Katerina masuk kelas membawa beberapa kostum yang dimaksudkannya bagi para pemeran dalam Sleeping Beauty. Saat murid-muridnya melihat kostum indah itu mereka semua ribut dan berebutan memegangnya.
"I only bring three costumes with me, for the king, queen, and Princess Aurora…" Ia menjelaskan sambil tersenyum lebar. "Sayangnya hanya ini yang sempat saya selamatkan dari teater kampus."
"Maksudnya…" Michael tampak keheranan, "kalian pernah memainkan drama konyol ini di kuliahan?"
"Ini tidak konyol, Mike… teman-temanku memainkannya dalam sebuah festival dan hasilnya bagus sekali… Kami bekerja keras mendesain panggung dan menjahit kostumnya. Sayang sekali, suatu hari terjadi kebakaran dan semuanya musnah kecuali ketiga kostum ini…"
"That`s too bad…" komentar Michael. "They must be beautiful."
"Yah…tapi kita selalu bisa membuatnya kembali." Katerina mendehem. "Jadi…semua sudah membaca naskahnya? Bagaimana pendapat kalian?"
"Menjijikkan…ada adegan ciumannya." komentar Nana.
"Itu kan cuma pura-pura, Na…" kata Katerina dengan ceria. "Kita, toh, masih hidup dalam budaya timur, adegan itu bisa diatur… Jadi, ada yang tertarik untuk bermain di dalamnya?"
Suara riuh murid-muridnya membuat Katerina mengerti bahwa mereka semua tertarik walau pun tidak berani menunjukkan ambisi untuk mendapat peran.
"Nita cocok jadi putri, Miss…" kata Riri tiba-tiba. "Dia berbakat…"
"Oh, ya? Baiklah…nanti sepulang sekolah kita akan mengadakan audisi untuk menentukan pemeran-pemerannya. Miss tak ingin memaksa kalian untuk main semua, tapi perlu Miss beri tahu bahwa peran serta kalian akan membantu nilai Bahasa Inggris kalian di raport…"
"Baguslah…kalo gitu aku nggak usah ikut. Kurasa aku nggak butuh tambahan nilai…" Michael tersenyum penuh kemenangan. Ia membuka buku dan pura-pura membacanya dengan wajah penuh minat.
Katerina tertegun. Setelahsekian lama, Michael tidak juga berubah. Ia bertekad menutupi kegelisahannya dan tersenyum manis pada semua.
"Baiklah... Miss rasa kelas ini akan mampu bertahan tanpa Michael…" Katerina menyimpan kostum-kostum itu di atas mejanya lalu menulis sesuatu di papan tulis. "Sekarang buka halaman 128, kita bahas wacana dan cari vocabulary dari kata-kata sulit di dalamnya."
***
Sepulang sekolah tidak biasanya anak-anak kelas 2C yang nakal masih tinggal di dalam kelasnya. Saat murid-murid lain berhamburan keluar, mereka duduk diam menantikan kedatangan Katerina. Gadis itu segera muncul dan tampak sangat bersemangat. Ia mengajak mereka semua masuk ke dalam aula sekolah dan mengadakan audisi di sana.
Ia mengerti bahwa anak-anak ini memerlukan sumber motivasi yang lebih besar agar mereka dapat menampilkan kemampuan terbaiknya dalam audisi, karena itu ia telah menelepon seorang teman lamanya untuk datang dan memberi semangat.
Anthony Rahman, seorang aktor muda yang sekarang sudah terkenal, dengan senang hati mau datang menemani Katerina dalam audisi kecilnya.
Ia sudah ada di dalam ketika murid-murid masuk dan seketika mengenalinya.
"Wow…ada Anthony Rahman…! Keren banget..!"
"Ngapain dia datang ke sini?"
"Waw…"
"Waaw…"
Katerina tersenyum lebar. "Perkenalkan, salah satu teman Miss yang dulu sempat membintangi drama ini. Tony dulu berperan sebagai Pangeran Eric."
"Hallo apa kabar?" sapa Tony ramah. "Kalian malang sekali punya guru seperti Katerina… Sejauh ini sudah jatuh korban berapa?"
Anak-anak tertawa mendengarnya.
"By the way, Tony di sini untuk memberi contoh peran sedikit biar kalian punya gambaran nantinya. Tapi sebelumnya Miss ingin mengaudisi semua anak laki-laki untuk peran Pangeran, Raja, Perdana Mentri , dan Pengawal. Sesudah itu Putri, Ratu, dan peri-peri…"
Katerina menghitung jumlah anak laki-laki yang seharusnya 14 kurang dua orang. "Michael sama Denny mana?"
"Denny pulang duluan, Miss. Katanya dia sakit…" jawab Andri.
"Kalau Michael?" Semua hanya mengangkat bahu. "Sudahlah…kita mulai saja."
Kehadiran Tony benar-benar memotivasi anak-anak itu. Mereka semua bersedia mengikuti audisi dan berusaha sebaik-baiknya, walau pun hasilnya tetap kurang memuaskan bagi Katerina. Beberapa anak yang bagus aktingnya berbahasa Inggris buruk, dan beberapa yang bagus Inggrisnya tidak bisa berakting.
Sesudah audisi pria berakhir ia bisa melihat Tony memandangnya dengan mata sepertinya—kau—harus—bekerja—keras. Ia hanya bisa menghela nafas. Menurutnya Andy cukup baik, dengan sedikit bantuan aktingnya akan bisa di perbaiki.
Kemudian tibalah giliran anak-anak perempuan. Di antara lima orang yang memperebutkan peran Aurora, Katerina merasa Nita cukup baik. Bahasa Inggrisnya bagus dan aktingnya pun lumayan. Apalagi ketika membaca naskah saat Aurora bertemu dengan Morgan si penyihir jahat dan tertusuk jarum pintal.
"Laura tidak mau mencoba?" tanya Katerina pada anak perempuan mungil berambut ikal itu.
Laura hanya menggeleng malu-malu. "Kenapa mesti malu? Setidaknya coba saja dulu.."
"Nita saja, Miss… Dia sangat cocok menjadi putri," jawab Laura pelan. "Saya lebih suka menjahit kostumnya…"
"Soal kostum dan seting panggung akan kita kerjakan bersama-sama." Kata Katerina kemudian.
"Setidaknya kamu harus mau jadi figuran…Hmm, mungkin jadi pengasuh atau pengunjung pesta…"
Laura mengangguk.
Peran yang diperebutkan dalam audisi hanyalah Aurora, Ratu, Penyihir jahat dan empat peri baik hati. Semua anak perempuan yang tidak terpilih akan bermain sebagai figuran berupa pelayan istana, rakyat desa, dan pengunjung pesta. Sedangkan peran pria lebih sedikit lagi, berupa Raja, Pangeran Eric, Perdana Mentri, dan Pengawal. Sisa anak-anak lelaki akan menjadi figuran juga.
Katerina cukup puas dengan antusiasme murid-muridnya dan setelah audisi selesai ia memberi pujian atas kerja keras mereka dan berjanji akan mengumumkan daftar pemain pada pelajaran yang akan datang.
Tony kemudian dikerubungi para penggemarnya dan sibuk melayani permintaan tandatangan dari mereka sementara Katerina membereskan naskah-naskahnya. Ia tersenyum sendiri mengingat dulu Tony yang berkoar-koar akan menjadi aktor besar dan memaksa semua orang memiliki tanda tangannya.
"Miss…" Nita tiba-tiba datang menghampiri Katerina.
"Ya, ada apa?"
"Tolong audisi Michael, Miss…"
"Maksudnya?" tanya Katerina tidak mengerti.
"Michael cocok sekali menjadi Pangeran Eric, aktingnya bagus banget dan bahasa Inggrisnya juga sempurna…" kata Nita tegas. "Anda harus memberinya kesempatan."
"Maaf, Nita… Miss beri dia kesempatan hari ini tetapi dia sendiri yang nggak mau. Bukannya ikut audisi, Miss lihat dia bersama teman-temannya main Basket di lapangan. Maaf, tapi Michael yang tidak ingin terlibat dalam drama ini…"
"Tapi anda kan bisa membujuk dia…" Nita tetap bersikeras.
"Miss tidak bisa berjanji."
Nita tampak kecewa tapi tak berani memaksa. Katerina mengerutkan kening dan berpikir tentang kemungkinan Nita suka pada Michael.
Aah…anak remaja.
Katerina makan siang bersama Tony dan mereka mendiskusikan pemeran-pemeran yang cocok dari audisi barusan, dan secara garis besar pendapat mereka ternyata serupa.
"Jadi ingat masa-masa dulu kita membuat drama seperti itu…" kata Tony sedikit bernostalgia.
"Kampus jadi sepi tanpa kamu, Rin…"
"Kamu terlalu sibuk syuting, sih... jadi kuliahmu terlantar. Kalau kamu disiplin kita kan bisa lulus barengan…" kata Katerina tegas. "Sudah mulai menyusun skripsi, belum?"
Tony menggeleng. "Mungkin baru tahun depan. Aku harus bagi waktu banyak untuk kuliah maupun pekerjaan…" keluh Tony sebelum meminum tehnya. "Manajerku bilang harus pilih, mau konsentrasi pada pekerjaan atau kuliah."
"Pilihanmu apa?"
"Nggak tau, deh… Aku suka dua-duanya, dan aku ingin coba ngejalanin bareng…"
"Nggak boleh serakah, dong, Ton… Kamu harus pikirin baik-baik apa yang harus kamu tekuni sekarang ini biar dapat hasil yang maksimal. Kalo menurut aku, sih, karier bisa dikejar nanti sesudah lulus."
"Entahlah…nanti aku pikirin lagi." Tony tersenyum malas seperti biasa, tanda bahwa ia tak mau memperpanjang suatu masalah. "Bagaimana kabar kamu sekarang?"
"Baik. Aku sedang…" Katerina tiba-tiba terdiam.
Ia baru melihat Rio masuk dan memandang Katerina bersama Tony dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. Katerina lupa bahwa ia dan Rio selalu makan siang di sini, ia tidak mengira Rio pun kebetulan datang padahal sekarang terlalu sore untuk makan siang.
"Ada apa, Rin?" Tony menoleh mengikuti arah pandangan Katerina yang bengong.
Ia pun segera melihat Rio. Sudah beberapa kali sebelumnya ia bertemu Rio yang menjemput Katerina di kampus, dan Tony heran melihat betapa Rio dan Katerina sama-sama tidak saling menghampiri.
"Itu Rio, kan?"
Katerina mengangguk. "Iya… memang dia."
"Kalian marahan?"
Katerina menggeleng. "Kami sepakat tidak saling bertemu selama empat bulan…jadi, sekarang…"
"Gua nggak ngerti… Kalian sepakat nggak saling ketemu berarti kalian lagi marahan, minimal punya masalah dan butuh waktu menyelesaikannya. Iya, kan?"
Katerina termenung.
Sebenarnya tidak ada masalah… Ia hanya butuh waktu untuk sendiri… Selama ini ia terlalu dekat dengan Rio dan cenderung tergantung kepadanya. Sekarang ia membutuhkan kesempatan untuk mandiri dan merubah hidupnya. Ia ingin membuktikan bahwa pandangan Rio terhadapnya salah. Bahwa Katerina mampu bertahan tanpa dirinya.
Saat Katerina menceritakan hal itu, Tony juga ikut pusing.
"Gua nggak ngerti, Rin… Kalian temenan sejak SMP dan waktu SMA barengan lagi, terus tetap temenan sampai masa kuliah dan tau-tau jadian—walau gua pribadi nggak mau jadian sama temen sendiri—. Gua pikir kalian sudah cukup kenal untuk tahu isi hati masing-masing, masak lu nggak ngerti kenapa Rio selalu ngelemahin motivasi kamu untuk ngajar?"
Katerina menggeleng, "Katanya aku pembosan."
"Bukan itu!" sergah Tony tidak sabar. "Dia nyari jalan halus untuk bilang supaya kamu nggak usah kerja. He`s willing to take all the responsibility to afford you… Lagipula dia kan sudah mapan…"
"Maksudnya?"
"Maksudnya, dia ingin segera menjadikan elu ibu rumah tangga!"
Katerina kaget setengah mati. Ia melirik ke arah Rio yang sedang makan di ujung ruangan, sama sekali tidak memperdulikannya.
Benarkah… apa yang dikatakan Tony? Mungkin memang pria lebih mengerti hati sesamanya… tapi…
Katerina pusing sekali…
"Kurasa bukan itu…" katanya lemah. "Hubungan kami biasa saja… Dari SMP sampai sekarang tidak ada yang berubah. Aku juga nggak ngerti kapan kami mulai terikat satu sama lain, semua terjadi begitu saja…" Ia tertunduk sedih. "Maksudku…bahkan perasaannya yang sesungguhnya, entah dia cinta aku atau tidak, aku juga nggak dengar…Jadi mana mungkin dia sudah berpikiran sebegitu jauh…"
Tony hampir menumpahkan tehnya mendengar hal itu. Ia benar-benar terkejut.
"Serius, Rin? Jangan-jangan dia memang nggak cinta sama elu… Lagian, cowok mana yang mau begitu saja disuruh mundur selama beberapa bulan kalo emang cinta.?" Ia melotot ke arah Rio dan mengomel-ngomel. "Lagipula harusnya dia cemburu ngeliat kita berduaan seperti ini… Cowok kayak gitu rasanya pengen gua tonjok aja, Rin…"
Katerina tertunduk lebih dalam dan tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia baru menyadari kebenaran ucapan Tony barusan.
Jangan-jangan memang seharusnya ikatan antara dirinya dan Rio tidak pernah terjadi…
Bagaimana ini…? Permintaannya agar mereka saling menjauh dulu rasanya salah sekali, sekarang ia akan benar-benar kehilangan Rio…
"Tony…"
"Apa?"
"Minta saputangan…"
Tony cepat-cepat merogoh sakunya dan menyerahkan saputangannya kepada Katerina yang susah payah menahan air matanya.
"Sabar, Rin…" Tony menepuk-nepuk punggung Katerina yang mulai menangis. "Biar gua bikin perhitungan sama dia."
"Dia..huk..mau kamu apain..?" tanya Katerina di sela-sela tangisnya.
"Mau gua pukul..!"
"Jangan, Ton…kasihan dia.."
"Kamu ini masih aja ngebelain dia!"
"Aku sayang dia, Ton…"
Tony hanya bisa geleng-geleng. Ia tahu Katerina adalah gadis yang kuat dan ia percaya akan dapat mengatasi sendiri masalahnya. Tony tak usah ikut campur walau pun ia ingin.
Mereka lalu pulang. Rio sama sekali tak menoleh.