Kedua mata itu saling memandang, tidak ada sapaan manis yang terdengar dari mulut mereka masing-masing.
Jari jemari Alfred menyentuh beberapa helaian rambut Ella yang mencuat dari handuk kecil yang berada di atas kepalanya.
Jari Alfred semakin pandai mengamati sisi wajah Ella dan mulai turun ke arah pelipis kanan Ella, lalu turun lagi untuk menyentuh pipi.
Dan terhenti di bibir Ella yang tertutup rapat, walaupun ia bisa merasakan bibir Ella yang sedikit bergetar karena kejutan yang ada dihadapannya.
Ella menatap Alfred dengan gundah, entah mengapa ada perasaan tidak nyaman melihat Alfred yang saat ini berada di depannya. Tidak ada wajah ramah yang terpancar, sebuah wajah dingin dan penuh dengan misteri.
Ella sangat bisa merasakan bibirnya menjadi sangat kaku ketika jari Alfred terhenti dan memegangi dengan penasaran.
Alfred masih memandangi bagian wajah Ella, Ada sebuah senyum kecil yang diberikan oleh Alfred. Lalu dia kembali bermain dengan jari jemarinya.
Setelah puas memeriksa bagian wajah Ella, kali ini jari jemari itu mulai turun dari bagian leher Ella kemudian menuju pundak Ella.
Dengan pelan dan sengaja Alfred menurunkan mantel handuk yang Ella kenakan pada saat itu, bagian dada Ella kali ini sedikit terbuka.
Ella sadar, Alfred sedang bermain-main dengan dirinya. Sebelum pria itu bertindak terlalu jauh, Ella sudah memegangi tangan Alfred yang sudah ingin lebih liar melakukan tindakan lebih.
Ella menggenggam tangan Alfred, dan menghempasnya dengan amat kasar.
"ALFRED!!" Pekik Ella kesal.
"Hhh..!. Kupikir kau akan senang dengan kehadiranku. Bahkan aku mengharapkan ada sambutan meriah dari istriku."
Alfred memegangi pergelangan tangannya, dia lupa bahwa Ella bukanlah gadis yang lemah. Remasan Ella yang teramat kuat, cukup membuktikan rasa kekesalan pada dirinya.
"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu, Alfred? Setelah apa yang kau lakukan? Dan tiba-tiba kau muncul, seakan-akan tidak terjadi apapun diantara kita."
"Hmm... menarik... Sangat menarik." Alfred berdecak kagum, kedua tangannya mulai membentengi Ella yang sedang tersudut di sisi dinding kamar yang dingin.
"Memang apa yang ingin kau harapkan, Ella? Kejadian seperti apa yang kau maksud? Apa maksudmu sebagai sepasang suami istri."
Alfred semakin menyeringai. Bibir Ella bergetar, dia masih mencoba menahan emosinya yang sudah memuncak.
"Kau ingin kita melakukannya sekarang, kau ingin kita bercinta, Ella?" Tantang Alfred dengan semakin mendekatkan wajahnya, dan mencoba untuk mencium paksa Ella.
Alfred mencumbu bibir Ella dengan amat kuat dan kasar, Ella bahkan merasa muak dengan apa yang dilakukan oleh suaminya.
Semakin kuat Ella mencoba untuk terlepas dari cumbuan Alfred, pria itu semakin menjadi liar.
Ella pun dengan sekuat tenaga langsung saja mendorong tubuh Alfred, dan sepertinya pria itu dengan sengaja membiarkan dirinya sedikit terdorong.
Ella menyeka bibirnya langsung, "Kau gila, Alfred!!!" Ucap Ella lantang dan kesal.
Sedangkan Alfred puas dengan apa yang dilakukannya. Ia membuka beberapa kancing kemejanya, membiarkan beberapa rambutnya menjadi acak serta merta melakukan peregangan pada lehernya.
"Terimakasih untuk pujianmu." Balas Alfred. Ia pun berjalan menghindari Ella, tangannya sudah memegangi gagang pintu kamar.
Sampai ucapan Ella membuat langkahnya terhenti.
"Apa maumu, Alfred?!!"
"Sudahlah Ella, ini sudah terlalu larut malam untuk kita mulai berdebat." Lirik Alfred, dan melihat wajah Ella yang tidak puas dengan jawabannya. "Yeahh... kecuali kau menginginkan hal lebih malam ini." Lanjut Alfred.
Alfred sudah menghilang dari balik pintu, Ella langsung terperosot dan duduk bersimpuh di ruang kamar yang kembali menjadi sunyi.
Melepaskan handuk kecilnya, rambut panjangnya yang masih basah terjuntai lemas diantara bahu dan punggungnya.
Ella memeluk kedua kakinya, matanya kembali berkaca-kaca. Ia bisa merasa seperti ada lubang hitam yang tersemat didalam dadanya. Membuat sesak dan mulai muncul rasa tidak nyaman.
Tidak ada suara tangisan yang keluar, tapi mengapa air mata itu terus mengalir. Harusnya ia bisa senang melihat Alfred-suaminya sudah pulang. Tapi mengapa yang ia lihat sekarang, justru sangat berbeda.
Alfred tampak seperti orang lain, dan bukan hal ini yang Ella harapkan.
Ditambah perlakuannya barusan, ia merasa seperti bukan menjadi istrinya. Ella kembali menyeka air matanya, dalam pikirannya ia terus bertanya pada dirinya sendiri.
Apa yang harus dia lakukan saat ini?
***
Malam itu Ella tidak bisa tidur dengan nyenyak, bahkan ia bangun terlalu pagi. Setelah merapikan diri, ia sudah bersiap-siap untuk mulai bekerja. Ia sudah berjanji pada dirinya agar tidak terlihat lemah dihadapan Alfred.
Ella menata rambutnya dengan amat rapi, kuncir satu menjadi pilihanya ditambah dengan anting mutiara putih. Ella mengenakan mantel hitamnya yang panjang, dan ia bisa mendengar suara ketukan pintu yang berirama.
"Pagi Nyonya Ella, Tuan Alfred sudah menunggu anda dibawah untuk sarapan pagi anda." Ucap Beatrix ramah, ketika wajah Ella sudah muncul dari balik pintu.
"Katakan padanya aku akan melewatkan sarapanku, aku sedang terburu-buru." Ucap Ella berbohong.
"Maaf Nyonya, saya yakin jika tuan tidak akan senang dengan jawaban anda. Tapi kalau anda bersikeras, lebih baik anda sendiri yang mengatakan langsung kepada Tuan Alfred." Jelas Beatrix, ia pun langsung membalikkan badannya.
Ella langsung mengambil tasnya, langkah cepatnya sudah membawa dia menuruni anak tangga. Ella sudah menatap pintu utama, sampai akhirnya ia sedikit bimbang dengan keputusannya sendiri.
"Mungkin ada benarnya ucapan Beatrix, aku harus berbicara langsung pada Alfred. Banyak pertanyaan yang masih ada dipikiranku saat ini." Batin Ella.
Langkah Ella pun berubah menuju ruang makan, ruang makan luas dengan banyak hiasan dengan ukiran bergaya eropa. Tapi kali ini ada yang membuatnya menjadi penasaran.
Alfred tidak sedang duduk sendiri, dihadapannya ada seorang wanita yang sedang duduk menikmati semangkuk sup ayam yang masih hangat.
Bahkan Ella bisa melihat ekspresi wajah Alfred yang berbeda, sebuah senyum ramah yang pernah ada jauh sebelum mereka menikah.
"Ella, kau sudah tiba. Silahkan pilih kursimu." Pinta Alfred dengan sopan.
"Ada seseorang yang ingin kuperkenalkan kepadamu." Alfred melipat kedua tangannya.
"Alfred apa maksudmu?" Tanya Ella bingung,
"Duduklah." Perintah Alfred kembali dan masih dengan nada yang sopan, dan Ella memilih untuk tidak bersebelahan dengan Alfred. Ia pun memilih untuk bersebelahan dengan wanita yang masih mengamati sup ayamnya.
Jarak Ella dan wanita tersebut hanya terpisahkan dengan satu bangku.
"Ella perkenalkan, ini ibuku Vivian, dan Ibu... perkenalkan ini Ella istriku."
"Apa, ibumu?" ucap Ella melihat kepada seorang wanita yang tersenyum lebar ke arahnya.
***
Ruang Kerja Thomas Huxley.
"Edward, bukankah bulan depan sudah waktunya?" Ucap Thomas Huxley dari balik tumpukan laporan kerja yang menggunung di atas meja kerjanya.
Banyak laporan yang harus ia tandatangani saat itu, dari balik kaca matanya yang tebal Thomas tidak memandang putranya yang sedang duduk bersebrangan di meja kerjanya.
Edward mengambil beberapa laporan kerja milik ayahnya, membuka beberapa lembar dan mulai mengamati.
"Edward..?" Ucap Thomas, kali ini ia menatap putranya.
"Hmm...?" Jawab Edward malas. Dan Thomas semakin menegakkan tubuhnya, dan mulai melipat kedua tangannya.
"Edward, bagaimanapun Abigail adalah putra dari Alan Smith. Kau harus memperlakukannya dengan baik." Thomas sudah memulai ceramahnya, sedangkan Edward masih sibuk dengan beberapa laporan ditangannya.
"Aku memperlakukannya dengan sangat baik, asal ayah tahu." Jawab Edward singkat.
"Baik? Dengan rencana peceraianmu setelah Abigail menikah?" Suara Thomas sedikit meninggi, dan Edward mulai kesal dan meletakkan laporan kerja di atas meja dengan bunyi "bug.." yang berat.
"Kita tidak perlu mulai berdebat lagi mengenai ini, aku yakin Alan Smith bisa paham mengenai perceraian antara aku dan Abigail. Karena dia juga tau bagaimana rasanya, jika hidup bersama dengan orang yang tidak kita cintai."
"Dan saat ini, seharusnya bukan aku yang harus ayah khawatirkan." Edward mulai memicingkan matanya, tidak ada senyuman yang ia berikan pada ayahnya sendiri.
"Apa maksudmu, Edward?"
"Menurut informanku, Paman Wade sudah tiba di London. Dan apa ayah tahu siapa orang yang pertama kali ia temui?" Perkataan Edward membuat Thomas penasaran, dan masih menyimak dengan serius.
"Paman Wade menemui Marioline - mertuaku - besan ayah..." Edward berhenti sebentar dari ucapannya hanya untuk melihat reaksi dari wajah ayahnya yang cukup terkejut.
"Untuk apa mertuaku, menemui pamanku sendiri. Jadi aku harap ayah bisa berhati-hati. Ayah pasti sudah tahu bukan mengenai pembagian aset milik Keluarga Smith ketika mereka bercerai. Dan bagaimana mertuaku mendapat bagian yang cukup besar."
Thomas masih tampak mencerna semua perkataan Edward, dan tiba-tiba saja terdengar suara ponsel. Edward meraba-raba saku kemejanya. Mengamati layar ponselnya, dan melihat sebuah nama yang tidak asing baginya.
"Maaf, aku harus permisi." Ucap Edward, mulai bangkit dari duduknya dan menuju pintu luar dari ruang kerja ayahnya.
"Ya.....? Bagaimana?"
"Alfred..?" Suara Edward cukup kencang saat mengucapkan nama tersebut, dia melirik pintu ruang kerja ayahnya yang masih tertutup. Dan merasa lega, Thomas tidak mengetahui percakapan teleponnya.
"Apa kau yakin dia sudah kembali? Hmmm... Baiklah... Berikan terus laporanmu kepadaku."
***
Taman - Kediaman Keluarga Lewis.
"Ahh.. dia wanita yang sangat cantik Alfred, kau sangat beruntung bisa menikah dengannya." Vivian mengelus pipi Ella, mengupingkan beberapa rambut Ella. Bahkan Vivian tidak ragu memegangi tangan Ella dengan erat.
"Ya ibu, karena itu aku menikah dengannya dan memperkenalkannya padamu. Aku yakin Ella, bisa menjadi anak perempuan ibu yang baik." Jawab Alfred, dan Ella hanya bisa memberikan senyuman hambar yang membingungkan.
"Dimana John? Kenapa dia belum kembali ke rumah?" Tanya Vivian yang tiba-tiba teringat dengan putra yang lainnya.
"Ibu, bukankah John sudah berkunjung pekan lalu." Alfred memberikan penjelasan, dan Ella menatap dengan semakin bingung.
"Tunggu... John sudah menemui Vivian? Pekan lalu? Apa berarti John sudah bertemu dengan Alfred sebelumnya?" Batin Ella merasa kesal dengan fakta lainnya
"John harus kembali ke Los Anggeles, dia berjanji akan berkunjung minggu depan untuk bertemu denganmu." Lanjut Alfred.
"Yah... aku ingat... Ohh... Alfred... ibu sungguh pelupa... apa karena ibu masih sakit?" Tiba-tiba saja ekspresi Vivian menjadi panik dan terlihat wajahnya menunjukkan rasa takut bersamaan.
Beatrix muncul membawa senampan teh dengan cemilan ringan pagi itu, mereka bertiga sedang berada di taman kecil. Pagi itu cukup cerah untuk mereka, usai sarapan pagi Alfred membawa Vivian ibunya dan Ella ke taman bunga yang berada di belakang mansion.
"Kau tidak sakit, bu. Kau hanya butuh beristirahat." Alfred mulai menenangkan. Tapi tampaknya Vivian tidak begitu peduli dengan perhatian Alfred.
"Carlton... dimana dia? Dimana suamiku..?!"
Vivian mulai mengguncang tubuh Alfred, dengan amat keras Vivian mulai berteriak kesal.
"Kembalikan suamiku!" Ucap Vivian. Alfred mulai menyentuh wajah Vivian dengan sedih.
"Ibu... tenanglah..."
"Kau... Kau mirip dengan Carlton... Kau... apa kau suamiku?.... TIDAK! KAU BUKAN SUAMIKU!!"
"KEMBALIKAN SUAMIKU...!!!"
Vivian mulai bersikap lebih brutal, Vivian dan Alfred sudah dalam posisi berdiri. Alfred masih terus memegangi ibunya, sedangkan Ella masih menjaga jarak dari mereka berdua. Bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Beatrix, tolong pegangi ibuku! Dan ajak dia kekamarnya untuk beristirahat. Berikan dosis yang sudah ku buat untuknya." Ucap Alfred dengan lantang.
Beatrix dengan sigap langsung memegangi Vivian yang sudah mulai mengendurkan cengkraman tangannya dari kemeja Alfred.
"Nyonya Vivian, mari ikut saya." Ucap Beatrix dengan sopan.
"Tenanglah nyonya, saya tidak akan menyakiti anda." Vivian menatap wajah Beatrix, dan ketegangan diwajahnya sudah mulai mengendur. Mereka berdua pun perlahan menghilang, dan sudah masuk kedalam bagian rumah.
Ella masih menjaga jarak dari Alfred, walaupun langkah Alfred mulai mendekatinya perlahan.
"Alfred, apa maksudmu? Kenapa kau sampai membatalkan jadwal kerjaku? Apa hanya untuk melihat semua ini?"
Alfred tidak peduli dengan keluhan Ella, ia justru semakin dekat menatap wajah Ella.
"Aku ingin kau menebus kesalahan dan dosa ibumu." Ucap Alfred dengan ringan, Ella langsung saja melotot tidak terima dengan ucapannya, tangannya sudah siap menampar Alfred.
Tapi dengan cepat Alfred sudah memegangi pergelangan tangan Ella, dan amat kuat.
"Kenapa Ella? Apa kau tidak ingin mendengar kenyataannya?"
"APA MAKSUDMU ALFRED LEWIS!! Kita pernah membahas mengenai ini, tapi ternyata kau masih saja...."
"Ella... Ella... ibumu telah membunuh ayahku. Malam itu disebuah hotel, ibumu tidur dengan ayahku. Tidak puas sampai disitu, ibumu bahkan membunuh ayahku." Alfred menghempas tangan Ella.
"JAGA UCAPANMU ALFRED, SEMUA ITU TIDAKLAH BENAR?" Suara Ella semakin lantang.
"KAU HARUS MENDENGAR KENYATAANNYA ELLA. BAHWA IBUMU BUKANLAH WANITA BAIK-BAIK. SEORANG WANITA MURAHAN, BAHKAN SEORANG PEMBUNUH."
Plakkk...
Alfred yang lengah karena emosinya yang meluap, dan Ella yang berhasil melayangkan tamparannya yang keras ke arah wajah pria tersebut.
Alfred justru semakin menyeringai puas, senang dengan Ella yang sudah mulai tersulut emosi dengan mudah.
"Simpan baik-baik tenagamu Ella, karena ini hanyalah sebuah permulaan. Kau tidak tahu berapa banyak kesulitan yang dilalui oleh keluarga ini akibat ulah ibumu." Ancam Alfred.
"Kau..!" Ucap Ella dengan suara yang bergetar,
Alfred langsung saja membalikkan badannya, tanpa berpamitan dia langsung meninggalkan Ella. Entah apa yang direncanakan oleh Alfred, tapi Ella yakin semua penderitaan ini belumlah selesai.
***
Kantor Marioline.
"Abigail..? Apa yang sedang kau lakukan disini?"
Marioline sedang berada diruang kerja miliknya sendiri, kali ini ia sukses mendirikan perusahaannya yang bergerak dibidang properti. Marioline memicingkan matanya, melihat perut putrinya yang sudah sangat membesar.
"Kau seharusnya beristirahat, sebentar lagi adalah jadwal operasimu untuk kelahiran."
"Ibu, aku terlalu bosan berada dirumah. Edward bahkan terlalu tidak peduli dengan kondisiku. Kurasa rencana ibu dengan dokter Mike tidak terlalu berhasil." Keluh Abigail.
"Kau harus bersabar, kau harus ingat kalau Edward ingin menceraikanmu usai kau melahirkan." Ucap Marioline. Dan Abigail semakin menekuk wajahnya.
"Arrrgghhh... aku benar-benar kesal padanya bu, setidaknya dia harus bisa melupakan wanita itu. Tapi apa rencana soal aku sakit ini akan berhasil?"
"Ibu yakin akan berhasil, karena dengan kau berpura-pura sakit setidaknya Edward akan menjadi simpati kepadamu. Dan kalau rencana itu tidak berhasil, ibu masih memiliki rencana lainnya." Senyum puas tersirat pada wajah Marioline.
"Oh ya, mumpung kau disini, apa kau bisa membantu ibu untuk memilih beberapa gaun?"
Abigail langsung saja menatap dengan curiga, karena tidak seperti biasanya ibunya meminta hal tersebut padanya.
"Apa ibu akan menghadiri acara? Pesta? Atau...?"
"Tepatnya pesta, bukan pesta yang besar untuk di usiaku yang sekarang ini." Jawab Marioline. Abigail semakin bingung dan mulai berpikir keras.
"Maksud ibu?"
"Tepatnya gaun pernikahan untukku sendiri. Aku tidak ingin terlalu mencolok, tapi ingin tetap terlihat elegan dan mewah." Jawab Marioline dengan santai.
Abigail tanpa sadar membuka mulutnya, tapi tidak ada satu katapun yang keluar. Bahkan ia menepuk pipinya sendiri, apakah ia sedang dalam keadaan sadar atau tidak ketika mendengar ibunya akan menikah lagi.
"Apa? Menikah lagi? Apa ibu sedang bercanda?"
"Tidak."
"Tapi dengan siapa ibu akan menuikah? Dan bagaimana bisa ibu berpikir untuk menikah kembali?" Bantah Clarisa.
"Aku tidak sedang meminta persetujuanmu, Abigail Smith!" Marioline memotong ucapan putrinya, sedikit kesal dengan tanggapan putrinya yang terlalu melebihkan.
"Aku akan menikah dengan Wade Huxley. "
Pupil mata Abigail lebih melebar lagi ketika mendengar nama Wade Hulxley, bukan ucapan selamat yang akan ia utarakan untuk ibunya,
"Apa ibu sudah gila?"