Sudah tiga bulan berlalu, tentu saja Ella masih meneruskan hidupnya. Dia masih terus berusaha untuk tegar dan kuat, seolah-olah dirinya tidak apa-apa.
Calvin, sesuai dengan ucapannya jika dia benar-benar sudah pindah ke London. Dan kembali bekerja dengan ayahnya - Aaron Prime.
Jujur saja Ella masih tidak percaya dengan keputusan sahabatnya, tapi melihat keadaan Calvin yang tampak baik. Menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah masalah besar.
Hari minggu itu Ella menghabiskan waktu dengan Calvin untuk menonton bersama, sebuah film dengan genre drama komedi menjadi pilhan mereka.
Luna tentunya tidak bersama dengan mereka, dia sedang menghabiskan waktu bersama dengan Barnard di toko buku.
"Kau terlihat sangat sibuk, Luna? Sayang sekali kau tidak bisa ikut bersama kami disini," Ucap Ella pada layar ponselnya, ia sedang melakukan video call dengan Luna.
Ella menyenderkan ponselnya pada tas merah kecil yang ia letakkan di atas meja sebagai senderan.
"Yahh.. seperti yang kalian lihat. Barnard, sedang melakukan obral besar." Luna mulai merapikan poni barunya,
"Kudengar dia ingin pensiun, itu yang selalu ia teriakkan belakangan ini." Ucap Luna dengan suara yang amat pelan.
"Asal kalian tahu saja ya, kencan yang kemarin ia lakukan bersama dengan wanita yang baru saja ia kenal, sepertinya gagal total. Mungkin karena itu dia menjadi stress, dan mengatakan ingin pensiun dini." Bisik Luna.
Dibelakang Luna terlihat Barnard yang sedang mondar mandir, dia memperhatikan Luna yang terlihat lenggang.
"Aku berharap kau bisa berada disini. Kami merindukanmu, Luna," kata Ella dan mengganti posisi layar ponselnya, wajah Calvin terus mengikuti kemana ponsel Ella berada.
"Hmmm... aku harap itu benar." Luna menyeringai. "Dan kalian berdua! Asal kalian tahu, kalian sudah berhasil membuatku menjadi cemburu," Lanjut Luna.
"Maksudmu?" Ella mengernyitkan dahinya dengan bingung. Sedangkan mata Calvin semakin melebar dengan kaget.
"Jadi kau belum tau, Ell...?" Tanya Luna
"Luna..!" Pekik Calvin tiba-tiba saja dan meraih posel Ella, ia langsung saja menatap kesal pada layar ponselnya. Ella hanya bisa menatap denga curiga atas sikap Calvin.
"Luna..! Kau harus segera bekerja, bukan? Pasti Barnard butuh bantuanmu saat ini."
"Hmmm... kenapa kau menjadi sangat panik, Calv?" ejek Luna dengan senyuman licik yang diperlihatkan.
"Baiklah, sampai jumpa lagi Luna. Aku harap minggu depan kita bisa bertemu." Jawab Calvin dan dengan segera mematikan video call lalu meletakkan kembali ponsel Ella diatas meja.
"Ada apa dengan kau sih, Calv? kau tidak sedang mabuk, kan? Padahal kita tidak sedang minum?" Ella mengambil perlahan ponselnya dengan wajah anehnya. Menatap curiga pada Calvin yang sedang memijat-mijat punuk lehernya.
"Ella, apa kau sudah selesai dengan makanmu?" Tanya Calvin tiba-tiba.
"Hahh? Selesai?" Ella yang bingung menatap sepiring kentang goreng yang masih penuh dihadapannya, dan setengah gelas Cola yang masih tersisa.
"Sudah malam bukan, ayo kita pulang. Ingat hari ini kan kau tidak membawa kendaraanmu. Aku akan mengantarmu pulang."
"Mmm... Ok..."
Perjalanan pulang mereka, diisi dengan pembicaraan ringan. Mulai dari film yang mereka tonton, dan juga membicarakan Luna yang masih bertahan di toko buku milik Barnard.
"Ella..?" panggil Calvin, matanya masih menatap ke arah jalan yang panjang dengan sudut cahaya yang tidak terlalu terang.
"Mmm... ya?"
"Apa kau tidak akan mempertimbangkan kembali untuk pindah ke apartemenmu yang lama?" tanya Calvin dengan ragu.
Ella langsung saja menatap ke arah Calvin, walaupun pria itu hanya membalas dengan sedikit menoleh.
"Apa perlu kita membahas ini lagi, Calv?"
"Ella, kau bisa menggugat cerai Alfred. Dia sudah meninggalkanmu untuk waktu yang lama. Dan itu sudah menjadi bukti kuat untuk kau bawa pada pengadilan" Calvin mencoba memberikan penjelasan.
"Kau sama saja sepertinya? Apakah cerai adalah jalan satu-satunya?" Balas Ella kesal. "Alan selalu mengatakan hal itu. Sudah kukatakan..."
"Ella, kali ini aku setuju dengan ayahmu. Dia benar, kau tidak perlu seperti ini. Sampai kapan kau akan menunggu Alfred?"
"Calvin, beri aku kesempatan. Tidak lama, sampai aku bisa mendapatkan penjelasan dari Alfred."
"Tapi Ella... Sampai kapan kau akan seperti ini? Keputusanmu ini tidak bisa masuk diakal!"
"Calvin... Sejak kapan kau tidak percaya dengan KEPUTUSANKU!" Bantah Ella lebih keras.
"SEJAK AKU TAHU DAN SADAR KALAU....."
Calvin mengerem dan memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba. Ella cukup terkejut dengan suara Calvin yang lebih lantang dari dirinya.
Calvin tidak meneruskan pembicaraannya, ia menggerakkan wajahnya perlahan dari arah depan menuju wajah Ella.
Dia segera menutup mulutnya, sadar dirinya sudah sedikit keterlaluan saat ini. Karena ini bukan waktunya untuk dia dan Ella berdebat ataupun bertengkar.
"Maafkan aku, Ella." Ucap Calvin pelan, dan mulai menjalankan mobilnya kembali.
Hal berikutnya yang terjadi adalah kesunyian, mereka berdua saling diam dan sudah bisa menahan emosi mereka. Ella merasa, hal sensitifnya sudah mulai diganggu. Meskipun niat Calvin agar bisa melindunginya.
Sisa perjalanan mereka hanya memakan waktu sepuluh menit, namun tetap dalam kondisi diam. Sehingga perjalanan itu terasa lama, seperti memakan satu jam untuk bisa pulang.
Mobil hitam itu terhenti disebuah kediaman besar milik Keluarga Lewis, Ella langsung saja turun dan semakin merapatkan mantel cokelatnya. Dia hanya sedikit berucap kepada Calvin, meskipun hanya terdengar suara terimakasih yang lirih terdengar dari mulut Ella.
Penjaga gerbang dengan sopan menyapa dan membukakan pintu. Ella langsung saja masuk, tanpa menengok ke belakang - ke arah Calvin. Mobil milik temannya masih terpakir di depan gerbang kediaman Lewis.
Beatrix, sang kepala pelayan yang sudah berusia setengah abad itu, berdiri dalam kegelapan. Mengagetkan Ella yang baru saja tiba di ruang utama keluarga Lewis.
"Anda sudah pulang, Nyonya Ella?" Pertanyaan Beatrix lebih terdengar sindiran bagi Ella, ia merasa seperti sedang tertangkap basah karena sudah melakukan kejahatan.
"Apa yang sedang kau lakukan disini, Beatrix? Ini sudah larut malam, sebaiknya kau berisitirahat."
Ella tidak menghimbaukan pertanyaan Beatrix, terlihat wajah Beatrix tanpa ekspresi memandangi wajah Ella yang memberikan nasihat untuknya.
"Apa ingin aku buatkan makan malam?" Tanya Beatrix kembali. Ella sedikit kesal dengan Beatrix yang acuh dengan pernyataannya.
"Tidak perlu, terimakasih. Aku akan naik ke atas untuk beristirahat," jawab Ella berjalan melewati Beatrix yang tertunduk sopan.
Baru beberapa langkah menaiki anak tangga, Ella bisa mendengar perkataam dari kepala pelayan tersebut.
"Mulai sekarang, kau harus memperhatikan jam pulang malammu, Nyonya Ella."
"Apa kau bilang?" Ella menghentikan langkahnya, kembali menoleh ke arah tempat tadi Beatrix berdiri, sayangnya kepala pelayan itu sudah menghilang, lebih cepat dari dugaan Ella.
Ella mengehela napas dengan kesal, sedikit tidak suka dengan sikap Beatrix malam ini. Pintu kamarnya sudah terlihat, Ella semakin mempercepat langkahnya sampai akhirnya ia bisa menyentuh gagang pintu kamarnya yang terasa dingin.
Perlahan ia membuka pintu kamarnya, memperhatikan kamarnya yang gelap karena lampu yang belum ia nyalakan.
"Mmmm... Rasanya lelah sekali," gumam Ella sambil berjalan.
Biasanya kamar Ella selalu dibiarkan terang, tapi malam ini bahkan tirai jendelanya tertutup rapat. Apakah Beatrix yang mematikan lampu di kamarnya?
Ella melempar asal tasnya ke atas tempat tidur, dan membuka mantel cokelat yang sengaja ia biarkan terjatuh diatas lantai.
Ella tidak langsung menyalakan lampu kamarnya, usai melucuti pakaian luarnya, ia langsung saja menuju kamar mandi kecil yang berada di sudut kamar.
Mulai membersihkan dirinya, dan mengganti pakaiannya dengan mantel handuk yang sudah ia kenakan. Kali ini Ia sedang membersihkan giginya dengan sikat gigi otomatisnya.
Duduk di tepi bathup, tangan kirinya menggenggam ponselnya. Membaca beberapa jadwal kerjanya dengan cermat, bahkan mengecek beberapa pesan yang masuk.
***
Beberapa saat sebelumnya.
"Jadi apa dia sudah tertidur?"
"Nyonya Vivian baru saja tertidur, dia terlihat sangat pulas. Sepertinya perjalanan yang panjang, sidah cukup membuatnya lelah." Jawab Beatrix dengan sopan. Tapi ia tidak bisa membohongi keceriaannya, ketika melihat wajah pria yang ada dihadapannya duduk dengan sigap.
"Sudah cukup lama anda pergi, saya yakin anda pun lelah hari ini. Apa ingin saya buatkan secangkir cokelat panas untuk anda?" Beatrix menawarkan dengan nada yang teramat sopan.
"Terimakasih, tapi tidak Beatrix. Apakah dia selalu pulang selarut ini?" Tanya pria itu, tanpa bergeming dari sikap duduk sigapnya.
"Nyonya Ella? Ya, hampir setiap malam dia selalu pulang malam. Tapi malam ini ada seorang pria yang mengajaknya keluar. Pria itu yang juga hadir dan menginap di hari pernikahan anda, Tuan."
Alfred mengetukkan jari jemarinya, tidak ada senyuman yang terpasang diwajahnya. Setelah sang kepala pelayan pergi, Alfred masih saja duduk. Berpikir, dan entah apa yang sedang ia pikirkan.
Tidak lama ia pun berdiri, mulai menaiki anak tangga dan berjalan ke arah kamarnya.
Tidak.. itu bukan lagi kamarnya, melainkan kamarnya dan Ella.
Gagang pintu terbuka dengan perlahan, dan matanya mulai mengamati. Tidak ada perubahan yang terjadi pada kamarnya, justru penambahan di beberapa sudut kamarnya dengan banyak peralatan milik wanita.
Alfred berjalan pelan, menatapi sederet peralatan rias milik Ella. Dan juga sederet parfum yang diletakkan dengan susunan yang rapi.
Tidak hanya itu saja, Alfred mulai berjalan kearah lemari pakaiannya. Dan menatap isi lemari bajunya kini penuh dengan pakaian milik Ella. Alfred hanya memandang dengan sebentar, tidak lama ia mulai menutup lemari tersebut.
Sebuah majalah yang berada disudut tempat tidur, membuatnya menjadi tertarik untuk memeriksanya. Ia pun bisa melihat diantara majalah tersebut, ada wajah Ella yang terpapang dengan istrinya yang menjadi seorang model.
Alfred mulai mengamati dan mulai membuka setiap halaman. Alfred menarik kursi dekat dengan sisi tempat tidur yang memiliki tirai merah jambu yang menjutai panjang. Dia duduk dengan santai dan masih memperhatikan wajah Ella pada majalah tersebut.
Cukup lama Alfred terdiam memandangi jendela. Disisi lain, ia bisa melihat dari kejauhan sosok wanita yang baru saja tiba di pintu gerbang.
Alfred sedikit mengeryitkan dahinya, tidak bisa menggambarkan apakah itu tanda ia sedang senang ataupun kesal.
Dengan segera Alfred mematikan lampu kamar, dan duduk di sisi tempat tidur. Posisi yang pas dengan tirai tempat tidur yang tertutup sebagian, membuat pandangan Ella tidak akan melihatnya secara langsung dalam gelap.
Samar-samar Alfred mendengar suara Ella dan Beatrix yang sedang berbincang, tidak lama derap langkah kaki yang pelan dan kecil semakin mendekat ke arah pintu kamar.
Dan benar saja, tidak lama Alfred bisa melihat sedikit cahaya luar masuk ke dalam kamar tersebut. Ella masih tidak sadar dengan kehadirannya.
Tapi Alfred bisa melihat jelas Ella yang sedang berdiri di sisilain yang berseberangan dengan dirinya.
Alfred melihat Ella melempar tas dan melepas mantelnya, wanita itu memakai blouse putih lengan panjang, dengan bagian leher yang membentuk huruf V yang amat dalam. Dipadupadankan dengan celana cokelat gelap yang panjang.
Ella mulai melepaskan blouse dan celananya, tersisa pakaian dalam yang masih ia kenakan. Mata Alfred mulai menatap dengan liar, tapi mulutnya masih ia tutup dengan rapat. Menunggu waktu yang tepat, agar dia bisa memberitahukan keberadaannya kepada Ella.
Tapi Ella masuk kedalam kamar mandi, Dan Alfed masih belum bergeming dari posisinya.
Tidak lama Alfred harus menunggu ketika dia melihat Ella sudah keluar dengan handuk mantelnya, bahkan ada handuk kecil yang menempel pada rambut basahnya.
Ella mulai berjalan ke arah lemarinya, cahaya dari ruang kamar mandi membuat suasana kamar menjadi sedikit lebih terang. Ella mulai mencari-cari pakaiannya, sampai akhirnya ia menemukan satu stel pakaian tidurnya.
Baru saja ia ingin membuka mantel handuknya yang masih tersemat pada tubuhnya. Terdengar suara derit kursi, mengejutkan dan membuatnya langsung membalikkan badannya dengan cepat.
"SIAPA?!"
Dalam pencahayaan yang kurang, Ella sangat yakin bisa melihat sosok pria yang sedang duduk bersebelahan dengan sisi tempat tidurnya. Dan sudah mengamatinya cukup lama.
"Apa kau sudah melupakanku, Ella?" Jawab Alfred dengan suarah pelan dan berat.
Ella langung saja berlari ke arah pintu, karena disekitar pintu masuk ia bisa menemukan tombol lampu. Berjaga-jaga agar dia bisa keluar dari kamarnya, siapa tahu ada penjahat yang sudah bersembunyi cukup lama di kamarnya - itu yang dipikirkan oleh Ella.
Seketika cahaya langsung memenuhi isi kamar. Ella memegang erat mantel handuknya, dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Hah? Alfred?!"
Alfred sudah berdiri dan berjalan mendekat ke arah Ella, ada sebuah senyum kecil yang ia tunjukkan. Tapi Ella bisa merasakan, sosok yang berbeda dari Alfred yang ia kenal.
"Apa kau merindukanku, Ella?"
Sudah tidak ada jarak antara Alfed dan Ella, tangannya menyentuh beberapa helai rambut Ella yang tercuat keluar dari handuk kecil yang ia kenakan.
Ella masih membelalak, tatapannya masih tidak percaya dengan apa yang ada dihadapannya. Pria itu justru sangat bersikap tenang, seolah-olah baru beberapa jam ia meninggalkan Ella.