Chereads / Mengenal Fatimah Az-Zahra / Chapter 10 - Sepeninggal Ibunda

Chapter 10 - Sepeninggal Ibunda

SEMENJAK Khadijah meninggal, tangga jawab dalam rumah tangga jatuh ke pundak Fatimah. Pada saat itu Fatimah masih sangat kecil. Ia harus menggantikan pekerjaan sang ibu untuk melayani, membantu, dan membela sang ayah.

Tidak seperti anak-anak pada umumnya, masa kecil Fatimah penuh dengan tantangan, cobaan, dan kesedihan. Berulang kali Fatimah menyaksikan kekejaman kaum Quraisy terhadap ayahnya. Tidak jarang Fatimah meniteskan air mata di pipinya karena melihat perjuangan serta penderitaan sang ayah saat berdakwah. Suatu kali, seorang musyrik menaburkan tanah di kepala Rasulullah Saw. Ketika beliau masuk ke dalam rumah, taburan tanah masih berada di kepala Rasulullah Saw. Fatimah pun menghampirinya. Ia lalu membersihkan tanah dari kepala ayahnya sambil menangis.

Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa pada saat Rasulullah Saw masuk ke Masjid untuk melaksanakan shalat, salah seorang kaum Quraisy yang bernama Abu jahal berseru kepada para pengikutnya, "Siapa yang mau berdiri di tempat orang ini dan merusak shalatnya?"

Ibnu Az-zab'ari, salah satu pengikut Abu jahal, berdiri untuk mengambil kotoran hewan dan darah. Kemudian, ia melemparkannya kepada beliau. Pada saat Rasulullah Saw masih tetap dalam posisi sujud dalam shatnya hingga akhirnya Fatimah datang membersihkan kotoran tersebut sembari meneteskan air mata.

Peristiwa tersebut membuat Fatimah bersedih. Ia menangis. Hatinya berduka atas kelancangan dan perlakuan dzalim orang-orang kepada ayahnya. Sosok pribadi suci yang ingin mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dan menunjukkan jalan menuju hidayah.

Melihat Fatimah bersedih, Rasulullah Saw mengeluarkan tangan untuk menyentuh kepalanya. Beliau mengelusnya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang sambil bersabda, "janganlah menangis, wahai putriku! Sesungguhnya Allah Swt akan membela ayahmu dan menolong ayahmu dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya.

Kalimat yang disampaikan Rasulullah Saw tersebut bertujuan untuk menanamkan ruh jihad dalam diri Fatimah. Selain itu, beliau juga ingin mengisi Jiwa dan hati Fatimah dengan kesabaran dan mengingatkan kepercayaan bahwa kemenangan pasti dapat diraih.

Berbagai macam kesulitan yang dilalui Fatimah Az-Zahra pun kemudian menjadikannya sebagai pribadi yang semakin kuat. Fatimah tidak pernah mengeluh. Ia tumbuh menjadi gadis yang mengesankan, berbudi luhur, mulia, dan selalu ada untuk ayahnya.