Tidak, setelah malam dimana gue menangisi hubungan gue yang kandas, gue bertekad tidak mau lagi memikirkan hal tidak mutu seperti itu. Masalah hati selalu terasa rumit untuk diselesaikan karena logika mendadak tumpul jika membahas cinta.
Ditinggalkan cinta lebih terasa sakitnya ketika kamu buta tentang arah panah kompas. Liat bagaimana akhir dari sebuah harapan pada manusia, gue pada akhirnya harus menerima kekecewaan sebagai teman gue.
Nyatanya luka yang selalu gue kata sudah sembuh hanyalah kebohongan untuk menutupi bagiaman lemahnya gue tentang cinta, apalagi gue sudah tahap cinta buta ketika gue adalah pihak ditinggalkan sekaligus diduakan, sakit itu datang dua kali lipat seakan lo jatuh dari ketinggina dan tidak mati. Padahal kisah gue dan Gibran sudah tertinggal jauh, tapi masih saja gue singgahi untuk mengenang dan membawa luka saat gue berpaling.
Hah...
Baiklah, mari kembali ke realita yang ada.
Gue sedang duduk disofa ruang tamu bersama mama yang sedang asik menonton film. Gue memilah majalah luar negeri yang mama punya dan melihat minyak wangi incaran gue sebentar lagi akan launching dua bulan kedepan. Minyak wangi Joy buatan Jean Patou ini hanya dibuat 50 buah botol setahun sekali, sialnya tiap kali gue akan ikut membeli selalu kalah cepat dari mereka yang ada dinegaranya.
Dengan sengaja gue berucap, meminta sekaligus memancing apakah bulan depan gue akan mendapatkan paket minyak wangi ini. Gue licik sekali ya. Hehe, biarlah sesekali gue harus memanfaatkan kebucinan orang yang menyukai gue.
"Ma, aku pengen beli minyak wangi Joy yang hanya ada 50 buah dalam setahun. Mintain uang ke ayah donk, biar nanti kita bagi dua."
"Minta sendiri saja, mama sedang malas dengan papa kamu. Mama sedang hamil muda malah dianggurin terus, bosen banget ka. Ini mama jadi pengin ikut arisan sosialita lagi aja kaya dulud deh" rengek mamah.
Ah, sudahlah. Mama dalam mode manja sangat gue jauhi, sebab mama sedang sangat sensitif sekali dengan ucapan walau perkataan gue tidak ada unsur sindir menyindir atau menegur. Tetap saja, gue malas mendengar keluhan mama tentang papa yang sedang sibuk rapat tentang launching barang otomotif dan festival yang akan diselenggarakannya.
.
.
.
.
Gue dan teman super julidan berjalan menuju kantin. Dan dengan kurang ajarnya Abi manruh lengannya diatas kepala gue dan kampretnya ketika menoleh muka gue langsung ketemu ketek Abi yang tinggi 178 cm sedang gue hanya 153 cm, kebayangkan?.
Dengan berngas gue turunkan tangan kekar Abi dan mengigitnya kesal. Sumpah kalau nggak Abi pasti Salma dan yang kampret adalah Farrel, karena lebih sering melakukan itu kepada gue. Malah terkadang dia akan meloncat dari balik punggung gue dengan kedua tangan di kedua pundak gue. Sumpah ketika hal itu terjadi gue pasti akan selalu terdorong kedepan dan berakhir dipeluk oleh Abi agar tidak terjatuh keatas lantai kampus.
Kampret sekalikan. Ketiga teman gue tingginya diatas 170 cm semua, dan gue yang paling pendek disini. Jadi gue selalu dimanfaatkan sebagai benda sandara lengan yang pas. Gue di nistakan ketiganya dengan parah. Dan selalu gue gigit ganas sampai memerah lengan mereka seperti sekarang ini.
"Sialan! Sakit Ra. Ganas banget udah kaya ikan piranha dah."
"Makannya Ra. Berenang sana biar tinggi."Ucap Farrel yang malah ikut-ikutan menaruh lengannya diatas kepala gue ketika gue masih mencubit Abi yang malah meringis main-main.
Segera gue jambak rambut mili Farrel yang segera meminta ampun sama gue. Walau ketek keduanya nggak bau, tetep aja pasti terasa aneh dan merujuk menjijikan bukan. Apa kabar rambut gue ya tuhan.
"Halah, berenang, berenang. Kata bintang dilangit juga, ubur-ubur yang berenang dilaut aja nggak tinggi, yang ada lembek iya!!. Jadi jangan bacot lu!."
"Ahoyyy.. Kenapa nih kucing garong ngamuk?."
Tau-tau Salma muncul dihadapan gue sambil membawa tas leptopnya dengan wajah bodoh Salma tersenyum menatap kita, dia selalu begitu. Tersenyum everywhere. Dan kadang senyumnya kelihatan menyeramkan apalagi kalau dia sudah membenci sesuatu dia akan tersenyum untuk membalas.
Sampai sekelompok cewek datang dari arah belakang Salma berjalan menuju kearah kami berrempat dengan sengaja menabrak punggu Salma dan segera ditahan oleh Farrel sebelum tubuhnya limbung.
"Aduhhhh!! Ada rombongan bocah, burulah bre kita ke kamar mandi buat basuh tujuh kali dari najis yang sudah bersentuhan." Sarkas Abi yang kesal.
"Maksud lo apaan bilang gue najis?." Tasya menunjuk sambil mendekat kearah kami.
"Awas anjir, entar kulit gue merah-merah nyentuh nenek sihir!!." Itu suara hiperbola milik Farrel yang mengusap kedua lengannya berlebihan.
"Oh, lo tersindir gitu?. Udah jalan ke kantin aja, kalau sampe buat perkara lagi. Pulang kerumah lu bakalan nangis."Ancam Abi kemudian langsung berbalik dan mendorong punggung gue untuk segera jalan.
Dan gue melihat sekilas wajah angkuhnya memucat mendengar ancaman bohong Abi.
Kami meninggalkan Tasya dan tiga temannya yang sengaja membuat keributan dengan kita. Dia memang sudah tidak menyukai gue dan Salma sejak cowok yang dia suka malah mepetin gue dan jadian sama Salma si fakgirl cap kucing. Dan gue jadi bulan-bulanan pas memutuskan pertunangan dengan Gibran, banyak isu berseliweran kejam tapi untungnya segera hilang dengan cepat.
.
.
.
.
"Whuttts! Ada mantan tidak bisa move on tuh disana lagi ngomong sama adik tingkat. Serius banget mukanya itu,"
"Manaan? Aihhh sia. Beneran atuh itu, si brengsek cap kadal pada akhirnya menyesali. Iya kan ciyyy?."
"Berisik banget dah kalian, udah makan aja."
Gue berujar kesal dengan tingkah Abi dan Farrel yang heboh melihat Gibran yang sudah lulus malah ada dikampus, gue saja yang tau dia ada disini biasa saja. Bohong sih, hehe. Sedari tadi jantung gue berdebar, terkejut karena ketika jalan menuju kursi kantin ada Gibran disana, untungnya jantung gue dipegangi paru-paru jadi nggak copot.
"Ra, beli novel yuk. Mumpung lagi ada promo, lumayanlah beli lima novel."
"Loh, bukannya kita ada kelas?."
"Kagak, pak Marley nggak masuk hari ini, jadi kita bebas-."Jawab Farrel sambil mengunyah.
"Telen dulu anjir, baru ngomong. Ampe mincrat tuh,"Salma sewot mengintrupsi ucapan Farrel.
"Ih, tau gitu gue mau jalan sama bang Daniel aja deh. Mau hubungin dulu deh, kasian digantung gegara kira ada kelas sekarang."
"Apalah aku yang jomblo ini, hanya dapat menonton keuwuan ini." Salma mencebik ketika gue mengambil hp dan mengabari bang Daniel dan segera dijawab OK, ia akan segera OTW katanya.
Garcep sekali bang Daniel ini, apa ia tidak sibuk sampai bisa jalan dengan gue hari ini. gue jadi deg-degan ini, segera gue ambil kaca didalam tas dan mengaca. Oke, gue masih perfect jadi tidak begitu memalukan.
"NGACA TEROSSSS, Tatap tuh kaca sampe pecah!!." Ini Farrel, terus saja.
Mereka ini jadi sering sewot sjak bang Daniel jemput gue pulang kampus, apalagi ini untuk kesekian kalinya. Uh, memang sih waktu gue bersama mereka jadi berkurang banget. Tapi tumben, Abi nggak ikut ribut, biasanya kan gempar banget udah kaya ada gempa bumi.
Sampai setengah jam kemudian gue dikagetkan dengan suara terkesima yang membuat kami berempat mendongak dan menatap kearah pintu masuk kantin. Aih, malaikat turun dari mana itu, cakep bangetd dah itu cowok.
Gue berdiri dengan wajah secerah matahari pagi dan mendekati abng Daniel kemudian memeluknya, OMG MAMA. Wangi banget dah, minyak wangi gue jadi malu untuk mengeluarkan harumnya inimah. Mau deket-deket bang Daniel aja deh biar wanginya kebagian hehe.
"Cepet banget abang dateng." Masih dengan memeluk pinggang abang, gue mengajak abang mendekat kearah sahabat-sahabat gue untuk pamit.
"Iya, abang emang sengaja kosongin Schedule sore ini. Takut-takut kamu nerima ajakan abang."
Begitu jelas abang, gue pamit dan melihat wajah ketiganya keruh banget udah kaya air kali kali ciliwung. Mereka masih formalitas menyapa abang tapi tidak ramah, uh mereka bertiga sepertinya merasa dinomor duakan oleh gue deh. Sudahlah, gue mau menyembuhkan dan melupakan masa lalu dulu dengan bantuan bang Daniel. Apalagi ada mantan disana, sekalian lah di buat panas biar kebakaran tapi nggak ada pemadamnya. Mampus deh.