Chereads / Konsekuensi / Chapter 85 - Sebuah Tamparan Keras (2)

Chapter 85 - Sebuah Tamparan Keras (2)

Tubuh Jhana seketika bergetar secara hebat. Ia terus memegangi pipi kanannya yang terasa sangat sakit sembari mengangkat kepalanya yang menoleh ke kiri akibat tamparan luar biasa dari Arvin. Percayalah bahwa tamparan itu sangat sakit, sampai Jhana tak kuasa menahan tangisnya.

Jhana membayangkan wajah polos Arvin ketika kecil yang sangat menyayanginya. Arvin yang paling menyayanginya sebagai saudara ketika mereka kecil. Wajah polos itu, sekarang menunjukkan amarah besar dibumbui dengan air mata. Anak kecil yang dulu sangat menyayanginya, sekarang resmi menjadi penampar pertama baginya.

Ini adalah hal yang tidak pernah Jhana sangka dari Arvin. Ia paham bagaimana Arvin bisa membenci dirinya, baik sebagai dirinya sendiri atau pun sebagai Karin, tapi Jhana sungguh tidak pernah menyangka kalau Arvin akan sanggup menampar seorang wanita dengan begitu kerasnya.

"Kau pantas mendapatkan itu!" geram Arvin yang masih tidak sadar bahwa yang dilakukannya pada Jhana mencoreng namanya sendiri.

Jhana semakin tak bisa membendung air matanya ketika mendengar hal itu. Ia terisak, namun secara cepat menutup mulutnya, Jhana benar-benar sedang berusaha menahan dirinya agar tidak mengeluarkan suara tangisannya, tetapi sepertinya ia tidak sanggup. Jhana akhirnya memilih pergi ke kamarnya, ia berlari sambil berurai air mata.

Siapapun pasti jadi merasa kasihan padanya saat ini, kecuali mungkin Tamara, Raya dan Kevlar.

Arvin mungkin menangis karena ia merasa geram kepada Jhana yang dianggapnya telah menyakiti ibunya, dan Jhana menangis karena tamparan Arvin. Namun tak hanya mereka berdua yang menangis, Ny. Zemira secara tidak sadar juga meneteskan air matanya ketika melihat Arvin menampar Jhana.

Ia tahu persis bagaimana rasanya rasa sakit akibat tamparan sekeras itu, sebab ia memang pernah mengalaminya. Melihat Jhana ditampar seperti itu, Ny. Zemira seolah juga merasakan rasa sakit yang dirasakan Jhana saat ini, pikirannya langsung melayang ke masa lalu, saat di mana ia juga menerima tamparan sekeras itu, bukan dari Arvin, tapi dari Tn. Farzin. Tn. Farzin tampaknya sadar akan tangisan istrinya, dan ia paham alasan mengapa sang istri meneteskan air mata.

'Dia teringat akan masa lalunya,' batin Tn. Farzin. 'Maafkan aku, Zemira.'

Ny. Zemira lantas bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju Arvin yang berdiri membelakanginya. Ia menepuk pundak sang putra, dan pria itu pun membalikkan badannya.

Tangan Ny. Zemira secara refleks menampar pipi kanan Arvin, anak yang dilahirkannya sendiri, membuat semua orang lebih terkejut lagi dari sebelumnya. Meskipun tamparan yang dilayangkan oleh Ny. Zemira tak sekeras tamparan Arvin kepada Jhana, namun tetap saja yang namanya ditampar pasti rasanya sakit.

Arvin tentu tidak menduga hal ini, ia tidak pernah menyangka kalau ibunya akan sanggup menamparnya, sebab sekali pun pada saat ia hidup dengan gaya hidup yang buruk dulu, ia tidak pernah mendapatkan tamparan dari wanita yang telah melahirkannya itu. Baru kali ini ia ditampar oleh ibunya, dan Arvin tidak mengerti kenapa.

"Kenapa kau menamparnya?!" tanya Ny. Zemira dengan suara menggeram, wanita itu masih menangis sampai sekarang.

"Dia pantas mendapatkannya, ibu. Aku melakukan ini untuk ibu," jawab Arvin.

"Kau bukan pria, kau tidak gentle. Tubuhmu mungkin pria, tapi jiwamu letoi. Jiwamu sama sekali tidak menunjukkan bahwa kau adalah seorang pria, nak. Dan itu sangat memalukan!"

"Ibu, aku tidak mengerti apa yang ibu maksud."

"Ya! Ya, mungkin dia pantas untuk menerima sebuah tamparan! Atau tidak sama sekali! Aku mengajarkan kepada anak-anakku untuk membalas perbuatan apapun dengan sebuah kebaikan! Bahkan kejahatan sekalipun! Tidak bisa dipungkiri kalau memang dia sudah diluar batas! Tapi, seorang pria sama sekali tidak memiliki hak untuk menampar wanita manapun! Pria manapun tidak pantas untuk menampar wanita manapun!"

"Aku mungkin masih bisa memberikan toleransi apabila Bunga yang menamparnya, tapi kau! Kau memalukan! Kau menodai tanganmu sendiri! Kau menamparnya dengan begitu kuat, lalu mengatakan kalau itu demi aku! Tidak! Aku tidak mengajarkan anak laki-lakiku untuk tumbuh menjadi seorang pecundang! Kau pengecut! Kau sama sekali tidak pantas untuk disebut sebagai seorang pria! Kau sama sekali tidak memiliki rasa hormat kepada seorang wanita! Kau lebih memalukanku dari pada Rasyid!" sambung Ny. Zemira

"Ibu-"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu untuk sesaat! Aku malu! Kau menjijikkan!"

"Ibu, tolong dengarkan aku dulu."

"Kenapa, Arvin? Kenapa? Kenapa kau sanggup menampar seorang wanita? Sangat tidak terpuji apabila seorang pria berani main tangan dengan wanita. Aku kecewa padamu."

"Ibu-"

"Kupikir kau paham betul dengan hal itu. Kau ... Kau mungkin mengetahui segalanya, dan kupikir kau sudah benar-benar paham bagaimana tercelanya seorang pria apabila dia sampai melakukan kekerasan kepada wanita. Tapi aku salah. Katakan, katakan apa yang membuatmu berani bertindak seperti itu? Aku berusaha untuk membuat anak-anakku tidak mewariskan hal-hal buruk dari orangtua mereka." Ny. Zemira secara tidak langsung menyinggung kisah masa lalunya bersama Tn. Farzin.

"Pria manapun tidak akan pernah tahu bagaimana perasaan wanita ketika mereka menerima sebuah tamparan dari seorang pria. Sakit memang, dan kadang tangisan tidak bisa ditahan. Tapi wanita menangis bukan karena rasa sakitnya, melainkan rasa kecewa mereka. Di dunia ini, pria adalah pelindung bagi wanita, lalu bagaimana jika sebuah pelindung justru berubah menjadi sebuah serangan bagi yang dilindungi? Putus asa, takut, shock, kecewa, tidak menyangka, itu yang dirasakan Karin sekarang. Kau gagal menjadi pria yang baik, aku jadi khawatir kalau Salma akan berada di jalan yang salah akibat bimbingan darimu. Kau memalukan, entah pria macam apa kau ini," sambung Ny. Zemira.

'Kenapa dia berbicara seolah dia pernah merasakan hal itu juga?' batin Raya. Mendengar semua itu, yang lain hanya bisa mengernyitkan dahinya. Sementara ketiga anak Jhana akhirnya memutuskan pergi menyusul ibu mereka.

Ketiganya mendapati bahwa sang ibu masih berada di dalam mansion dan baru saja keluar saat 'terciduk'. Ya, Jhana mendengar semuanya.

"Haruskah kita menyusul ibu?" tanya Fina.

"Ibu butuh waktu sendiri, jadi lebih baik tidak usah. Kita tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang, terlebih lagi tamparan itu pasti sakit," ucap Mona.

"Paman Arvin memang jahat," tambah Zhani.

"Ugh, aku terlalu banyak berbicara, dan bicaraku telah melebar ke mana-mana. Kalian semua bubarlah, masing-masing dari kita membutuhkan istirahat. Kuharap aku bisa menenangkan diriku besok," pungkas Ny. Zemira, ia kemudian masuk ke kamarnya.

Sang Nyonya besar di mansion Dhananjaya itu pun lantas bertatap muka dengan sang suami.

"Segala yang barusan terjadi, itu tidak ada hubungannya denganmu," kata Ny. Zemira pada Tn. Farzin.

"Huh, lupakan saja, kau tahu kalau aku berbohong, maafkan aku," lanjutnya.

Semua orang lalu pergi dari area kamar Tn. Farzin dan Ny. Zemira. Semua. Kecuali Arvin dan Isa.

Tamara tidur bersama Raya untuk hari ini dan seterusnya, jadi mereka langsung masuk ke kamar usai keributan yang baru saja terjadi.

"Ibu, tidakkah ibu merasa ada yang aneh dengan ibu Zemira?" ucap Raya.

"Aneh? Aneh bagaimana?" kata Tamara.

"Ya ... Dia berbicara seolah dia pernah mengalami hal itu juga."

"Orang tidak perlu mengalami hal seperti itu dulu untuk bisa berbicara seperti itu, kan? Lagi pula yang dikatakannya itu benar, sebagai wanita tentu dia bisa merasakan bagaimana perasaan Karin."

Raya lantas menatap Tamara, ia tampaknya semakin tidak menyukai ibunya itu.

'Dia berusaha menggiring pikiranku untuk tidak memikirkan Zemira. Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama denganku, Zemira telah menyembunyikan sesuatu yang besar, dan ibu mungkin sedang berusaha untuk mencari tahunya, tapi sepertinya dia tidak ingin aku mencari tahunya juga, sebab sepertinya dia memiliki rencana untuk Zemira yang dia tidak ingin aku rusak. Dia licik sekali, tapi aku tidak akan membiarkannya menang, meskipun tujuannya adalah untuk merebut harta ayah lagi, tapi semua itu di dasari oleh keegoisannya. Aku tidak akan pernah membiarkanmu menang, bu, tidak akan,' batin Raya.

"Hmm, begitu, ya?" ujar Raya.

"Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan, kita tidur saja."

'Zemira adalah kunci agar aku bisa meraih apa yang kumau, jadi aku tidak akan membiarkan Raya merusak semuanya,' batin Tamara.

Sementara itu, di depan pintu kamar orangtua mereka, Isa menatap Arvin.

"Ada apa denganmu?" tanya Isa, namun Arvin hanya diam. Isa kemudian melangkah maju, mendekati sang kakak.

Pemuda berbrewok itu lalu menepuk pundak kiri Arvin.

"Aku ini adikmu, jika kau memiliki masalah, bagikan saja denganku, jangan kau pendam sendiri. Aku tahu bahwa ada hal yang membuatmu kehilangan kendali, tapi apa?" sambung Isa, namun lagi-lagi Arvin tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Kak, aku siap kapanpun kau membutuhkanku sebagai teman berbagi cerita. Mungkin aku tak sebijak dan tak sepandai ayah dan kak Rasyid dalam memberikan nasihat, tapi orang-orang bilang, di keluarga kita, hatiku juga murni sama seperti mereka, jadi setidaknya aku punya sedikit kualitas," ujar Isa.

"Ada yang salah denganku, tapi aku tidak tahu apa," ucap Arvin yang terlihat benar-benar bingung harus berkata apa.

"Istirahatlah, segarkan pikiranmu dulu."

"Tidak, tidak, aku baik-baik saja. Isa, apa kau pernah bertengkar dengan Dina? Maksudku, pertengkaran besar sampai kalian tidak berkomunikasi sampai berhari-hari."

"Kenapa?"

"Aku hanya bertanya."

"Apa ada masalah antara kau dan kak Salma?"

Tanpa menjawab, Arvin langsung pergi begitu saja menuju kamarnya.

"Ada apa dengannya? Dia kelihatan memiliki masalah besar," gumam Isa.

Ya, Arvin benar-benar terlihat sedang dalam masalah sekarang, sehingga ia tidak bisa mengendalikan emosinya. Mungkin semua itu adalah efek dari pertengkarannya dengan Salma, atau mungkin ada hal lain yang membuat emosinya meledak-ledak.