Pada pagi hari yang cerah, Maru dan Haruna sarapan bersama. Karena Chizuru dan Yuzuru masih berada di rumah orang tua mereka, jadi saat ini hanya ada mereka berdua di rumah. Sejak tadi pagi mereka tidak banyak bicara, mereka selalu menjaga jarak dan tidak memandangi satu sama lain. Suasana begitu canggung ketika mereka berduaan, wajah mereka memerah karena perasaan yang tidak dapat dijelaskan.
(Canggung sekali... Aku harus memulai suatu pembicaraan yang menarik, tapi apa yang harus aku bicarakan?)
Maru berbicara di dalam hatinya. Maru terlihat sangat canggung, ia melirik ke sana kemari memikirkan sesuatu untuk dibicarakan. Haruna juga berpikiran seperti itu, ia juga belum menemukan sesuatu untuk ia bicarakan.
"Ano!!!"
Mereka mengatakan itu secara bersamaan. Mereka terkejut kalau mereka memulai pembicaraan di saat yang bersamaan.
"Ada apa Maru?"
"Ah tidak, lebih baik kau duluan. Jika ada yang ingin kau bicarakan, katakan saja."
"Begini... Hari ini.. Cuacanya cerah ya?"
"Mm.. Iya, hari ini cuacanya sangat cerah."
Mereka kehabisan ide, pembicaraan mereka pun berakhir sampai di situ. Kemudian Maru melirik ke arah jam, saat ini jam menunjukkan pukul 07:04. Maru terkejut dan segera berdiri.
"Whaaaa!!! Kita akan terlambat! Haruna, ayo cepat habiskan sarapanmu!"
Setelah selesai sarapan, mereka segera berangkat ke sekolah. Untungnya mereka tiba di sekolah tepat waktu.
"Fyuuhhh... Untung kita tidak terlambat!"
"Iya."
Bel berbunyi, mereka segera menuju ke kelas mereka. Maru langsung duduk di tempat duduknya, ia tampak kelelahan.
"Kau kenapa, pagi-pagi begini sudah sekarat!"
Salah seorang siswa berjalan mendekati Maru.
"Yuuto!?"
Maru terkejut, ternyata orang yang baru saja bicara kepadanya adalah sahabatnya Yuuto. Sejak hari kedua sekolah Yuuto tidak hadir, ia harus menolong ayahnya menyelesaikan light novel. Karena sudah selesai, Yuuto datang ke sekolah hari ini.
"Lama tidak ketemu, Maru!"
"Bukannya baru seminggu sejak kau tidak datang ke sekolah."
"hahaha, benar juga!"
"Jadi bagaimana light novel ayahmu?"
"Semuanya berjalan lancar! Oh iya! Ini untukmu, ayahku yang memberikannya. Untuk penggemar setia!"
"Terima kasih Yuuto!"
Yuuto memberikan sebuah light novel kepada Maru, Maru menerimanya dengan senang hati. Maru adalah penggemar light novel ayah Yuuto, ia sudah membaca karya beliau sejak Maru masih kelas 5 SD. Mulai dari cerita anak, kisah petualangan pahlawan, dan belum lama ini ia membaca kisah percintaan.
"Ayahmu hebat ya, bisa membuat cerita sebagus ini."
Maru sekilas membaca light novel itu beberapa halaman. Haruna merasa penasaran, ia menghampiri Maru dari samping dan ikut membaca novel itu.
"Haruna, kau terlalu dekat denganku."
"Memangnya kenapa?"
"Bukannya apa-apa, tapi kau ini perempuan dan aku laki-laki. Kita harus menjaga jarak."
"Kalau begitu..."
Haruna mengambil novel itu dari tangan Maru, ia membacanya sendiri di tempat duduknya.
"Dasar Haruna, seperti biasanya aku tidak mengerti jalan pikirannya."
Maru memandangi Haruna sambil tersenyum. Yuuto menghampiri Maru, ia juga memandangi Haruna.
"Hei Maru, kalau tidak salah Haruna itu adalah gadis yang tinggal serumah denganmu kan?"
"Whaaa!!! Kenapa kau bisa tahu!!!"
"Aku melihatnya loh, kalian pulang bersama, searah lagi."
"Kau salah paham!!!.. Begini, aku bisa jelaskan...!!!"
"Tidak apa-apa, aku mengerti kok. Maru.. Kau sudah tumbuh menjadi pria dewasa, aku bangga padamu."
"Sudah kubilang kau salah pahaaaaaam!!!"
Maru berteriak sangat keras, teriakannya bahkan membuat langit seolah-olah bergetar. Setelah itu, Maru menjelaskan semuanya kepada Yuuto.
"Hmmm... Begitu rupanya."
"Hooo... Begitu rupanya."
Haruna juga ikut-ikutan dalam pembicaraan mereka. Maru terlihat kesal, padahal yang mereka bicarakan itu adalah dirinya, tapi ia malah berlagak baru tahu dengan semua itu.
"Kenapa?"
"Bukan apa-apa..."
Tak lama kemudian, guru memasuki ruang kelas, semua murid duduk di tempat duduk mereka masing-masing. Pelajaran pun dimulai, mereka mengikuti pelajaran hingga selesai. Bel berbunyi menandakan waktu istirahat, seluruh murid keluar dari kelas mereka.
"Maaf membuatmu menunggu!"
"Tidak apa-apa."
Seperti biasanya pada jam istirahat Maru dan Haruna duduk-duduk di bawah pohon yang ada di taman sekolah. Maru melanjutkan menulis naskah novelnya. Begitu juga dengan Haruna, ia melanjutkan menggambar komiknya. Sesekali mereka memakan makanan mereka ketika mereka kelelahan menulis maupun menggambar.
"Deadline nya seminggu lagi, bisa selesai tepat waktu atau tidak ya?"
"Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikannya."
Dengan wajah polos dan mata berbinar-binar, Haruna mengacungkan jempolnya. Maru hanya tersenyum masam melihat tingkah Haruna. Setelah itu, mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka.
Selama seminggu ini, Maru sibuk menulis naskah novelnya, sementara Haruna sibuk menggambar komiknya. Mereka berusaha sekuat tenaga menyelesaikan naskah mereka sebelum batas waktu penyerahan naskah. Bahkan di sekolah pun jika tidak pada jam belajar, mereka melanjutkan menulis novel dan menggambar komik mereka. Karena naskah mereka banyak yang belum selesai dan waktu semakin sedikit, mereka begadang semalaman untuk menyelesaikan naskah mereka.
"Akhirnya selesai juga!"
Maru berteriak dengan riang gembira, ia berhasil menyelesaikan naskah novelnya. Kemudian Haruna masuk ke dalam kamar Maru.
"Maru, apa naskahmu sudah selesai?"
"Sudah! Bagaimana denganmu?"
"Aku juga sudah selesai."
Haruna menunjukkan komiknya kepada Maru. Maru juga ikut senang, naskah mereka bisa selesai tepat waktu.
"Yosh, sekarang kita hanya tinggal mengirimkan naskahnya ke panitia!"
"Kau benar."
"Oh iya Haruna, sudah berapa hari kita begadang?"
"Lima hari.. Tanpa tidur sedetik pun."
"Oww..."
Tiba-tiba mereka langsung ketiduran di tempat tidur, mereka tertidur pulas karena rasa kantuk dan lelah yang mereka tahan selama lima hari.
Jam berdering, Maru terbangun dari tidurnya. Ketika ia membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah wajah Haruna. Wajah Haruna sangat dekat dengan wajahnya. Wajah Maru memerah, ia berteriak sangat kencang, teriakannya bahkan sampai membuat langit seolah-olah bergetar. Maru segera berdiri dan menjauh dari tempat tidur. Tak lama setelah itu, Haruna pun terbangun dari tidurnya.
"Maru, berisik..."
Haruna mengatakan itu sambil mengucek-ngucek mata kanannya dengan tangan kanannya yang ia kepal seperti tangan kucing.
(Gawat, dia manis sekali, aku jadi ingin memeluknya. Tidak-tidak, ini bukan saatnya memikirkan hal semacam itu!!!)
Maru berbicara di dalam hatinya. Maru menggelengkan kepalanya ketika ia berpikiran yang bukan-bukan.
"Oh iya Haruna, kenapa kau ada di kamarku? Dan kenapa kau tidur di sampingku?"
"Memangnya tidak boleh?"
"Ya jelas tidak boleh!!! Aku laki-laki dan kau perempuan, apalagi kita seumuran, ditambah kita sama sekali tidak memiliki hubungan darah, kita tidak boleh tidur satu ranjang!!!"
"Aku baru tahu."
"Kau baru tahu!? Sebenarnya apa yang telah orang tuamu ajarkan kepadamu selama ini!?"
Maru sangat kesal, ia mengatakan itu sambil menghentakkan kaki kanannya ke lantai dengan sangat keras berulang-ulang kali.
"Hmm.. Berjalan, makan, mengenakan pakaian, mandi, toilet, menggambar, dan..."
"Kau tidak perlu menjawabnya juga kali!!!"
Setelah semua itu, Maru melirik ke arah kalender, hari ini adalah batas waktu penyerahan naskah. Kemudian Maru melirik ke arah jam, jam menunjukkan pukul 9:15, sementara batas waktu penyerahan ialah pada jam 10:00. Butuh waktu 45 menit ke kota dan butuh waktu 15 menit menuju kantor panitia. Di lihat dari mana pun, mereka sudah pasi terlambat. Waktu mereka akan habis hanya berjalan ke kota saja, mereka tidak akan sampai di kantor panitia tepat waktu.
"Berakhir sudah..."
"Maru?"
"Padahal kita sudah berusaha sangat keras menyelesaikannya, tapi kita tidak bisa tepat waktu menyerahkannya. Maaf ya Haruna, karena aku kita jadi terlambat."
Maru menoleh ke arah Haruna, Maru menangis dan merasa kecewa kepada dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya Haruna melihat Maru menangis seperti itu, biasanya Maru selalu tersenyum. Dadanya terasa sesak, entah kenapa hatinya terasa sakit ketika melihat Maru menangis. Haruna mengepalkan tangannya, ia mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi ayahnya. Tak lama kemudian, anak buah ayah Haruna datang menghampiri mereka dengan mengendarai motor sport. Maru terkejut melihat anak buah ayah Haruna tiba-tiba datang ke rumahnya. Anak buah ayah Haruna segera turun dari motor itu.
"Silakan nona Haruna, saya sudah menghangatkan mesinnya untuk anda."
"Terima kasih Jimmy."
"Yang benar Jhony, nona Haruna."
"Hmm.. Benar juga. Terima kasih Alexander."
(Padahal orang itu sudah memberitahukan namanya, kenapa dia masih salah menyebut nama orang itu...)
Maru berbicara di dalam hatinya, ia merasa sedikit kesal kepada Haruna. Haruna mengambil kunci motor dari tangan Jhony dan menaiki motor itu.
"Maru, ayo naik!"
"Heh, kau yang mengemudi!?"
"Jangan khawatir, aku sudah punya SIM. Dan skill mengemudiku adalah A plus."
"Skill macam apa itu..."
Maru merasa sedikit khawatir, mau tidak mau ia menaiki motor itu, ia duduk di belakang Haruna. Haruna menghidupkan mesin, ia menggas motor itu dan melaju sangat kencang.
"Whaaaa!!! Haruna, kau terlalu cepat!!!"
"Jangan khawatir, skill mengemudiku adalah A plus."
"Sudah kubilang, skill macam apa itu!!!"
Maru berteriak sangat kencang hingga menggema di udara. Pada akhirnya, mereka sampai di tempat tujuan dengan selamat tanpa menimbulkan korban. Maru kehabisan napas, baru kali ini ia menaiki motor berkecepatan 250 kilo meter per jam.
"Haruna, jam berapa sekarang? Aku terlalu pusing untuk melihat jam..."
"Humm... Sekarang jam 9:45. Masih 15 menit sebelum batas waktu penyerahan naskah."
"Kalau begitu ayo bergegas ke kantor panitia..."
"Kita sudah berada di depan kantor panitia."
"What!?"
Maru terkejut, ia segera melihat apa yang di katakan Haruna itu benar atau tidak. Ternyata benar, mereka sudah berada di depan kantor panitia.
"Kau benar... Kita berhasil! Ayo kita masuk ke dalam!"
Haruna menganggukkan kepalanya. Mereka masuk ke dalam kantor panitia. Mereka terkejut, ternyata banyak yang mengantre untuk mengumpulkan naskah mereka ke panitia. Tiba-tiba salah seorang staff dari panitia menghampiri mereka.
"Apa kalian berdua juga ingin mengumpulkan naskah untuk lomba?"
"Iya benar!"
"Silakan ambil kertas ini."
"Humm... 46?"
"Itu adalah nomor antrean kalian. Jika nomor kalian di panggil, silakan masuk ke dalam ruangan panitia untuk penyerahan naskah. Apa kalian mengerti?"
"Kami mengerti!"
Kemudian staff panitia itu pergi melanjutkan tugasnya untuk memberikan nomor antrean kepada peserta lomba yang baru datang.
"Haruna, kau dapat nomor antrean berapa?"
"45."
Setelah lama menunggu, akhirnya giliran mereka di panggil ke ruang panitia. Haruna yang di panggil terlebih dahulu, setelah selesai menyerahkan komik dan beberapa dokumen penting ke pada panitia, Haruna diperbolehkan keluar. Selanjutnya giliran Maru, ia menyerahkan naskah novel dan beberapa dokumen penting kepada panitia, setelah itu ia diperbolehkan keluar.
"Akhirnya kita bisa menyerahkan naskahnya tepat waktu!"
"Kau benar."
"Semoga saja novelku dan komikmu di terima dan jadi pemenang lomba ini!"
Haruna menganggukkan kepalanya. Haruna merasa senang, namun ia tidak bisa mengungkapkan rasa senangnya melalui ekspresi wajah. Dengan kata lain, ia masih belum bisa tersenyum.
"Oh iya Haruna, dari tadi pagi kita belum makan apa-apa, bagaimana kalau kita makan dulu. Aku tahu di mana tempat makan yang enak dan murah di kota ini."
"Aku mengerti. Beritahu saja jalannya kepadaku, dengan skill mengendara milikku kita bisa sampai di sana dalam waktu singkat."
"Bagaimana kalau kita jalan kaki saja, lagi pula tempatnya tidak terlalu jauh dari sini..."
Maru tersenyum masam, ia hanya tidak ingin menaiki benda itu lagi. Haruna menuruti apa yang Maru katakan, mereka jalan kaki ke tempat makan yang dibicarakan Maru tadi.
(Oh iya, kalau dipikir-pikir bukannya ini sama saja dengan kencan? Ehh.. Kencan!? Aku.. Dan Haruna.. Kencan!? Aku harus tenang, tidak mungkin aku dan Haruna berkencan!!!)
Maru berbicara di dalam hatinya, ia terlihat agak gugup.
"Oh iya Maru, kalau dipikir-pikir bukannya ini sama saja dengan kencan?"
"Jangan baca pikiranku!!!"
(Jadi dia juga tahu yang kayak beginian?)
Maru kembali berbicara di dalam hatinya. Setelah lama berjalan, akhirnya mereka sampai di depan tempat makan yang dibicarakan Maru tadi.
"Ramen? Maru, ramen itu apa?"
"Kau akan tahu sendiri setelah melihat dan memakannya!"
Mereka memasuki kedai ramen itu.
"Paman, kami pesan dua mangkuk ramen!"
"Dimengerti!"
Setelah itu, paman itu pergi membuatkan ramen pesanan Maru. Haruna melihat-lihat ke sekitarnya, ini pertama kalinya ia makan di kedai ramen, selama ini ia makan makanan mewah ketika ia masih di inggris dan makan makanan yang dibuat oleh Maru.
"Ada apa?"
"Bukan apa-apa, aku hanya..."
"Jangan khawatir, aku jamin ramen di sini sangat enak!"
"Iya..."
Setelah paman tadi selesai membuat ramen pesanan Maru, ia mengantarnya ke meja Maru dan Haruna.
"Maaf membuat kalian menunggu, ini ramen pesanan kalian!"
"Ittadakimasu!"
"Mmm.. Ittadakimasu..."
Maru memakan ramen itu dengan lahap. Haruna masih belum memakan ramennya, ia hanya memandangi ramennya saja.
"Ada apa Haruna?"
"Bukan apa-apa..."
Haruna menggunakan sumpitnya untuk mengambil mie ramen itu, ia memasukkan mie remen itu ke dalam mulutnya dan memakannya. Haruna terdiam sejenak.
"Enak..."
Kemudian Haruna kembali memakan ramen tersebut dengan lahap. Setelah mereka selesai makan, Maru membayar ramen itu kepada pemilik kedai ramen, setelah itu mereka keluar dari kedai itu.
"Huaaahh! Tadi itu enak sekali ya Haruna!"
"Iya."
"Lalu apa yang akan kita lakukan, apa langsung pulang?"
"Tidak! Sebenarnya, ada tempat yang ingin aku datangi... Apa kau tidak keberatan menemaniku?"
"Tentu! Jadi tempat apa yang ingin kau datangi?"
"Sebenarnya..."
Setelah lama berjalan, akhirnya mereka sampai di tempat yang ingin Haruna datangi.
"Game Center?"
"Iya. Kudengar tempat ini menyenangkan, jadi aku..."
"Ayo kita ke dalam!"
"Heh?"
"Kau ingin bermain kan? Aku kan menemanimu!"
"Maru..Terima kasih..."
"Tidak masalah!"
Mereka memasuki gedung Game Center tersebut. Setibanya di dalam, Maru pergi membeli koin permainan. Setelah itu, ia kembali ke tempat Haruna. Permainan pertama yang mereka mainkan adalah Alien Shooting, yaitu game tembak menembak di mana mereka harus menembak alien yang muncul di monitor dengan pistol khusus yang telah disediakan. Haruna baru pertama kali memainkannya, ia sangat ketakutan ketika melihat alien tiba-tiba muncul di monitor. Haruna berlindung dibalik tubuh Maru sambil menembaki alien-alien itu tanpa melihat ke arah monitor karena takut melihat rupa alien yang lumayan seram dan menakutkan. Maru sedikit merasa terganggu, namun ia tidak keberatan. Setelah selesai memainkan permainan itu, mereka lanjut memainkan permainan lain seperti game balap, game pertarungan, game dancing dan berbagai permainan lainnya. Setelah lelah bermain seharian, mereka duduk-duduk di kursi yang ada di lobby.
"Haruna, apa kau haus?"
Haruna menganggukkan kepalanya sambil menatap Maru dengan ekspresi wajah datar.
"Kalau begitu kau tunggu di sini dulu ya, aku pergi beli minuman dulu!"
"Iya."
Maru pergi membelikan minuman untuk mereka berdua, sementara Haruna menunggu di lobby. Tak lama kemudian, tiga orang laki-laki yang tidak dikenal datang menghampiri Haruna.
"Hei manis, apa kau sendirian, main sama abang yuk!"
"Iya, cewek cantik tidak boleh sendirian di tempat seperti ini!"
"Benar, ayo kita bersenang-senang!"
Mereka bertiga dengan genit mencolek-colek tubuh Haruna. Haruna tidak bisa berbuat apa-apa, ia berharap Maru segera datang menolongnya. Maru kembali dengan membawa dua kaleng minuman dingin di tangannya, kemudian ia melihat Haruna di serang oleh tiga laki-laki yang tidak dikenal.
"Apa yang kalian lakukan pada Haruna!!!"
Maru segera menghampiri mereka.
"Haaaahhh!!! Kau ini siapa, jangan ikut campur!!!"
"Aku..."
(Jika aku bilang kalau aku temannya, mereka pasti akan terus mengganggu Haruna, bisa-bisa terjadi hal yang merepotkan. Di saat seperti ini, aku tak punya pilihan lain!!!)
Maru berbicara serius di dalam hatinya. Kemudian ia menghadap ke arah laki-laki itu.
"Aku ini pacarnya, kami sedang berkencan, lebih baik kalian jangan mengganggu kencan kami."
Di dalam hati Maru, ia merasa malu ketika mengatakan hal itu, namun ia tidak punya pilihan lain. Maru berharap ketiga laki-laki itu percaya dengan kata-katanya dan segera pergi meninggalkan mereka.
"Pacar katamu... "
"Itu benar, lebih baik kalian jangan mengganggu..."
"Memangnya aku peduli apa kau pacarnya atau tidak!!!"
Salah satu dari ketiga laki-laki itu memukul wajah Maru. Pipi Maru yang sebelah kiri memar karena pukulan laki-laki itu.
"Dengarkan ini baik-baik.. Putuskan hubunganmu dengan gadis ini jika kau ingin nyawamu selamat..."
Ketiga laki-laki itu mendekati Maru dengan wajah sangar sambil meremas-remas tinju mereka. Maru terdiam, ia melihat ke arah Haruna. Haruna terlihat sangat tertekan, ia hampir saja mengeluarkan air matanya.
(Yang kuinginkan adalah melihat Haruna tersenyum... Bukannya melihat Haruna menangis!!!)
Maru berbicara di dalam hatinya, ia tidak tega melihat Haruna sampai menangis. Maru mengepalkan tinjunya, ia perlahan berjalan menuju ke arah ketiga laki-laki itu.
"Woi, apa kau dengar kata-kataku atau tidak!!!"
"Aku mendengarmu dengan sangat jelas... Dan jawabanku adalah.. Tidak."
"Apa katamu!!!"
Laki-laki itu kembali menyerang Maru dengan tinjunya. Akan tetapi, Maru dapat menghindari serangan itu. Maru memegangi pergelangan tangan laki-laki itu dan memutarnya ke punggung laki-laki itu hingga laki-laki itu tidak dapat bergerak. Maru menendang tulang kering kaki laki-laki itu untuk melumpuhkannya. Laki-laki itu terjatuh dan tergeletak di tanah sambil memegangi kakinya yang kesakitan. Teman laki-laki itu tercengang melihat Maru dengan mudahnya melumpuhkan pergerakan temannya. Mereka tidak tinggal diam, salah satu dari mereka berlari menyerang Maru. Maru menghindar, ia menendang punggung laki-laki itu ketika ia tengah berlari. Laki-laki itu terjatuh dan kepalanya membentur tong sampah yang terbuat dari logam, karena benturan itu membuatnya kehilangan kesadaran. Maru menatap laki-laki yang satunya lagi dengan tatapan tajam yang mencekam.
"Jika kau tidak ingin berakhir seperti teman-temanmu, lebih baik kau menyerah dan pergi dari sini."
"Jangan sombong kau bocah!!!"
Laki-laki itu marah besar, ia mengeluarkan senjata tajam dari balik jaketnya. Maru terkejut, ia perlahan mengambil langkah mundur.
"Ada apa, di mana rasa sombongmu yang tadi!!!"
Laki-laki itu maju menyerang Maru dengan senjata tajam di tangannya. Maru segera lari dari kejaran laki-laki itu, ia berusaha memikirkan cara untuk melumpuhkan laki-laki itu tanpa membuat dirinya ataupun orang lain terluka. Tanpa di sengaja Maru menabrak seorang gadis yang ia kenal.
"Hazuki-senpai!?"
"Maru!? Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?"
"Nanti kujelaskan! Oh iya, apa kau membawa pedang kayumu?"
"Iya aku bawa, memangnya kenapa?"
"Bisakah aku pinjam sebentar, ini darurat!!!"
"Boleh saja, tapi kenapa?"
Hazuki memberikan sebuah tas yang berisi pedang kayu di dalamnya kepada Maru. Maru segera mengambilnya dan mengeluarkan pedang kayu itu dari dalam tas, kemudian ia memberikan tasnya kepada Hazuki.
"Pedang kayunya aku pinjam dulu ya, nanti aku kembalikan!"
"Sebenarnya ada apa!?"
Maru sudah keburu pergi. Kemudian Hazuki melihat seorang laki-laki yang membawa senjata tajam sedang mengejar Maru. Akhirnya Hazuki mengerti kenapa Maru tiba-tiba saja datang meminjam pedang kayunya, ternyata ia sedang dikejar oleh penjahat yang membawa senjata tajam.
Maru berlari dari kejaran laki-laki bersenjata tajam. Ke mana pun Maru berlari, laki-laki itu tetap mengejarnya. Maru berhenti berlari, di hadapannya adalah jalan buntu.
"Hahahaha! Mau lari ke mana lagi kau haaa!!!"
Laki-laki itu tertawa seperti orang gila, dengan senjata tajam ditangannya ia berjalan mendekati Maru.
"Kita sudahi saja main kejar-kejaran ini! Permainam selanjutnya adalah menusukkan pisau ke tubuh seorang bocah! Aku yang jadi penusuknya dan kau yang jadi bocahnya!"
Dia kembali tertawa seperti orang gila. Maru tersenyum, ia menggenggam pedang kayunya dan mengarahkannya ke arah laki-laki itu.
"Bagaimana kalau kita berhenti bermain-main?"
"Kau pikir pedang kayu itu bisa menandingi pisau sungguhan yang tajam milikku? Hahahaha!!!"
Di saat laki-laki itu sedang tertawa seperti orang gila, Maru menebas pisau laki-laki itu dengan pedang kayunya.
"Teknik pedang Kazehaya... Sayatan Angin!"
Tanpa di sadari, Maru sudah berada di belakang laki-laki itu. Pisau laki-laki itu terpotong menjadi potongan-potongan kecil. Laki-laki itu terdiam, matanya melebar dan pikirannya menjadi tidak karuan. Kemudian Maru menodongkan pedang kayunya ke leher laki-laki itu.
"Apa yang baru saja terjadi? Bagaimana pedang kayumu bisa memotong pisau sungguhanku!?"
"Teknik pedang Kazehaya, teknik ini hanya diturunkan kepada anak tertua. Dengan teknik ini, aku bisa memotong apa pun meski dengan pedang kayu sekalipun. Teknik ini dapat memotong segalanya hanya dengan menggunakan angin dari tebasannya saja, ia bahkan bisa membelah tubuh manusia menjadi dua."
"Tidak mungkin!!! Kau hanya menggertak, mana ada teknik semacam itu!!!"
"Kalau kau mau, aku bisa mempraktikkannya... Dengan tubuhmu sebagai targetnya."
Laki-laki itu sudah mencapai batasnya, ia sangat tertekan hingga membuatnya kehilangan kesadaran.
"Ya ampun, meski semua itu benar, aku tidak mungkin menggunakannya untuk menyerang orang lain."
Maru menggenggam kerah baju laki-laki itu dan menyeretnya ke hadapan pihak keamanan. Maru juga membawa potongan pisau laki-laki itu untuk dijadikan barang bukti. Sementara itu, pihak keamanan sedang mengamankan kedua teman laki-laki yang menyerang Maru. Di saat itu juga, Maru datang ke hadapan mereka sambil menyeret laki-laki yang menyerangnya.
"Permisi, aku membawa satu lagi pelaku tindakan kekerasan. Dia juga membawa senjata tajam, tolong amankan orang ini!"
Maru melempar laki-laki itu ke hadapan pihak keamanan. Maru menyerahkan senjata tajam milik laki-laki itu kepada pihak keamanan.
"Terima kasih anak muda, kau sudah melakukan tindakan yang mulia."
"Ah tidak juga! Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan!"
"Kalau begitu kami pergi dulu, kami harus membawa ketiga orang ini ke pihak yang berwajib."
Pihak keamanan pergi membawa ketiga orang itu ke kantor polisi. Maru merasa lega, dalam kejadian ini tidak ada seorang pun yang terluka. Tiba-tiba Haruna memeluk Maru, ia terlihat sangat khawatir.
"Maru, apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka?"
Maru tersenyum, ia mengelus kepala Haruna.
"Jangan khawatir, aku baik-baik saja."
"Syukurlah!"
"Maaf sudah membuatmu khawatir."
Tak lama kemudian, Hazuki datang menghampiri mereka.
"Kukira ada apa, ternyata kau melawan penjahat demi melindungi pacarmu ya!"
Maru dan Haruna terkejut, mereka segera melepaskan pelukan mereka.
"Pa-pacar!? Apa sih yang kau bicarakan Hazuki-senpai? Aha ahahahaha!"
"Heeee, begitu ya!"
Hazuki menatap Maru sambil tersenyum nakal. Haruna bingung melihat mereka begitu akrab, ia bertanya-tanya apa hubungan gadis itu dengan Maru.
"Maru, siapa gadis ini?"
"Ah dia? Namanya Murasaki Hazuki, dia adalah murid kelas tiga di sekolah kita. Dan juga, dia adalah seniorku ketika aku masih berlatih di dojo kakekku."
"Begitu ya. Kau berlatih apa di dojo kakekmu?"
"Ilmu bela diri dan ilmu pedang."
"Hooo... Tidak heran kamu bisa mengalahkan orang-orang tadi sendirian."
"Belum tentu juga, aku hanya lagi beruntung."
Hazuki dengan sengaja batuk di hadapan mereka. Maru baru menyadari kalau ia belum memperkenalkan Haruna kepadanya.
"Oh iya senpai, ini Haruna, dia adalah..."
"Biar aku yang memperkenalkan diriku sendiri."
Haruna memotong pembicaraan Maru. Sebagai putri bangsawan inggris, ia harus memperkenalkan dirinya sendiri. Haruna menghadap ke arah Hazuki, ia menatap Hazuki dengan tatapan serius.
"Perkenalkan, namaku adalah Yuzurika Haruna Elstein, kau bisa memanggilku Haruna. Salam kenal."
"Murasaki Hazuki, salam kenal."
Kemudian Maru menghampiri Hazuki.
"Asal kau tahu saja, Haruna itu adalah keturunan bangsawan inggris."
"Apa!?"
Hazuki terkejut setelah mengetahui hal itu. Kemudian Maru menceritakan segalanya tentang Haruna kepada Hazuki, termasuk tentang Haruna yang tinggal serumah dengan Maru.
"Hmm.. Begitu ya. Apa boleh buat, jalani saja apa adanya."
"Kau ada benarnya juga sih..."
"Jadi, apa yang kalian berdua lakukan di sini?"
"Kami baru saja mengantarkan naskah kami ke panitia lomba, lalu kami ke sini..."
"Kami sedang berkencan."
Tiba-tiba Haruna memotong pembicaraan Maru. Hazuki kembali memandangi Maru sambil tersenyum nakal.
"Heee... Berkencan ya!"
"Jangan salah paham dulu Hazuki-senpai, kami bukannya sedang berkencan! Kami hanya..."
"Tadi kau bilang pada mereka kalau kita sedang berkencan. Maru, apa kau berbohong?"
Haruna terlihat kecewa, ia sangat sedih seakan ia mau menangis. Maru tidak tega jika Haruna sampai menangis. Jika Maru ingat-ingat kembali, dialah yang pertama kali berpikir kalau ia dan Haruna sedang berkencan, ia juga yang mengatakan kepada ketiga orang tadi kalau ia dan Haruna sedang berkencan. Maru merasa bersalah jika mengatakan semua itu adalah bohong. Jujur saja Maru merasa kalau ia dan Haruna sudah seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan.
"Maafkan aku Haruna, aku sama sekali tidak memikirkan perasaanmu. Kita datang ke sini bersama, kita bermain bersama, kita menghabiskan waktu bersama. Setelah apa yang telah kita lalui hari ini, kupikir kita memang sedang berkencan... Dan juga, maafkan aku jika aku membuatmu sedih."
"Tidak Maru, aku merasa senang.. Aku sangat senang menghabiskan waktu denganmu."
Maru terdiam, akhirnya ia bisa melihat Haruna tersenyum. Akan tetapi, ia terlalu cepat percaya akan hal itu. Maru menghampiri Haruna, ia melihat ada yang menempel di bibir Haruna. Ternyata itu adalah stiker yang bergambar senyuman yang Haruna tempel di bibirnya.
"Haruna, kau menghancurkan harapanku... Lepaskan stiker itu dari bibirmu sekarang juga..."
"Baik..."
Haruna melepaskan stiker yang menempel di bibirnya dan ia membuang stiker itu ke tong sampah yang ada di sampingnya. Hazuki tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan mereka berdua.
"Jangan menertawakan kami donk Hazuki-senpai!"
"Hahahaha maaf-maaf!"
"Selain itu, ini pedang kayumu, terima kasih sudah mau meminjamkannya."
Maru menyerahkan pedang kayu itu kepada Hazuki, kemudian Hazuki mengambilnya dari tangan Maru dan memasukkan pedang kayu itu kembali ke dalam tasnya.
"Kalau begitu aku pulang dulu ya, kalian berdua nikmatilah saat-saat kencan berharga kalian!"
Hazuki pergi meninggalkan mereka berdua. Maru merasa sedikit kesal kepada Hazuki.
"Si Hazuki itu...!!!"
"Maru, ayo kita bermain lagi!"
Haruna merangkul lengan Maru dan menariknya ke tempat permainan. Wajah Maru memerah ketika lengannya dirangkul oleh Haruna. Setelah itu Maru tersenyum, mungkin ia tidak akan melihat Haruna tersenyum hari ini, namun ia percaya kalau ia pasti bisa melihat Haruna tersenyum suatu hari nanti.
Mereka berhenti di depan mesin Catcher Doll, yaitu permainan mengambil boneka dengan menggunakan semacam tangan mekanis. Haruna melihat boneka-boneka lucu dari balik kaca mesin itu, ia benar-benar tertarik dengan boneka kucing yang memegang sebuah hati yang bertuliskan kata Love.
"Apa kau menginginkannya?"
Haruna mengangguk sambil memandangi boneka kucing itu.
"Serahkan saja padaku, aku akan mengambilkannya untukmu!"
Maru memasukkan koin ke dalam lubang koin mesin itu. Permainan telah dimulai, Maru menekan tombol untuk menggerakkan tangan mekanis. Setelah tangan mekanis itu berada tepat di atas boneka kucing yang diinginkan Haruna, Maru menekan tombol Ambil dan tangan mekanis itu turun mengambil boneka itu. Namun semua itu belum berakhir, Maru harus menjatuhkannya ke lubang pengambilan boneka. Maru dengan hati-hati menggerakkan tangan mekanis itu agar bonekanya tidak jatuh sebelum sampai di atas lubang pengambilan boneka. Pada akhirnya, Maru berhasil menjatuhkan boneka itu tepat di lubang pengambilan boneka. Maru mengambil boneka itu dan memberikannya kepada Haruna.
"Ini untukmu. Anggap saja ini hadiah dariku pada kencan kita hari ini."
"Terima kasih Maru, aku sangat senang."
Haruna hampir saja tersenyum, meskipun tidak terlihat jelas, namun Maru yakin Haruna hampir tersenyum. Maru sangat senang, ia sudah selangkah lebih maju untuk mewujudkan impiannya, yaitu melihat Haruna tersenyum.
Hari sudah mulai gelap, mereka segera pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, mereka berjalan berdampingan, tangan mereka hampir saja bersentuhan.
"Haruna! Kalau kau tidak keberatan... Maukah kau bergandengan tangan denganku?"
Haruna menganggukkan kepalanya. Mereka bergandengan tangan selama perjalanan pulang. Wajah mereka memerah dan jantung mereka berdetak sangat kencang. Di saat yang bersamaan mereka berpikir kalau mereka sedang jatuh cinta, namun mereka tidak bisa mengungkapkannya. Mereka berpikir lebih baik mereka tetap seperti ini dulu sampai hati mereka siap untuk mengungkapkan cinta mereka.