[12 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]
Siang hari di mansion Dhananjaya adalah hari yang sepi di dalam, namun ramai di bagian halaman belakang. Hari pernikahan Isa dan Dina semakin dekat, hanya 12 hari dari sekarang, mereka akan sah menjadi sepasang suami-istri. Orang-orang tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing, namun sebenarnya mereka juga memikirkan Isa dan Dina, termasuk Jhana.
Jhana tidak habis pikir bagaimana kehidupannya nanti setelah Dina menyandang nama besar keluarga Dhananjaya pada bagian belakang namanya. Dina akan tinggal di mansion itu, dan bertemu dengan gadis itu adalah hal yang 100% mungkin akan terjadi bagi Jhana.
Kali ini, Jhana sedang mondar-mandir di lantai 1, ia terlihat sangat sibuk sekarang dan terlihat cukup lelah. Namun Jhana terpaksa harus menghentikan aktifitasnya sesaat sebab ada sebuah ketukan pada pintu depan.
Jhana mendapati seorang wanita tua dengan sebuah koper seumuran Ny. Zemira ketika ia membuka pintu.
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanya Jhana dengan ramahnya.
"Kau memang pembantu, kan?" ucap si nenek tua.
"Engh, iya, Nyonya."
"Bawa koper ini."
"Maaf, tapi anda siapa, ya?"
"Kau mengira aku orang jahat?!"
"Bukan begitu, Nyonya. Saya tidak bisa mempersilahkan orang asing masuk ke dalam."
Nenek itu kemudian melihat Jhana dari atas sampai bawah. "Sudah berapa lama kau bekerja disini?"
"Dua minggu, Nyonya."
"Pantas saja kau tidak tahu siapa aku."
'Siapa wanita tua cerewet ini?' batin Jhana.
"Minggir kau, biarkan aku masuk," sambung wanita itu.
"Nyonya, mansion ini punya aturan! Anda tidak bisa sembarangan masuk ke dalam! Siapa anda rupanya?! Saya memang pembantu disini, tapi saya hanya mendengarkan perkataan majikan saya!" tegas Jhana.
"Hei! Tutup mulutmu!" seru si nenek tua. Raya yang kebetulan lewat di belakang Jhana, lantas menghampiri mereka berdua.
"Ada apa ini?" tanya Raya. "Ah? Ibu?" lanjutnya saat Jhana baru saja akan menjelaskan apa yang terjadi.
"Hai, sayang," sapa ibunya Raya sembari mencium anak satu-satunya itu.
Jhana lalu mundur dan membiarkan wanita itu masuk. Ibu dari Raya itu tak berhenti menatapi Jhana dengan tatapan tidak suka.
"Kenapa ibu tidak bilang kalau ibu akan datang?" tanya Raya.
"Karena aku ingin kedatanganku menjadi sebuah kejutan besar bagi putriku," jawab sang ibu, Raya kemudian tersenyum.
'Astaga, aku baru mengingatnya sekarang. Ini bibi Tamara. Tidak berjumpa dengannya selama sepuluh tahun saja sudah membuatku lupa dengan wajahnya. Setua apa aku sebenarnya?' batin Jhana.
"Ayo kita masuk." Raya mengajak Tamara pergi ke ruang tamu.
Tak lama setelah ibu dan anak itu masuk ke ruang tamu, Ny. Zemira keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Jhana yang sedang menutup pintu.
"Apa yang terjadi, Karin? Aku mendengar suaramu tadi."
"Ibunya Nyonya Raya datang, Nyonya. Saya belum pernah melihatnya, jadi saya sempat mengusirnya, tapi syukurlah Nyonya Raya datang," papar Jhana.
"Tamara? Dia disini?"
"Jadi namanya Nyonya Tamara?"
"Lanjutkan pekerjaanmu."
"Baik, Nyonya."
Ny. Zemira lalu pergi ke ruang tamu, sementara Jhana melanjutkan pekerjaannya.
"Apa itu kau, Tamara?" ucap Ny. Zemira saat ia melihat Raya dan Tamara dari belakang. Tamara lalu melihat ke belakang.
"Zemira!" ujar Tamara yang terlihat antusias. Mereka berdua lantas berpelukan.
"Lama tidak bertemu. Kau terlihat awet muda," kata Ny. Zemira sambil mengajak besannya itu untuk kembali duduk.
"Kau yang lebih awet muda dan terlihat sangat segar." Tamara memuji balik.
"Ah, kau ini."
"Raya, kenapa kau tidak mengatakan kalau ibumu akan datang? Kita bisa menyambutnya dengan sebuah pesta yang meriah, kan?" sambung Ny. Zemira.
"Justru aku pikir semua orang disini sudah tahu kalau ibuku akan datang, dan hanya aku yang tidak tahu," ucap Raya.
"Jadi, kedatanganmu adalah kejutan bagi semua orang?" Ny. Zemira bertanya pada Tamara.
"Tentu saja. Aku memang suka membuat kejutan, kan?" ucap Tamara. Ny. Zemira lantas terkekeh kecil.
"Kudengar, Isa akan menikahi seorang gadis, ya?"
"Ya, dan pernikahan mereka akan berlangsung dua belas hari lagi," jawab Ny. Zemira.
"Wow, itu artinya aku akan menghabiskan waktu yang lama di sini."
"Tidak apa, malah itu bagus, jadi kita bisa melepas rindu sepuasnya."
"Tapi, apa aku tidak akan merepotkan kalian?"
"Kenapa kami harus kerepotan? Kau juga Nyonya besar di sini. Bersenang-senanglah."
"Bagaimana dengan perusahaan kita? Apa dua belas hari itu tidak terlalu lama? Ibu tidak akan mengontrol pergerakan mebel-mebel kita selama dua belas hari, kan?" tanya Raya.
"Raya, ini adalah abad ke-21, kita memiliki ponsel pintar, jadi ibu bisa tetap mengawasi perusahaan kita melalui sebuah benda kecil seukuran telapak tangan ini," kata Tamara.
"Lupakan saja soal semua itu. Sekarang, mari bahas si pembantu baru itu, kenapa dia lancang sekali? Setidaknya meskipun dia tidak mengenalku, dia bisa menghormatiku sebagai orangtua, berani sekali dia membentakku," lanjut Tamara.
"Karin memang agak berbeda. Orang sepertinya tidak usah dimasukkan ke hati kata-katanya," ujar Ny. Zemira.
"Yah, ibu akan paham setelah beberapa hari mengenalnya," tambah Raya.
"Kalian mengobrol saja dulu, ya, aku akan suruh Indira untuk membuatkan kalian jus. Ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu harus memiliki waktu mereka sendiri," ucap Ny. Zemira.
"Tidak usah, ibu. Mungkin sebaiknya kami mengobrol di kamarku saja. Ibu Tamara pasti lelah, jadi dia bisa sekalian istirahat di kamarku," ujar Raya.
"Ok, baiklah."
"Ayo, ibu." Raya mengajak Tamara untuk pergi ke kamarnya.
Sesampainya di kamar Raya, ibu dan anak itu langsung berbincang lagi.
"Kamar ini terasa sangat sepi tanpa Rasyid, ya?" tanya Tamara.
"Aku justru menikmati kesepian ini," ucap Raya.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" sambung Raya.
"Apa?" Tamara bertanya balik.
"Aku tahu ibu menyembunyikan sesuatu dariku."
'Bagaimana dia bisa tahu?' batin Tamara.
"Raya, kau ini bicara apa?"
"Ayolah, ibu. Ceritakan saja."
"Apa yang harus kuceritakan padamu jika tidak ada yang kurahasiakan darimu?"
"Lalu untuk apa ibu datang ke sini? Pernikahannya masih dua belas hari lagi. Dan ibu tidak pernah merindukanku, karena ibu tidak pernah lagi menginginkanku, kan?"
"Aku benar-benar merindukanmu sekarang, lagi pula aku ingin bertemu dengan cucuku, selama ini aku belum pernah bertemu dengannya."
"Aku tidak akan berhasil ditipu sampai dua kali, ibu. Dulu ibu pernah berbohong padaku tentang hasil tes kejiwaanku, dan aku berhasil mengetahuinya sampai membuat ayah terkejut hingga akhirnya kondisi ayah drop dan tidak pernah membaik sampai dia mati. Kematian ayah adalah hal yang paling ibu sayangkan, bukan? Kecuali mungkin pernikahanku."
"Ibu tidak merahasiakan apapun darimu, Raya."
"Katakan saja, apa yang terjadi dengan toko-toko mebel kita?"
"A-apa?" Tamara berpura-pura heran.
"Ibu ketahuan. Sesuatu yang buruk telah terjadi."
"Kau ini bicara apa?"
"Ibu, toko mebel kita memiliki banyak cabang, memantaunya hanya dari ponsel selama dua belas hari itu tidak mungkin, kecuali ibu memiliki beberapa orang terpercaya, tapi ibu tidak punya. Jadi katakan saja apa yang terjadi."
Tamara lalu menghembuskan nafasnya. "Baiklah, aku berbohong padamu. Ya, ada sesuatu yang membuatku akhirnya datang ke sini, sebenarnya aku berencana untuk tinggal di sini seterusnya."
"Apa?"
"Aku ... Aku menikah lagi beberapa bulan setelah kau pindah ke sini."
"Apa?" Raya mengernyitkan dahinya, ia terlihat sedih sekarang.
"Dan pria itu merebut semuanya dariku."
"Ibu-"
"Tapi percayalah, aku akan merebut semuanya lagi darinya, ini hanya sementara, aku membutuhkan harta keluarga ini untuk merebut semua itu lagi, dan aku membutuhkan bantuanmu."
"Ibu menghancurkan semuanya."
"Aku tahu, aku tahu, barusan aku menjelaskan bagaimana caranya kita bisa mendapatkan segalanya lagi, dan aku berjanji kalau hal itu akan terwujud."
"Ibu pengkhianat." Raya menangis.
"Apa?" lirih Tamara.
"Ibu egois. Ibu buruk, benar-benar buruk."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Semuanya, semua ini terjadi karena ibu. Ibu merahasiakan hasil tes kejiwaanku dulu dan membuat kebahagiaan yang palsu di keluarga kita, tapi aku tidak bahagia. Aku seperti bukan anak ibu, terkadang aku berpikir, siapa wanita yang sebenarnya melahirkanku? Kenapa ibu memperlakukanku dengan sangat buruk? Pukulan, tamparan, cubitan berdarah, jambakan yang membuat rambutku hampir habis, itu tidak manusiawi sama sekali. Ibu seakan menganggpku sampah sejak tes kejiwaan itu, ibu tidak memovitasiku saat aku terpuruk dan berusaha untuk bunuh diri ketika Rasyid menolakku dulu, ibu malah terus menyudutkanku. Kemudian hasil tes kejiwaanku yang sebenarnya terbongkar, dan berujung pada kematian ayah. Ayah menyerahkan perusahaan kepada ibu, dan dengan kepergianku ke sini, kupikir ibu akan senang dan menjalankan amanat ayah dengan baik, tapi ibu justru mengkhianatinya, ibu menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuanku. Sekarang ibu datang karena ibu dikhianati oleh pria itu. Apa yang sebenarnya ibu inginkan?"
"Tidak! Ini semua salahmu!"
"Aku adalah korban di keluarga kita! Dan ibu menciptakan situasi yang buruk! Ibu tidak pernah menjadi manusia yang baik!"
"Kau keterlaluan, Raya. Aku ini ibumu!"
"Dan aku anakmu! Apa aku pernah diperlakukan sebagai anak oleh ibu sejak tes kejiwaan itu?! Tidak! Ibu malu! Ibu malu denganku!"
"Raya, turunkan nada bicaramu!"
"Aku bisa mengusir ibu kapanpun dari sini. Aku tahu, aku lebih senang jika melihat ibu menjadi gila di pinggir jalan. Jadi, jangan macam-macam padaku kali ini, aku bukan lagi anak kecil ingusan yang dulu sering ditindas oleh ibunya sendiri. Lagi pula, ibu tidak benar-benar mengenalku," pungkas Raya, ia lalu keluar dari kamarnya.
"Dia adalah ancaman bagi semua orang, termasuk bagiku. Rasyid mungkin lupa bahwa dia pernah menolak seorang gadis dulu, tapi Raya datang lagi untuk membantai mereka semua. Raya tidak pernah menceritakan hal ini padaku karena dia takut kalau aku akan semakin menjauhinya, tapi sepertinya sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Kupikir aku bisa merebut seluruh harta keluarga ini untuk mendapatkan semua yang pernah menjadi milikku dengan bantuan Raya yang kupikir akan senang apabila aku mendukungnya untuk membantai mereka semua. Tapi aku salah, Raya justru membenciku, dia sudah bisa berpikir, dia tidak seperti dulu lagi. Ini akan sulit, tapi aku sepertinya harus melakukan semuanya sendiri. Raya mengangguku untuk mendapatkan apa yang kumau, jadi kurasa aku harus menyingkirkannya dulu. Anak ini semakin menjijikkan saja," gumam Tamara.