Jhana melihat Kevlar yang sedang menunggunya di pinggir hutan, dan ia pun menghampiri pria itu.
"Tidak kusangka kau akan datang," ucap Kevlar.
"Langsung ceritakan saja tentang dirimu, siapa kau sebenarnya?" tanya Jhana.
"Hei, aku bilang aku akan menceritakan tentang gambar itu, bukan tentang hidupku. Lagi pula, dengan membongkar kedokku sendiri di hadapanmu waktu itu bukan berarti aku akan buka-bukaan tentang diriku padamu."
Jhana lalu terdiam.
"Ada yang menolongmu semalam, kan? Katakan padaku, siapa orangnya? Siapa yang berkhianat di mansion itu?" tanya Kevlar.
"Orang bisa dikatakan sebagai pengkhianat saat bekerja sama denganmu, bukan denganku," ujar Jhana.
"Katakan saja!"
"Kenapa? Kau ingin melakukan sesuatu padanya juga?"
"Itu bukan urusanmu!"
"Ok, ceritakan tentang gambar itu dulu, kenapa kau menggambar itu? Gambaran kejadian apa itu?"
"Gambar itu adalah tentang masa kecilku. Sekarang katakan padaku, siapa orang yang membantumu?"
"Masa kecilmu? Apa dua iblis itu orangtuamu? Kau gila atau bagaimana?"
"Cukup bagiku untuk bercerita, sekarang giliranmu."
"Tidak, aku tidak akan menjawabmu, jawabanmu tidak memuaskanku."
"Tentu kau harus menjawabku."
"Perjelas jawabanmu, baru aku akan menjawabmu."
"Kau jangan mempermainkanku Jhana."
"Itu terdengar seperti lelucon, asal kau tahu saja. Sampai disini saja, kau membuang waktuku."
Kevlar lalu menarik tangan Jhana yang hendak berbalik badan.
"Lepaskan aku," pinta Jhana.
"Jika kau tidak memberitahuku siapa orang yang telah membantumu, maka aku pastikan kau berakhir sekarang juga," ancam Kevlar.
"Memangnya apa urusanmu dengannya?! Jangan melibatkan dia dalam semua ini!"
"Kau yang membuatnya terlibat!"
Jhana lalu menggunakan kesempatan ini untuk melepaskan dirinya dari Kevlar.
"Hei! Hei! Hei!" Kevlar berusaha meraih tangan Jhana lagi, namun ia gagal, Jhana berhasil kabur darinya.
Di rumah makan Populer, jam istirahat Salma usai, kini giliran Arvin yang beristirahat. Wajah Salma terlihat stress dan bingung di saat bersamaan, hal ini pun mengundang pertanyaan dari sang kekasih.
"Ada apa?" tanya Arvin.
"Aku tadi pergi mencetak brosur untuk usaha bibiku, kami sudah membicarakan tentang bisnis itu tadi pagi dan bibiku tertarik, terima kasih kepada kak Yahya yang memberikan saran untuk menjual brownis-brownis itu melalui brosur, tapi tidak kusangka mencetak brosur itu sangat ribet," jawab Salma.
"Kenapa?"
"Ya, awalnya kupikir aku hanya tinggal datang ke tempat digital printing, lalu minta dicetak sekian brosur dan bayar, kemudian pada hari berikutnya brosur-brosur itu sudah bisa kuambil dan kusebar, tapi ternyata aku juga harus mendesign brosur yang akan dicetak, sedangkan aku bahkan tidak pandai menggambar dan berimajinasi. Itu membuatku pusing."
"Tapi kau sudah menyelesaikannya, kan?"
"Ya, dan rasanya aku baru saja lolos dari maut."
"Hahaha, aku bangga padamu. Aku pergi dulu."
Salma lantas hanya tersenyum tanpa peduli tujuan Arvin yang akan menemui Khansa. Ia selalu berpikir positif tentang pria itu.
Sementara itu, Jacob sudah kembali, dan seharusnya hari ini Juliet kembali tinggal bersamanya dan Jasmine sendiri lagi. Ia mendengar sebuah ketukan dari pintu depan rumahnya, pria berusia pertengahan-30 itu pun lantas membuka pintu tersebut dan mendapati Jasmine sedang berada di hadapannya.
"Dimana Juliet?" tanya Jacob, wajah Jasmine menggambarkan bahwa ia sedang khawatir dan ketakutan.
Di lain tempat, bibi Vey sedang membantu Joshua belajar berjalan lagi, meksipun tak sesulit ketika mengajarinya saat bayi, tapi tubuh Joshua yang lebih besar dari wanita yang sudah seperti ibunya itu tentu saja menyulitkan bibi Vey untuk membantunya.
Meski bukannya sulit bagi Joshua untuk kembali lancar berjalan karena tidak ada luka yang parah pada kakinya, ia tetap membutuhkan bantuan bibinya. Kegiatan ini jadi rutin mereka lakukan di rumah setiap bibi Vey selesai melakukan pekerjaan rumah.
Namun tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu rumah mereka.
"Duduklah dulu sambil menikmati tehmu, aku akan membuka pintunya dan melihat siapa yang datang," ucap bibi Vey.
"Berlama-lama saja, bibi. Aku sedikit lelah," ujar Joshua.
"Belajar berjalan serasa lomba lari bagimu, ya?"
"Mau bagaimana lagi? Luka dan memarku paling banyak pada bagian kaki."
Bibi Vey lalu tersenyum. Ia lantas meninggalkan Joshua di ruang TV.
Wanita tua itu kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya. Betapa terkejutnya bibi Vey saat ia melihat Jacob dan Jasmine yang datang ke rumahnya. Bibi Vey secara refleks kembali menutup pintu sembari membantingnya, hal ini tentu membuat Joshua terkejut.
"Ada apa, bibi? Siapa yang datang?" tanya Joshua.
"Tidak ada, nak, hanya ada beberapa anjing yang bermain di halaman rumah kita. Kau tahu kan bagaimana takutnya aku pada anjing?" jawab bibi Vey yang tampak sangat terkejut.
"Oooh."
'Apa yang mereka lakukan disini?!' batin bibi Vey. Jacob dan Jasmine hanya bisa diam ketika bibi Vey bersikap benar-benar tidak menerima kehadiran mereka.
Namun hal mengejutkan terjadi: bibi Vey membuka pintunya lagi dan kali ini ia keluar menghadap ke kedua keponakannya itu, ia lalu menutup pintu lagi agar Joshua tidak bisa mendengar mereka.
"Jika ada yang ingin kalian bicarakan, mari bicara di sana," kata bibi Vey sambil menunjuk pojok halaman rumah itu. Mereka bertiga kemudian berjalan ke arah sana.
"Apa?"
"Engh ..." Jacob terlihat bingung untuk menjelaskan semuanya.
"Jika tidak ada yang ingin kalian bicarakan, pergilah. Jangan membuang waktuku untuk hal yang tidak penting, aku sedang membantu keponakanku belajar berjalan lagi," tegas bibi Vey.
"Ada apa dengan Joshua?" tanya Jasmine.
"Apa pedulimu? Dia adik tiri kalian, kan? Pergilah sebelum kusiram wajah kalian dengan muntah kucing."
"Bibi ... Sebenarnya, ada hal yang ingin kami tanyakan," ucap Jacob.
"Siapa bibimu? Apa disini ada bibimu? Di mana? Aku tidak melihatnya," ejek bibi Vey.
"Maksudku ... Kau, bibi."
"Aku? Apa aku ini bibimu? Sejak kapan? Apa kau lupa kalau kalian berlima membuangku bersama Joshua sebelas tahun lalu? Kalian membuang kami dengan cara yang hina, lalu mencoret nama kami dari daftar keluarga dan merebut segala hak kami pada harta warisan. Dan sebelum semua itu, kalian menjadikan kami sebagai pembantu. Wow, semuanya terasa sangat berbeda sekarang, ada dua di antara kalian yang datang kepadaku, sepertinya untuk meminta maaf, tapi sayangnya aku tidak akan pernah memaafkan manusia seperti kalian. Pergi kalian dari sini, sebelum ancamanku benar-benar kulakukan, disini banyak kucing, dan setiap hari selalu ada kucing yang muntah."
"Tapi, bibi, kami hanya ingin menanyakan keberadaan Juliet."
"Ada apa dengan yang satu itu? Diculik? Hilang? Dan kalian kesulitan untuk mencarinya? Kenapa kalian membutuhkanku disaat kalian sedang dalam kesulitan? Kenapa tidak kalian hubungi saja saudara-saudara kalian yang lain?"
"Aku tidak tahu, ketika aku bangun tidur tadi pagi, dia sudah tidak ada di rumah," ucap Jasmine.
"Lalu apa urusannya denganku?"
"Satu-satunya keluarga kami yang tinggal di Jogja saat ini hanyalah bibi dan Joshua, jadi kami pikir, mungkin Juliet lari kesini," papar Jacob.
"Aku dan keponakanku keluarga kalian?"
Jacob dan Jasmine lantas terdiam.
"Hei, kalaupun dia datang kesini, aku tidak akan menerimanya. Sekarang dia menghilang, kalian meminta bantuanku. Sekarang kutanya pada kalian, apakah aku di undang saat pernikahannya? Aku memang tidak akan datang meskipun aku di undang, tapi niat baiknya untuk mengundang aku sama sekali tidak ada. Jadi untuk apa aku membantu kalian mencarinya sekarang? Lagi pula dia sudah punya suami," sambung bibi Vey.
"Sebenarnya dia sedang dalam proses perceraian sekarang, makanya akhir-akhir ini dia agak stress," jelas Jasmine.
"Bagus, aku senang dengan hal itu, jadi kalian bisa mengerti bagaimana karma itu bekerja."
"Awalnya kami pikir dia ada di sini, tapi ternyata tidak. Kak Jamal dan kak Johan tidak bisa dihubungi, salon dan spanya tutup, dan kami kehabisan tempat untuk mencarinya, jadi, maaf jika kami menganggu dan membuang waktumu, bibi," ujar Jacob.
"Bibi! Bibi Veyani!" Joshua berteriak dari dalam, ia keluar sambil memegangi dinding agar tidak terjatuh.
"Astaga, disitu bibi rupanya, aku mencarimu ke mana-mana," sambung Joshua, ekspresi wajahnya langsung berubah ketika ia melihat 2 kakak tirinya sedang bersama sang bibi. Sementara Jacob dan Jasmine terkejut melihat keadaan Joshua.
"Kalian bisa keluar dari sana," kata bibi Vey pada Jacob dan Jasmine.
"Di mana anjing-anjingnya, bibi?" tanya Joshua dengan nada suara yang sedih. Bibi Vey lalu menghampirinya.
"Aku pikir kau mengerti, sekarang, masuklah," ujar bibi Vey.
"Mereka saudaraku, bukan binatang."
Bibi Vey sontak terkejut mendengar pernyataan Joshua, begitu pula dengan Jacob dan Jasmine.
"Mereka bukan siapa-siapa, nak. Mereka sendiri yang mencampakkan kita, jadi berhentilah berharap kalau semuanya akan terjadi sesuai yang kau mau. Mereka tidak datang untuk memperbaiki semuanya, bahkan mereka tidak datang untuk meminta maaf," kata bibi Vey.
"Tapi mereka juga manusia, kami lahir dari satu rahim yang sama, dan sangat tidak pantas apabila bibi menyamai mereka dengan anjing." Joshua terlihat tidak terima dengan sikap bibi Vey.
Mendengar hal itu, bibi Vey mulai berkaca-kaca matanya. "Manusia mana yang tega membiarkan bibinya dan adiknya kelaparan? Manusia mana yang tega membiarkan bibinya dan adiknya kehujanan karena tidak memiliki tempat tinggal? Manusia mana yang tega marampas semua barang milik bibinya dan adiknya kecuali pakaian mereka? Aku bertanya padamu, manusia mana? Tidak ada. Kau benar, mereka tak pantas untuk disamakan dengan anjing, karena anjing saja tahu bagaimana keluarga seharusnya diperlakukan, tapi mereka tidak. Bagaimana bisa kau lupa tentang setiap luka yang mereka buat di hati kita? Bagaimana bisa kau-? Ah, kau masih terlalu kecil saat itu, kau tidak bisa memahami perasaanku."
Joshua kemudian teringat saat dirinya masih belum genap berusia 12 tahun, ia dan bibinya diusir pada tengah malam di bawah hujan dengan sebuah tas yang berisi pakaian mereka. Malam itu, mereka diusir oleh 5 saudara yang benar-benar kompak, karena kelimanya berkumpul hanya untuk mengusir 1 wanita tua dan 1 anak kecil.
Selanjutnya, Joshua sakit karena kehujanan, jadi bibi Vey harus segera mendapatkan sebuah pekerjaan, apapun itu, asalkan bukan pekerjaan yang hina. Bibi Vey diterima sebagai tukang cuci baju yang hanya digaji Rp. 5000 sehari, namun sang majikan menanggung biaya makan dan tempat tinggal. Dari situ, mereka berdua menata ulang kehidupan mereka. Sampai akhirnya, saat ini, 11 tahun setelah semua itu, setidaknya kehidupan mereka sudah jadi lebih baik meskipun kondisi ekonomi mereka belum benar-benar bagus.
"Nak, mereka tahu alamat rumah kita ketika mereka sedang dalam masa sulit, tapi ketika mereka sedang berpesta, bersenang-senang di acara pernikahan Juliet, mereka tidak tahu di mana rumah kita, dan sekarang Juliet menghilang, mereka mencarinya sampai ke sini. Harus kusamakan dengan apa mereka?" lirih bibi Vey, air matanya mulai menetes.
Tangan Joshua lantas meraih tangan bibi Vey. Ia mengusap tangan kasar itu, yang menandakan kalau bibi Vey sudah sangat banting tulang untuk memastikan mereka berdua bertahan hidup. Joshua kemudian memeluk bibinya itu dengan erat. Bibi Vey lalu masuk ke dalam rumah usai menerima pelukan dari Joshua.
"Kalian bisa keluar melalui pagar itu, jangan lupa tutup pagar itu setelah kalian keluar," ucap Joshua pada Jacob dan Jasmine. Joshua lantas menutup pintu rumahnya.
"Sudah kukatakan padamu, seharusnya kita ke mansion Dhananjaya saja!" ujar Jasmine pada Jacob.
"Tidak, kita tidak akan ke sana!" sergah Jacob.
"Kenapa? Ada apa denganmu?"
"Kita sudah mendatangi semua tempat yang kemungkinan menjadi tempat Juliet berada, tapi ternyata Juliet tidak ada di semua tempat yang kita datangi, jadi, ya, kemungkinan dia sedang berada di mansion Dhananjaya sekarang."
"Kalau begitu, ayo kita jemput dia."
"Jangan, sebaiknya kita biarkan dia menenangkan dirinya di sana. Kita juga harus menenangkan diri setelah semua ini."
"Kau merasa itu yang terbaik baginya?"
"Ya, aku yakin itu."
"Baiklah, aku akan mengikutimu."
Mereka berdua lalu pergi dari rumah tersebut, dan tanpa mereka ketahui, sebenarnya Juliet juga tidak ada di mansion Dhananjaya. Entah di mana wanita itu berada sekarang, tidak ada yang mengetahui keberadaannya.