"Apa jawabanmu, Suki?"
"Iya, aku sudah memutuskan untuk ..." Kimansu agak gelagapan saat mata bulat Linx berbinar-binar menunggu jawaban" Aku memutuskan untuk ... glek ... memulai latihan."
Wajah ceria Linx langsung berubah. Dia menggembungkan pipinya dan memberi kode tangan.
"Sudahlah, makan sarapanmu."
Apa yang terjadi jika seorang jomblo abadi tiba-tiba ditaksir seorang gadis? Itulah yang Kimansu alami. Perasaannya campur aduk antara senang, bingung, gelisah dan takut. Dia jadi tidak enak hati karena gadis itu masih membuang muka dan menggembungkan pipinya. Hidangan nikmat yang dia santappun terasa hambar karena pikiran kalut.
Linx memang cantik. Kimansu tidak menyangkalnya. Sebagai otaku yang tidak kunjung laku, dia pernah berfantasi punya pacar ras beastman sewaktu dulu hidup di bumi dulu. Tapi dilihat dari manapun, Linx tidak jauh beda dari anak-anak SD. Hanya lekuk tubuhnya saja yang mirip perempuan dewasa.
"Makanan ini aku yang masak, tahu!" Linx bicara sambil senyum-senyum. "Buka mulutmu, sini aku suapi."
Kimansu celingukan. Suasana itu tidak jauh beda dari suasana kencan. Dia semakin tidak nyaman karena para petualang melihatnya dengan wajah heran. Sebagian dari mereka bahkan saling berbisik seolah sedang melihat penjahat kelamin.
Linx mungkin merespon keraguannya. Dia mulai menatap Kimansu dengan wajah serius.
"Apa kamu mau lari dari tanggung jawab? Kamu sudah lupa perlakuanmu padaku?"
Kimansu langsung tersedak.
"Psssttt ... Tolong jangan buat orang salah paham!" Kimansu berbisik panik. "Lagipula kamu sendiri yang bilang belum terlalu mengenalku."
Linx membalasnya dengan senyum manis.
"Kamu tahu, Suki? Aku masih ingat wajah sedihmu waktu membunuh omegra itu. Aku tidak tahu darimana asalmu. Tapi aku yakin kamu orang baik."
"Hanya karena itu?"
Linx menggeleng.
"Aku punya cita-cita jadi beastman pertama dalam sejarah yang dinikahi manusia. Aku selalu percaya bahwa suatu saat nanti ada manusia yang menyebut nama asliku. Dan kamu tahu? Takdir tidak pernah bohong."
Andai Linx berasal dari bumi, Kimansu pasti bilang nama itu dia ingat dari acara TV. Tapi dia tidak berani mengungkapkannya selain pura-pura fokus dengan agenda.
"Aku datang pagi-pagi untuk latihan. Aku tidak memikirkan hal lain selain itu."
Detik itu juga, Linx langsung kecewa.
***
TUK!
"Auch!"
TUK! TUK!
"Auch! Sakit tahu!"
Kimansu tidak tahan. Dia menunjukan tatapan memohon ke beastman singa itu untuk berhenti melemparinya batu.
"Badanmu kuat. Luka-luka itu tidak ada artinya" Linx berkata santai sambil tiduran di atas atap. Dia menunjuk petualang lain di antrian paling depan. "Giliranmu. Lempar sekuat tenaga."
Petualang itu meresponnya riang gembira. Dia mengambil tiga buah batu setelah membayar ke resepsionis.
TUK!
"Auch!
TUK!
"Auch! Ini bukan latihan! Ini penyiksaan—
TUK!
"Auch!!!"
Kimansu semakin kesal. Dia tidak percaya Linx jualan tiket ke para petualang untuk melemparinya batu. Dia tidak sanggup bergerak. Di tengah lapangan itu dia diikat di sebuah tiang besar.
"Itu latihan dasar. Selama matamu masih berkedip saat menerima serangan, kamu masih belum layak jadi petualang... huwaaammm ... miaw!" Linx meregangkan badan. Dia menunjuk petualang lain yang baru saja membayar. "Selanjutnya!"
Kimansu melihat antrian panjang. Dia paham bahwa hampir seluruh petualang itu adalah orang-orang yang pernah dia tipu. Mereka pasti dendam dan menjadikan latihan ini sebagai ajang pembalasan.
Batu selanjutnya meluncur dari jarak 15 meter. Kimansu berusaha melotot dan melihat batu itu dengan cermat. Tapi tetap saja dia spontan menutup mata saat batu itu hampir mengenainya.
TUK!
"Aduh!!! Kamu melempar sungguhan! Sakit tahu!"
"Aku sudah bayar," kata petualang itu. Dia melihat batu yang berukuran sebesar kepala manusia dan menegadah melihat atap. "Nona Guildmaster. Berapa harga batu ini?"
"10 copper. Tambah 10 copper lagi untuk jarak satu meter lebih dekat."
"Deal!"
"Kalian gilaaaaaa!!!"
Kimansu langsung menyesali keputusannya tadi pagi yang telah membuat si kecil itu patah hati.