Bulan bersinar terang malam ini, bintang-bintang bertaburan di angkasa memancarkan cahayanya . Akan tetapi, suasana malam ini tidak sesuai dengan suasana hati Maru saat ini. Maru sedang melanjutkan menulis naskah novelnya, ia sangat kesal karena besok adalah batas hari pengumpulan naskah.
"Aaaahhh!!! Sial!!! Kalau begini tidak akan selesai!!!"
Maru istirahat sejenak, ia tidak sanggup menulis lagi. Maru segera beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi keluar rumah untuk menjernihkan pikirannya. Udara malam yang segar dapat sedikit menenangkan pikiran Maru, ia jalan-jalan malam tanpa sepengetahuan adik-adiknya maupun Haruna. Maru pergi mampir ke kedai ramen yang tidak jauh dari rumahnya, ia duduk di sana dan memesan semangkuk ramen yang biasa ia pesan sebelumnya.
"Paman, ramen yang seperti biasa satu!"
"Oke, tunggu sebentar ya!"
Paman itu segera membuatkan ramen pesanan Maru. Maru merenungkan sesuatu, ia berpikir kalau tidak baik keluar rumah tanpa memberitahu adik-adiknya, ia takut membuat mereka khawatir. Sementara itu, Chizuru terbangun dari tidurnya, ia merasa kalau ia harus segera pergi ke toilet. Setelah selesai buang air kecil, Chizuru segera kembali ke kamarnya. Pada saat ia berjalan menuju kamarnya, ia melihat pintu kamar Maru terbuka. Chizuru penasaran, ia segera memeriksa kamar Maru. Maru sama sekali tidak ada di kamar, Chizuru segera memeriksa ruangan lain, namun ia tidak menemukan Maru. Chizuru berlari menuju kamarnya, ia segera membangunkan Yuzuru.
"Yuzuru, ayo bangun! Bangun!"
Yuzuru terbangun, ia dengan mata mengantuk menoleh ke arah Chizuru.
"Ada apa Chizuru?"
"Onii-chan Yuzuru! Onii-chan!!!"
"Onii-chan? Apa yang terjadi kepada Onii-chan!?"
"Onii-chan tidak ada dikamarnya, aku sudah mencarinya ke seluruh ruangan tapi Onii-chan tidak ada!"
Pada awalnya mereka terlihat terkejut dan khawatir. Beberapa detik kemudian, mereka tersenyum dan berteriak dengan gembira.
"Malam ini Onii-chan tidak ada di rumah. Ayo kita bersenang-senang!"
"Ayo!"
Mereka segera beranjak dari tempat tidur dan berlari ke dapur, mereka mengambil banyak sekali cemilan di lemari dan membawanya ke ruang tamu. Mereka menghidupkan TV dan duduk di sofa, mereka memakan cemilan itu sambil menonton TV.
"Maaf menunggu, ini pesananmu!"
Paman penjual ramen itu meletakkan semangkuk ramen di atas meja di hadapan Maru. Maru membaca doa makan dan segera memakan ramen tersebut. Tiba-tiba Maru teringat sesuatu, ia lupa jika adik-adiknya di tinggal sendirian di malam hari, mereka akan bergadang semalaman dan bukannya tidur. Maru segera mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan segera menelepon Haruna. Ponsel Haruna berdering, suara bisingnya membangunkan Haruna. Haruna masih mengantuk, ia menjawab panggilan masuk di ponselnya.
"Hallo....?"
"Haruna, ini aku Maru!"
"Maru....?"
"Haruna, bisakah kau memeriksa apakah adik-adikku sudah tidur atau belum. Jika sudah kau periksa segera kabari aku ya?"
"Baik...."
Panggilan berakhir. Haruna melawan rasa kantuknya, ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar Chizuru dan Yuzuru. Di tengah perjalanan, ia melihat lampu di ruang tamu menyala. Haruna merasa penasaran, ia segera memeriksanya.
"Ternyata kalian ada sini."
Haruna memergoki Chizuru dan Yuzuru main video game di tengah malam. Haruna menatap Chizuru dan Yuzuru dengan tatapan marah bercampur rasa kecewa. Chizuru dan Yuzuru memandangi wajah satu sama lain, kemudian mereka tersenyum nakal.
"Haruna-san, ayo kita main sama-sama!"
Chizuru dan Yuzuru menarik Haruna ke sofa, ia memberikan konsol video game kepada Haruna. Haruna bingung, kenapa mereka malah memberinya konsol video game. Chizuru menekan tombol start pada konsol video gamenya untuk memulai permainan. Setengah jam kemudian, Haruna ketagihan bermain dan lupa dengan apa yang Maru katakan kepadanya. Chizuru dan Yuzuru menatap Haruna dari belakang sambil terseyum nakal dengan maksud meremehkan.
"Mudah sekali."
"Kita berhasil mengelabuinya."
Chizuru dan Yuzuru melakukan tos. Sementara itu, Maru memakan ramennya sambil menunggu laporan dari Haruna. Sudah lebih setengah jam, namun belum ada kabar sama sekali. Maru sedikit cemas, ia kembali mengeluarkan ponselnya dan segera menelepon Haruna. Ponsel Haruna berdering, namun sama sekali tidak diangkat. Haruna keasikan main video game, ia sampai lupa dengan dunia nyata.
"Tidak diangkat, apa yang dilakukan si Haruna itu? Lebih baik aku pulang dan melihatnya sendiri."
Maru segera menghabiskan ramennya. Setelah membayar, ia langsung berlari menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, Maru segera memeriksa ruang tamu. Haruna dan adik-adiknya tertidur, mereka tidur dengan sangat nyenyak. Melihat mereka membuat Maru tidak tega membangunkan mereka. Setelah memberi mereka selimut, Maru pergi meninggalkan ruang tamu dan segera menuju kamarnya.
"Mission success!"
Chizuru dan Yuzuru bangun dari tidur pura-pura mereka, mereka tahu kalau Maru akan pulang ke rumah, jadi mereka pura-pura tidur untuk mengelabui Maru, sementara Haruna tidur beneran. Kemudian Chizuru dan Yuzuru kembali menyalakan TV dan kembali main video game mereka. Beberapa saat kemudian, entah kenapa badan Chizuru dan Yuzuru merinding. Dari belakang mereka, Maru menatap mereka dengan mata setengah terbuka, tatapannya begitu dingin hingga menusuk jiwa dan raga Chizuru dan Yuzuru. Chizuru dan Yuzuru dengan gemetaran menoleh ke belakang.
"Onii-chan, kau sudah pulang...?"
"Apa kau mau kami buatkan teh...?"
Mereka gemetaran sambil memasang senyum masam. Maru hanya diam, ia hanya menatap mereka dengan tatapan dingin. Chizuru dan Yuzuru langsung bersujud di hadapan Maru dan berulang- ulang kali meminta maaf.
"Maafkan kami, Onii-chan!"
"Kami janji tidak akan mengulanginya lagi!"
"Maafkan kami!"
Mereka menangis dan menyesali perbuatan mereka. Maru tersenyum, ia dengan lembut mengelus kepala mereka. Chizuru dan Yuzuru berhenti menangis, mereka terkejut saat Maru mengelus kepala mereka dan bukannya marah-marah kepada mereka.
"Sudahlah jangan menangis, aku jadi tidak tega memarahi kalian. Jujur saja aku tidak marah."
"Onii-chan tidak marah?"
"Mana mungkin aku bisa marah kepada adik-adik yang kusayangi!"
Wajah Chizuru dan Yuzuru memerah, mereka dengan senangnya melompat ke arah Maru dan langsung memeluknya.
"Terima kasih Onii-chan, kami sayang Onii-chan!"
"Onii-chan daisuki!"
"Aku juga menyayangi kalian."
Maru juga memeluk mereka dengan pelukan yang hangat. Sepertinya semuanya baik-baik saja, begitulah yang ada di pikiran Maru. Maru menoleh ke arah jam, jam menunjukkan pukul 05.04 pagi.
"Bagaimana kalau kita menonton film, apa kalian mau?"
"iya kami mau!"
Chizuru dan Yuzuru segera duduk di sofa, Maru memasukkan kaset film ke dalam CD player. Setelah itu ia duduk di sofa dengan Chizuru dan Yuzuru. Maru menekan tombol play di remote TV, kemudian filmnya pun dimulai. Chizuru dan Yuzuru sangat menikmati film itu, Maru juga senang melihat Chizuru dan Yuzuru menikmatinya. Kemudian Maru teringat akan suatu hal.
"Oh iya, apa kalian melihat Haruna?"
"Tadi dia bersama kami saat kami pura-pura tidur, kami tidur di lantai dan dia tidur di so..."
"Di so?"
"....Aw, sakit...."
Kemudian mereka mendengar sesuatu di bawah mereka. Ternyata itu adalah suara Haruna, Haruna sedang tidur di sofa. Mereka sama sekali tidak menyadarinya, tanpa sadar mereka menduduki tubuh Haruna. Mereka berteriak dan segera berdiri.
"Haruna, apa yang kau lakukan di sofa!?"
"Itu benar, kenapa kau tidak memberitahu kami kalau kami menduduki tubuhmu!!!"
"Miiaaaaawww...."
Haruna malah bertingkah seperti seekor kucing. Memang terlihat manis, tapi sekarang bukan waktunya untuk melakukan hal itu. Haruna masih merasa mengantuk, ia mengusap mata kanannya dengan tangan kanannya yang dikepal seperti tangan kucing.
"Apa yang sedang kalian lakukan...?"
"Kami sedang menonton film, apa kau juga mau ikutan?"
Haruna menganggukkan kepalanya, itu artinya ia setuju. Akan tetapi, sofa hanya bisa di duduki untuk tiga orang. Jika mereka berempat duduk di sofa, tidak bakalan muat.
"Bagaimana ini, sofanya tidak muat untuk empat orang!"
"Kalau begitu, aku akan duduk dilantai saja."
Maru, Chizuru dan Yuzuru terkejut dengan apa yang Haruna katakan barusan.
"Apa kau yakin?"
"iya."
"Lebih baik kau duduk di sofa saja, biar aku yang duduk dilantai."
"Onii-chan!?"
Chizuru dan Yuzuru terkejut melihat Maru tiba-tiba menawarkan diri untuk duduk dilantai. Kemudian Chizuru mendapatkan sebuah ide untuk memecahkan masalah ini.
"Tidak ada yang duduk dilantai!"
"Chizuru!?"
"Aku punya cara agar kita semua bisa duduk di sofa!"
"Caranya?"
Maru duduk di tengah, Chizuru duduk di samping kanan Maru, Haruna duduk di samping kiri Maru, dan Yuzuru duduk di atas pangkuan Maru. Namun semua itu baru khayalan Chizuru saja.
"Yap, begitulah caranya!"
"Aku tidak mungkin bisa melakukannya, aku tidak mungkin duduk di pangkuan Onii-chan!!!"
"Apa salahnya, kalian kan kakak beradik, jadi tidak apa-apa."
"Kalau begitu kau saja, kau dan Onii-chan kan juga kakak beradik!!!"
"Kalau aku sih tidak mungkin bisa melakukannya..."
"Kalau begitu aku saja."
"Heeh?"
Pada akhirnya Maru duduk di tengah, Chizuru duduk di samping kanan Maru, Yuzuru duduk di samping kiri Maru, dan Haruna duduk di atas pangkuan Maru. Haruna tidak terlalu tinggi, jadi tidak menghalangi pandangan Maru. Meskipun begitu, Maru merasa tidak nyaman. Seorang gadis seumurannya yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya duduk di atas pangkuannya. Maru merasa canggung, jantungnya berdetak sangat kencang dan wajahnya memerah. Chizuru dan Yuzuru tidak menyangka Haruna mau duduk di atas pangkuan Maru. Di samping itu, mereka merasa sedikit iri.
Satu setengah jam telah berlalu, Chizuru dan Yuzuru tertidur di pundak Maru, Haruna juga tertidur di pangkuan Maru, sementara Maru masih terjaga sambil menonton film. Maru mengambil remote TV dan menekan tombol off, kemudian TV pun padam. Maru segera menggendong mereka satu persatu ke kamar mereka. Pertama Haruna, kemudian Chizuru, setelah itu Yuzuru.
Sudah pukul 06:35, Maru segera ke dapur untuk membuat sarapan. Haruna, Chizuru dan Yuzuru masih tidur di kamar mereka masing-masing, mereka terbangun karena mencium bau masakan Maru. Mereka segera beranjak dari tempat tidur mereka dan segera berlari menuju meja makan.
"Hari ini kita sarapan apa, Onii-chan?"
"Omurice."
"Waaaaaahhh!"
"Kelihatannya enak, ittadakimasu!"
"Ittadakimasu."
Mereka memakan sarapan mereka. Setelah selesai, Maru pergi mencuci piring bekas sarapan tadi, sementara Haruna, Chizuru dan Yuzuru duduk di sofa sambil menonton TV. Setelah selesai mencuci piring, Maru menghampiri mereka bertiga.
"Lebih baik kalian bersiap, nanti kalian terlambat ke sekolah."
"Astaga!!! Kita tidak membawa seragam sekolah!!! Yuzuru, ayo kita pulang ke rumah ayah dan ibu!!!"
"Iya! Bye bye Onii-chan!"
"Onii-chan, bye bye!"
"Hati-hati di jalan."
Chizuru dan Yuzuru pergi meninggalkan rumah Maru. Maru dan Haruna juga bersiap-siap ke sekolah, mereka ke kamar mereka masing-masing. Setelah selesai mandi dan memakai seragam sekolah, mereka berangkat menuju sekolah mereka. Di perjalanan menuju sekolah, Maru dan Haruna berhenti di depan toko roti. Maru bingung kenapa Haruna berhenti di toko tersebut.
"Haruna, kenapa kita malah berhenti di tempat seperti ini? Kalau tidak cepat-cepat kita bisa terlambat loh."
"Aku lupa membawa kotak makan siangku, jadi aku mau membeli beberapa roti dulu."
"Kau ini, lain kali jangan lupa membawa kotak makan siangmu."
"Baik, lain kali aku tidak akan lupa."
"Oh iya, kenapa kau membeli roti di sini? Bukannya di kantin sekolah juga menjual roti?"
"Aku lebih suka roti di toko ini."
"Begitu ya. Ya sudah, cepat beli rotinya lalu segera ke sekolah."
"Baik."
Haruna membeli roti yang biasa ia beli di toko itu. Ketika Haruna hendak mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar roti tersebut, tiba-tiba ada seorang lelaki aneh mengambil paksa dompet Haruna lalu melarikan diri.
"Ano... Nona, apa kau jadi membayar roti-roti ini?"
"Tapi, semua uangku ada di dompet itu..."
Haruna kelihatan sedih dan seperti ingin menangis, ia hanya ingin membeli roti kesukaannya di toko langganannya, tapi uangnya malah diambil oleh seorang pencuri. Maru tidak bisa melihat Haruna menangis, Maru segera berlari mengejar pencuri itu.
"Maru..."
Haruna menatap ke arah Maru yang sedang mengejar pencuri itu, Haruna tidak menyangka Maru akan melakukan itu demi dirinya. Sementara itu, Maru berlari mengejar pencuri itu, namun pencuri itu sangat cepat dan gesit, Maru tidak dapat mengejarnya.
"Sial, dia cepat sekali. Jika seperti ini tidak akan terkejar! Tidak... Aku tidak boleh menyerah, aku harus mengambil kembali dompet Haruna!"
Maru berbelok memasuki jalan sempit, Maru bertaruh pencuri itu akan melewati persimpangan yang ada diujung jalan sempit yang ia lewati. Setelah sampai di ujung jalan, Maru mengintip apakah pencuri itu melalui jalan ini atau tidak. Ternyata benar, pencuri itu melalui jalan tersebut. Pencuri itu sudah semakin dekat, Maru menyiapkan dirinya untuk menangkap pencuri itu. Ketika pencuri itu sudah sangat dekat, Maru segera keluar dari persembunyiannya. Dengan sebuah papan di tangannya, Maru memukul pencuri itu tepat di wajahnya. Pencuri itu pingsan dan tergeletak di tanah. Maru segera mengambil dompet Haruna dari tangan pencuri itu.
"Ada apa ini?"
Tiba-tiba datang seorang polisi, beberapa orang juga berdatangan untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Emm... Begini pak polisi, orang ini mencuri dompet teman saya. Bisakah anda mengamankan pencuri ini?"
"Tentu saja, mengamankan adalah salah satu tugas seorang polisi!"
"Terima kasih banyak!"
Kemudian Maru berlari ke tempat Haruna. Haruna masih menunggu Maru di depan toko roti, Haruna bertanya-tanya kapan Maru akan kembali. Tak lama kemudian, dari kejauhan Haruna mendengar Maru memanggil namanya.
"Maru!?"
"Ini... Dompetmu..."
Maru kelelahan setelah berlari ke sana kemari, keringatnya membasahi sekujur tubuhnya. Maru memberikan dompet itu kepada Haruna, Haruna mengambil dompet itu dari tangan Maru.
"Terima kasih."
Wajah Haruna memerah, ia benar-benar tersipu malu. Maru berjuang mendapatkan dompetnya yang dicuri membuat Haruna jatuh hati kepada Maru. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini. Haruna menganggap perasaan itu adalah rasa senang. Meskipun ia merasa senang, namun ia sama sekali tidak tersenyum.
"Ayo cepat bayar rotinya, kita harus pergi ke sekol... Aaaaahhhhh!!! Sudah jam segini, kita sudah pasti terlambat!!!"
Maru panik ketika melihat jam tangannya. Jam menunjukkan pukul 07:27, tiga menit lagi mereka akan terlambat masuk sekolah. Setelah Haruna membayar roti tadi, Maru menarik tangan Haruna dan mereka berlari menuju ke sekolah mereka. Meskipun mereka berlari sekuat tenaga, pada akhirnya mereka terlambat masuk sekolah. Sebagai hukumannya, mereka di suruh membuang sampah yang ada di tong sampah ke tempat pembuangan sampah sekolah.
"Haaahhh... Pagi-pagi kita sudah kena hukum..."
"Maaf ya Maru, karena aku kita terlambat."
"Ah tidak, ini bukan salahmu!"
"Benarkah?"
"Benar! Jangan khawatirkan itu."
"Syukurlah!"
Haruna merasa lega setelah mendengar ucapan Maru, wajahnya begitu imut ketika ia merasa lega.
(Kawai!)
Maru berbicara di dalam hatinya. Wajah Maru memerah, ia baru pertama kalinya melihat Haruna bertingkah manis seperti itu.
(Tidak tidak, ini bukan saatnya untuk terpesona!!!)
Maru menggeleng-gelengkan kepalanya, Maru berusaha untuk fokus melaksanakan hukuman yang diberikan guru piket kepada mereka. Setelah selesai membuang sampah, mereka masuk ke dalam kelas mereka untuk mengikuti pelajaran. Pelajaran berlangsung selama 43 menit yang seharusnya 60 menit, mereka melewatkan 17 menit pelajaran karena menjalankan hukuman dari guru piket.
Bel berbunyi, pelajaran telah selesai dan para siswa diperbolehkan istirahat. Maru dan Haruna duduk-duduk di bawah pohon di taman sekolah, mereka selalu menghabiskan waktu istirahat di sana untuk makan siang atau melanjutkan pekerjaan mereka menulis novel dan menggambar komik. Saat ini mereka hanya melanjutkan pekerjaan mereka saja, mereka akan memakan makanan mereka apabila sudah jam istirahat ketiga di siang hari.
"Hei, Haruna."
"Apa?"
"Apa kau ingat saat pertama kali kita bertemu? Di bawah pohon ini, saat pertama kalinya aku mengobrol denganmu."
"Aku ingat, itu saat pertama kalinya aku menunjukkan gambarku kepadamu."
"Kurasa pertama kali kau menunjukkan gambarmu padaku saat kita di kelas."
"Maksudmu gambar kau yang menjadi budakku?"
"Ahhh tidak, jangan membuatku mengingat hal yang mengerikan itu!!!"
Maru gelisah sendiri sambil memegangi kepalanya, seolah ia tidak ingin mengingat gambar di mana ia menjadi budak masokis. Setelah itu Maru tertawa, ia hanya ingin tertawa bersama Haruna. Akan tetapi, Haruna tidak tertawa sama sekali, ia bahkan tidak tersenyum.
"Haruna, apa kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja."
"Dari tadi kau terlihat murung. Saat aku sedang bercanda kau bahkan tidak tertawa ataupun tersenyum."
"Aku hanya tidak mengerti bagaimana caranya tertawa maupun caranya tersenyum. Saat aku di inggris, yang kupedulikan hanyalah menggambar, aku sama sekali tidak peduli dengan hal lain selain menggambar."
"Begitu ya. Maaf karena mencoba membuatmu tertawa."
"Tidak apa-apa. Aku juga ingin tertawa, aku juga ingin tersenyum, aku hanya tidak mengerti bagaimana cara melakukannya."
Maru tidak menyangka Haruna tidak bisa tertawa atau tersenyum sebelumnya. Maru tidak tahu apa alasannya, tapi ia ingin melihat Haruna tersenyum dan tertawa jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Keputusan Maru sudah bulat, Maru berdiri dan menatap wajah Haruna.
"Haruna, apa kau ingin tersenyum?"
Haruna menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu aku akan membuatmu tersenyum! Aku tidak tahu kapan, tapi aku pasti akan membuatmu tersenyum, aku janji!"
"Tapi kenapa?"
"Itu karena... Aku ingin melihatmu tersenyum. Haruna, maukah kau tersenyum di hadapanku suatu hari nanti?"
Maru mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Haruna. Haruna masih ragu-ragu, namun pada akhirnya Haruna mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Maru. Mereka melilitkan jari kelingking mereka satu sama lain sebagai bukti janji mereka. Maru sangat senang, ia tersenyum sambil memejamkan kedua matanya. Senyuman Maru membuat Haruna tersipu malu, jantungnya berdetak sangat kencang. Haruna tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini, entah kenapa senyuman Maru membuatnya merasa nyaman.
"Haruna, apa kau baik-baik saja? Wajahmu memerah loh."
"A-aku.. Aku baik-baik saja!"
Haruna berlari meninggalkan Maru sendiri di bawah pohon itu, Haruna masuk ke dalam toilet dan menatap dirinya di cermin. Wajahnya memerah, jantungnya berdetak sangat kencang.
"Apa yang terjadi padaku, kenapa jantungku berdetak kencang saat Maru menatapku? Perasaan yang aneh, aku sama sekali tidak mengerti."
Sementara itu, Maru hanya diam di tempat ia berdiri tadi.
"Apa yang terjadi kepada Haruna, ia tidak seperti biasanya."
Wajah Haruna ketika ia tersipu malu terlintas di pikiran Maru. Wajah Maru langsung memerah.
"Kawaii... Tidak-tidak, aku tidak mungkin punya perasaan seperti itu kepadanya. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum, tidak lebih!"
Setelah itu Maru terdiam. Angin berhembus kencang, hembusannya membuat daun-daun pepohonan bergoyang.
"Mungkinkah..."
"Mungkinkah..."
Disisi lain Haruna juga mengatakan hal yang sama dengan Maru, seolah perasaan mereka telah terhubung satu sama lain
"Mungkinkah ini yang dinamakan cinta."
Mereka mengatakannya secara bersamaan walau mereka berada di tempat yang berbeda.