Usai jam istirahatnya, Salma kembali ke rumah makan Populer dan terlihat sangat lelah setelah berkeliling menyebarkan brosur
"Kau memiliki waktu istirahat tapi kau sangat lelah di waktu istirahatmu," ucap Yahya padanya.
"Begitulah. Hasil tani pamanku masih lama lagi baru bisa panen, jadi kami di sini harus menghidupi diri kami sendiri. Kerjaku sebagai pelayan di sini saja tidak akan cukup untuk menghidupi tiga nyawa, membayar kontrakan rumah, bayar listrik, kebutuhan rumah tangga dan masih banyak lagi. Kami menaruh harapan besar pada brosur-brosur ini," papar Salma.
"Berikan beberapa brosur itu padaku. Aku akan mempromosikannya kepada tetangga-tetanggaku, jangan kau ragukan kemampuan iklanku."
"Hehehe, terima kasih, kak." Salma menyodorkan 10 brosur kepada Yahya.
"Andra? Kau juga mau? Maksudku, aku minta tolong, tapi tidak apa jika kau tidak mau," lanjut Salma.
"Boleh, tapi aku akan mempromosikannya di Aceh," ujar Andra.
"Aceh?"
"Iya, apa kau menerima pesanan antar pulau?"
"Mungkin, tapi tidakkah itu akan membuat brownisnya basi?"
"Entahlah. Tapi berikan saja, siapa tahu ada orang yang kubagikan brosurmu besoknya akan pergi ke Jogja, semoga saja dia mampir ke rumahmu."
"Baiklah." Salma kemudian memberikan 10 brosur juga kepada Andra.
"Kau akan mengirim ini ke kerabatmu yang ada di Aceh?" tanya Salma.
"Tidak, aku memang akan pergi ke Aceh kurang dari seminggu lagi."
"Jadi, itu alasannya kenapa Joshua diterima?"
"Ya."
"Tapi bagaimana kalau nantinya Joshua akan seterusnya bekerja di sini?"
"Aku tidak akan kembali lagi ke Jogja."
"Apa? Yang benar saja?"
"Ya, kenapa aku harus bercanda?"
"Maksudku, kau akan meninggalkan Wanda?"
"Hahaha, kami sudah putus."
"Apa? Benarkah?"
"Ya, kenapa aku harus bercanda? Lagi."
Salma lantas melirik Wanda, namun Wanda memilih pura-pura tidak tahu.
"Wanda, kau mau menolongku juga?" tanya Salma.
"Oh, bagus, kau tidak memanggilku dengan sebutan 'kakak' lagi. Efek berpacaran dengan orang kaya, pasti," kata Wanda.
"Iyakah? Aku tidak sadar kalau dulu aku memanggilmu dengan sebutan 'kak Wanda'."
"Huft, sini, biar kubantu usahamu maju."
"Hehehe." Salma juga memberikan 10 brosur kepada Wanda.
"Tapi ingat, jangan pelit-pelit denganku apabila usahamu maju," ujar Wanda.
"Apa aku pernah pelit padamu?"
Wanda lalu memutar kedua bola matanya.
"Arvin?" ucap Salma.
"Hm?" sahut Arvin, ia tengah bersiap untuk pergi, sebab ini memang waktunya untuk beristirahat.
"Kau mau pergi menemui Khansa, kan? Boleh aku menitipkan beberapa brosur padamu?"
"Kau tahu dari mana kalau aku akan menemui Khansa?" tanya Arvin penuh selidik.
"Bukannya kau selalu menggunakan waktu istirahatmu untuk dia?"
"Kau mengatakan kalau kau tidak mengenalnya. Apa kau langsung menguntitku sejak malam itu dan menaruh curiga?"
"Apa?" Salma mengernyitkan dahinya.
"Salma, itu tidak sopan!"
"A-aku tidak-"
"Kau berpikir aku melakukan hal-hal aneh bersama Khansa?"
"Tidak, Arvin kau-"
"Kenapa kau berlebihan? Aku memang kekasihmu, tapi bukan berarti aku bisa menjadi milikmu seutuhnya! Aku juga punya teman, jadi jangan bersikap posesif! Aku selalu memikirkanmu, Salma!"
"Kenapa kau marah?"
"Karena kau menguntitku! Kau tidak mempercayaiku!"
"Aku selalu percaya padamu, aku tidak berpikir yang aneh-aneh tentang kau dan Khansa, jadi berhenti marah-marah seperti ini."
"Tidak, kau tidak percaya padaku, kau selalu berpikir kalau aku akan melakukan hal yang buruk, kan? Itulah kenapa kau menguntitku."
"Aku tidak menguntitmu! Tidak ada satu pun yang menguntitmu disini!"
"Kau langsung mencurigaiku sejak malam itu, kau meragukanku, lalu menguntitku. Aku sangat menyayangkan hal itu, Salma. Permisi dan aku tidak mau membawa brosur-brosur itu!"
"Arvin, tunggu! Kau salah paham!" sergah Yahya.
"Shut the fuck up! This is my business with her, not with you!" seru Arvin.
Seluruh pelanggan di rumah makan itu lantas terdiam dan memperhatikan mereka.
"Arvin, dengarkan dulu," ucap Salma.
"Diam! Aku kecewa padamu!" ujar Arvin.
"Arvin-"
"You're bastard!"
Beberapa orang yang mengerti arti dari umpatan Arvin barusan pun terkejut setengah mati, namun Salma dan Yahya tidak mengerti maksudnya.
"Apa artinya?" tanya Yahya pada Salma setelah Arvin pergi.
"Entahlah, apapun itu, aku yakin artinya tidak baik, sebab dia mengucapkannya dalam bahasa Inggris," ujar Salma.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan."
"Aku hanya tidak habis pikir, apa salahku? Kenapa tiba-tiba dia menjadi sensitif? Ada apa dengannya? Ada apa denganku?"
"Selagi dia masih emosi, kau tidak akan mendapatkan jawabannya. Biarkan saja dulu dia menenangkan dirinya."
"Ya, menenangkan dirinya bersama Khansa." Salma lantas duduk dengan wajah memelas.
'Ini salahku, seharusnya aku tidak menceritakan tentang Khansa padanya,' batin Yahya.
Sementara itu, di mansion Dhananjaya, Raya sedang menenangkan dirinya di taman, sedangkan Tamara terlihat sedang mencari sesuatu di dalam. Wanita tua itu secara tidak sengaja bertemu dengan Indira dan Kania, mereka berdua tampaknya akan pergi berbelanja.
"Hei, hei," panggilnya.
"Ya, Nyonya?" sahut Kania.
"Kalian melihat Zemira?"
"Nyonya Zemira sedang menganyam di ruang tamu, Nyonya."
"Baiklah." Tamara lalu pergi ke ruang tamu, sementara Kania dan Indira pergi berbelanja kebutuhan dapur.
Ny. Zemira tampaknya menyadari kedatangan Tamara.
"Acara reunimu bersama Raya sudah selesai?" tanya Ny. Zemira, Tamara hanya terkekeh.
"Kau menggantikan posisi Farzin sekarang, kan? Lalu kenapa kau tidak sesibuk Farzin dulu?" tanya Tamara.
"Pada awalnya aku sesibuk dia, tapi sekarang aku sudah mulai mengharapkan Kevlar," jawab Ny. Zemira yang masih terus menganyam.
"Kevlar?"
"Ya. Pada awalnya aku meragukannya, tapi lambat laun, aku mulai menyerahkan segalanya padanya."
"Kenapa bukan dengan Arvin?"
"Aku juga berpikir seperti itu pada awalnya, tapi, Kevlar adalah anak yang baik, walaupun dia menantuku, tapi aku juga harus menghitungnya sebagai anak. Sangat tidak sopan apabila aku tidak memberikannya tanggung jawab itu, dan malah memberikannya kepada Arvin."
"Hmm, begitu ya?"
"Semua itu sudah kupikirkan dalam waktu yang lama, dan aku sudah mengeluarkan keputusan."
'Aku sudah di dahului rupanya. Tapi aku tidak akan menyerah, Zemira harus menyerahkan seluruh hartanya padaku,' batin Tamara.
"Mansion ini akan jadi miliknya juga? Maksudku, apa namanya akan tercatat sebagai pemilik mansion ini?" tanya Tamara.
"Berat bagiku untuk melakukan hal itu. Sebenarnya aku memiliki rencana untuk membuatnya mengambil alih semuanya, tapi mansion ini, aku masih mempertimbangkannya," jawab Ny. Zemira. Tamara terlihat berpikir sesaat.
"Aku akan menyuruh pekerja di dapur membuatkan jus untuk kita, agar pembicaraan kita sedikit lebih enak," ujar Tamara.
Ny. Zemira lantas tersenyum. "Baiklah."
"Kau mau jus apa?"
"Terserah kau saja."
"Ok." Tamara lalu pergi ke dapur.
'Waktuku hanya dua belas hari untuk merebut semuanya, dan itu terlalu sedikit. Maka dari itu aku harus memakai cara yang benar-benar instan,' batin Tamara.
Saat ia tiba di dapur, ia mendapati Jhana yang sedang minum.
"Kau, buatkan jus buah naga dua gelas," suruh Tamara.
"Tapi, Nyonya, saya bukan pembantu yang berurusan dengan hal seperti itu," kata Jhana.
"Aku tidak peduli, buatkan saja."
"Baik, Nyonya." Jhana kemudian mendengkus. Ia bukannya tidak mau menuruti perkataan Tamara, ia hanya sedang lelah sekarang, jadi dirinya menolak, namun apa daya, Tamara memaksa.
Jhana pun mengambil sebuah buah naga berukuran sedang dari laci dan mengupasnya usai dicuci. Ada satu hal yang diherankan oleh Jhana: Tamara menetap di dapur dan memperhatikannya. Namun ia memilih tidak ambil pusing dengan hal itu. Mengingat Raya adalah orang yang agak 'melenceng', kemungkinan besar Tamara pun memiliki sedikit 'keanehan', pikir Jhana. Sebab Jhana tak terlalu mengenal wanita itu sebelumnya.
Setelah selesai membuat jus, Jhana berniat untuk mengantar jus itu kepada orang yang akan meminumnya. Namun karena tak tahu siapa yang akan meminumnya, Jhana pun bertanya pada Tamara.
"Harus saya antar ke mana jus-jus ini, Nyonya?"
"Kau pergi saja sana, biar aku yang mengantarnya," ucap Tamara.
"Tapi, Nyonya-"
"Pergi sana."
"Engh, baik." Jhana pun kemudian pergi dari dapur. Usai memastikan Jhana sudah tidak ada di sekitaran dapur, Tamara menutup pintu dapur dan membongkar beberapa laci.
"Jika di sini ada beberapa perangkap tikus, maka seharusnya mereka menyimpan setidaknya satu racun tikus di sini," gumam Tamara. Memang di dapur ada 4 perangkap tikus yang di pasang di sudut-sudut ruangan itu.
Perangkap-perangkap itu diberi umpan berupa keju yang potongannya lumayan besar, dengan setetes racun tikus cair berwarna merah di atasnya.
Tamara berhasil mendapatkan racun tersebut dan meneteskan sedikit saja ke satu gelas jus buah naga yang ia rencanakan akan diminum oleh besannya.
'Mereka menaruh setetes saja di setiap umpan, itu artinya racun ini sangat ampuh dan keras. Sedikit saja pasti sudah sangat cukup, sebab aku tidak ingin langsung membunuh Zemira begitu saja, karena jika dia langsung mati, maka aku juga tidak akan mendapatkan apa-apa. Aku akan membuatnya sakit-sakitan dulu dalam dua belas hari ini, dan itu semua akan dimulai dengan racun ini,' batin Tamara, ia lantas mengaduk jus buah naga yang akan diminum oleh Ny. Zemira.
"Dan lihat apa yang akan terjadi pada pembantu sialan yang membentak-bentakku itu," gumamnya. Ia lalu kembali menaruh racun cair itu ke tempat semula. Tamara lantas keluar dari dapur dan kembali ke ruang tamu.
"Ini dia!" seru Tamara pada Ny. Zemira.
"Buah naga?" ucap Ny. Zemira.
"Ya, kau tidak suka?"
"Tentu saja aku suka! Ini adalah buah kesukaanku."
"Wah, baguslah."
Tanpa pikir panjang, Ny. Zemira pun langsung meneguk jusnya yang telah diberi racun tikus oleh Tamara. Tamara lalu juga meminum jusnya.
"Mmm, buatan siapa ini?" tanya Ny. Zemira.
"Buatan pembantu baru itu," jawab Tamara.
"Karin?"
"Ya. Kenapa?"
"Rasanya ... Agak beda," ujar Ny. Zemira sembari mengernyitkan dahinya dan berusaha mengingat rasa jus buah naga itu yang dirasanya agak aneh.
"Beda? Aku rasa rasanya tetap buah naga."
"Ya, rasanya memang buah naga, tapi ... yang ini agak aneh. Aku tidak bisa menjelaskannya."
"Coba kau minum lagi, siapa tahu itu hanya perasaanmu saja."
Ny. Zemira pun kemudian kembali meminum jus racun tersebut. Ia masih mencoba menebak rasa aneh apa yang ada di lidahnya, namun tidak lama kemudian, dirinya merasa sedikit pusing. Ibu 4 anak itu lalu menyingkirkan anyamannya dan melepas kacamata yang hanya dipakainya ketika menganyam.
"Ada apa?" tanya Tamara.
"Aku merasa sedikit pusing, mungkin aku terlalu lama fokus menganyam," jawab Ny. Zemira.
"Ya, sepertinya kau terlalu lama menganyam." Tamara lalu menghabiskan jusnya, sementara Ny. Zemira menepuk-nepuk perutnya.
"Kau baik-baik saja, Zemira?"
"Hanya merasa sedikit mulas, dan mulut dan tenggorokanku juga agak terasa panas. Aku akan ke kamar mandi dulu."
"Baiklah."
Ny. Zemira pun bangkit dari sofa dan hendak pergi ke kamar mandi, namun saat dirinya baru sampai di pintu kamar mandi di lorong kamarnya, ia terjatuh dan ikut menjatuhkan beberapa barang yang ada di sekitarnya. Dari ruang tamu, Tamara tersenyum mendengar itu.