Chereads / Konsekuensi / Chapter 84 - Sebuah Tamparan Keras (1)

Chapter 84 - Sebuah Tamparan Keras (1)

Ny. Zemira terbangun di ranjangnya. Ia melihat sang suami, Isa, Dina dan Bunga sedang berada di dekatnya sekarang.

"Dimana aku? Apa yang kalian lakukan di sini?" ucap Ny. Zemira.

"Ibu terjatuh di dekat kamar mandi tadi. Kami telah memanggil Dokter ke sini, katanya ibu keracunan," jelas Isa.

"Keracunan?"

"Ya, kemungkinannya racun tikus, tapi tidak apa, ibu jangan khawatir. Dokter bilang dosis yang ibu minum tidak akan membuat kondisi ibu semakin ambruk, ibu hanya perlu meminum beberapa obat selama seminggu setelah makan untuk memastikan kalau racunnya bisa keluar semua."

"Tapi, ibu tidak mengonsumsi racun."

"Iya, kemungkinan dari makanan atau minuman yang ibu konsumsi."

"Jus, jus itu. Pasti jus itu."

Dina lalu saling melirik dengan Isa.

"Jus apa?" tanya Isa.

"Karin membuatkan jus buah naga untuk ibu dan bibi Tamara. Ibu merasa ada yang aneh dengan jus itu, rasanya agak berbeda."

"Lalu, kenapa bibi Tamara tidak keracunan juga?" ujar Dina.

"Oh, tidak," lirih Bunga. Mereka semua sepemikiran sekarang, kecuali Tn. Farzin.

'Tidak, Jhana tidak mungkin melakukan hal itu,' batin Tn. Farzin.

"Haruskah kita melaporkan wanita gila itu ke Polisi?" kata Bunga.

"Tapi kita tidak punya bukti yang kuat untuk melaporkannya," ucap Isa.

"Tidak perlu," ujar Ny. Zemira.

"Hah?" Anak-anak dan calon menantunya terkejut.

"Karin mungkin mencoba untuk membunuh ibu, tapi kejahatan pantasnya dibalas dengan kebaikan, bukan dengan kejahatan juga," sambung Ny. Zemira.

"Tapi kita tidak melakukan kejahatan, kita melakukan pembelaan," kata Dina.

"Jangan, biarkan saja dia."

"Ibu, itu sama saja dengan ibu membiarkan kejahatan berkuasa," ucap Isa.

"Kalian tidak akan mengerti. Sudahlah, tinggalkan aku bersama suamiku di sini."

Bunga, Isa dan Dina lantas pergi dari kamar itu. Ny. Zemira kemudian menghadap ke Tn. Farzin dan memegang tangannya.

"Kau mungkin harus tahu, aku pernah memohon pada Karin bahwa jika dia ingin menyakiti kita, cukup sakiti aku saja, jangan yang lain. Aku tidak menyangka bahwa dia benar-benar melakukannya, tapi, ini yang kukatakan padanya, maka dari itu seharusnya kita diam saja selagi kita belum memiliki bukti yang cukup. Kau setuju, kan?" ujar Ny. Zemira. Tn. Farzin hanya mengangguk.

Tamara menemui putrinya di taman. Tampaknya ia ingin mencairkan suasana di antara mereka berdua.

"Di sini kau rupanya," ucap Tamara. Raya terlihat tidak tertarik dengan ibunya.

"Dengar, aku tahu kau memiliki masa lalu yang sulit karenaku, dan sekarang aku kembali seolah aku lupa dengan segala yang telah terjadi di antara kita. Tapi, hanya ada satu hal yang kuingin kau tahu, aku menyesal untuk semuanya, dan yang kuinginkan sekarang hanyalah menjaga apa yang ayahmu wariskan kepadaku-"

"Ibu merusaknya!" sergah Raya.

"Aku tahu, Raya. Tapi aku di sini sekarang, untuk memperbaikinya. Aku tahu kalau kau tidak akan pernah bersedia untuk membantuku karena ini semua kesalahanku, tapi, aku hanya ingin kau memaafkanku, dan kita bangun hubungan baru yang lebih baik lagi. Mari membuka lembaran yang baru. Kau anakku dan aku menyayangimu."

"Apa yang ibu inginkan sebenarnya?"

"Aku hanya menginginkan hubungan baik di antara kita, tolong."

Raya kemudian menatap ibunya. 'Dia masih menganggap kalau gangguan jiwaku merusak pikiranku, dan dia berpikir kalau dia bisa memanfaatkan hal itu untuk menjadikanku sebagai mesin pembunuh yang akan membunuh seluruh anggota keluarga ini. Aku memang mau melakukannya, tapi aku tidak akan pernah melakukannya untuknya. Mari lihat apakah senjata akan memakan tuannya kali ini,' batin Raya. Ia lalu berpura-pura nangis dan membuat Tamara semakin berpikir kalau anaknya itu bisa dengan mudah dibodohi karena gangguan jiwa yang dialaminya.

"Oh, ibu, aku menyayangimu juga," kata Raya sambil memeluk Tamara.

'Mudah sekali mempermainkan emosi dan pikiranmu,' pikir Tamara. 'Kesehatan mentalnya tidak pernah membaik ternyata. Syukurlah aku menemukan cara yang tepat untuk memanfaatkannya sebelum menyingkirkannya.'

Di sebuah taman, Arvin dan Khansa sedang menikmati sebuah roti jumbo sambil berjalan. Arvin tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak tadi, membuat Khansa merasa ada yang aneh pada pria itu.

"Ada apa denganmu? Belakangan ini kau terlihat aneh," tanya Khansa.

"Hm? Benarkah?" ujar Arvin.

"Ya, kalau tidak, untuk apa aku bertanya."

"Engh, sebenarnya aku sedang memiliki masalah dengan Salma."

"Masalah? Gara-gara aku menelpon malam itu?"

"Ya. Dia langsung curiga padaku dan menguntitku, tapi dia tidak mengaku, hal ini membuatku geram."

"Apa salah jika dia merasa curiga?"

"Apa maksudmu?"

"Dia kekasihmu, kan? Tidak salah jika kadang dia merasa curiga."

Arvin lalu terdiam.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau marah pada saat yang tidak tepat?" kata Khansa.

"E-entahlah, aku pun tak mengerti."

"Tenangkan pikiranmu dulu, maka kau akan bisa menyelesaikan segalanya. Jangan terlalu memikirkan masalahmu, lupakan hal itu sejenak."

Arvin lantas tersenyum. "Baiklah."

'Ada yang salah denganku,' batin Arvin.

Malam pun tiba, para pekerja di rumah makan Populer tengah bersiap untuk pulang, karena memang rumah makan itu sudah tutup sejak tadi. Arvin menghampiri Salma, sebab memang biasanya ia menawari gadis itu untuk diantar pulang.

"Salma, aku ..."

"Aku ..."

"Aku ... Mau kuantar pulang?"

Salma lalu menatap Arvin. "Why not pakai bahasa Inggris? Where bahasa Inggris you?"

"Hah?"

"You pikir I tidak understand apa yang you bilang waktu you pakai bahasa Inggris tadi, kan? I understand, I can bahasa Inggris. Now you mau what? Antar I ke home? I'm sorry! I pulang sendiri tonight! You see rumah I dekat! Permisi!" seru Salma, ia langsung pergi dari rumah makan tersebut.

"Tapi, hei! Tak baik bagimu jalan di malam hari sendirian! Biarkan aku mengantarmu!" teriak Arvin.

"I don't care! Lebih good bagi I melewati bahaya dari pada harus diantar sama you!"

"Salma!"

"You're bastard!" teriak Salma, padahal ia masih tidak mengerti arti dari umpatan itu.

"Apa dia tahu arti dari ucapannya yang terakhir?" tanya Arvin kepada Yahya.

"Mana kutahu, aku bukan Salma," jawab Yahya.

"Argh!" gerutu Arvin. Ia kemudian pulang ke rumahnya.

Sesampainya di mansion Dhananjaya, Arvin mendapati bahwa mansion itu sangat sepi, hanya ada Isa beserta anak-anak yang tinggal di mansion itu, mereka berenam berada di ruang tamu sekarang.

"Jadi, kalian sudah akur sekarang?" tanya Isa kepada 5 bocah yang ada di sampingnya sekarang.

"Shirina tidak mau benar-benar akur," jawab Arka.

"Hei! Jangan menuduhku! Kalian melakukan pertemuan konyol dan beralasan kalau pertemuan itu akan merekatkan hubungan kita, tapi aku sudah mengatakan kalau hal itu sia-sia karena mereka tidak selevel dengan kita, dan kalian tetap keras kepala! Sampai akhirnya 'rapat' bodoh itu tidak menghasilkan apa-apa!" sergah Shirina.

"Kami berbicara tentang hal-hal yang mendidik ketika kau pergi dari pertemuan yang kau bilang konyol itu."

Shirina lantas hanya mendengus.

"Intinya, dua belas hari lagi, kalian harus sudah benar-benar bersahabat," ujar Isa. Arvin lalu mengetuk pintu ruangan tersebut.

"Maaf mengganggu, tapi, ke mana semua orang?" tanya Arvin.

"Ouh, baru ini kulihat kau meminta maaf," ucap Isa.

"Kupikir kaulah yang mengganggu di sini," kata Arvin yang terlihat kesal.

"Semuanya sedang melihat nenek," ujar Arka.

"Ada apa dengan nenekmu?" tanya Arvin.

"Dia keracunan, jadi semua orang khawatir sampai sekarang."

"Padahal entah apa yang menarik dari seorang nenek tua," celoteh Shirina.

"Hei, dia nenekmu dan dia sedang sakit sekarang," kata Fina.

"Huh, terserah. Aku selalu salah di sini."

'Aku tidak tahu bagaimana Isa bisa tahan dengan tingkah mereka,' batin Arvin. Ia langsung saja berjalan menuju kamar orangtuanya dan melihat banyak orang yang berkumpul di sana, yaitu Bunga, Tamara, Raya, Kevlar, Jhana, Kania, Indira, Tantri dan 2 orang pemilik kamar itu. Isa dan anak-anak kemudian menyusul Arvin.

"Ok, semuanya, bisa kita bubar sekarang? Nyonya kalian sudah harus beristirahat sekarang," ucap Bunga.

"Ada apa ini?" tanya Arvin.

"Aku mengatakan padamu kalau nenek keracunan, paman," ujar Arka.

"Ssshht." Isa menyuruh Arka untuk diam.

"Ibu keracunan saat meminum jus buah naga, tapi dia tidak apa-apa sekarang, hanya perlu meminum beberapa obat selama seminggu," papar Bunga. Mendengar hal itu, Arvin lantas masuk ke dalam kamar orangtuanya dan melihat 5 jenis obat yang ada di atas meja yang harus diminum oleh ibunya secara rutin.

"Ibu baik-baik saja?" tanya Arvin kepada Ny. Zemira.

"Iya, nak, ibu baik-baik saja sekarang," jawab Ny. Zemira.

"Ibu ... Ibu beli di mana jus itu? Ayo kita lapor penjualnya ke Polisi."

"Ibumu tidak membeli jus itu," sela Tamara.

"Dia dan aku sama-sama dibuatkan segelas jus buah naga olehnya, tapi yang keracunan hanya ibumu," sambung Tamara sembari menunjuk Jhana, Jhana hanya tertunduk.

Arvin lantas melirik Ny. Zemira, namun Ny. Zemira hanya diam. Arvin pun terkejut dan wajahnya berubah menjadi wajah kaget, khawatir dan marah. Pria itu lalu berjalan perlahan menuju Jhana.

"Kau memang sangat berniat untuk membunuh ibuku secara perlahan?" lirih Arvin. Jhana menggeleng.

"Apa yang kau mau sebenarnya?" lanjut Arvin.

"Percayalah pada saya! Bukan saya yang menaruh racun itu! Tapi-"

"Diam! Aku tidak ingin mendengar alasan apapun dari bibirmu!"

"Tuan, saya hanya-"

BAK!

Sebuah tamparan keras, yang sangat sangat keras melayang di pipi kanan Jhana. Semua orang terkejut setengah mati dengan Arvin yang menampar Jhana dengan begitu kuatnya sambil sedikit menangis.

Ya, suara kuat dari sebuah tamparan yang tak kalah kuat itu berasal dari tamparan yang dilayangkan oleh Arvin kepada Jhana.