Arvin baru saja keluar dari kamar mandi, lalu masuk ke ruang tamu dan melihat seluruh anggota keluarganya tengah berkumpul, menaruh perhatian pada Ny. Zemira yang tengah mengoleskan balsem ke daerah tulang ekor Gusiana.
"Bagaimana rasanya?" tanya Ny. Zemira pada Gusiana.
"Jauh lebih baik dari sebelumnya, terima kasih," jawab Gusiana. Ny. Zemira lalu menutup balsem yang dipegangnya. Tak lama kemudian, Salma masuk dan saling melirik dengan Arvin. Mereka diam, tapi aksi saling tatap menatap itu membuat pikiran mereka berkecamuk.
'Kenapa dia menatapku?' batin Arvin.
'Dia ada disini? Tapi kenapa aku tidak melihatnya tadi? Apa dia memang menunggu disini dan tidak keluar untuk melihat apa yang terjadi?' batin Salma. Salma lalu melontarkan senyuman pada Arvin, senyuman itu kemudian dibalas oleh Arvin.
"Engh, anu ... aku ingin meminta maaf karena telah membentak-bentak pembantumu tadi, aku tahu kalau aku sama sekali tidak berhak memarahinya, eh, bukan tidak berhak, tapi belum berhak," ucap Gusiana pada Ny. Zemira.
"Tidak apa. Dia menabrakmu, kan? Jadi kau pantas memarahinya. Lagi pula, dia memang pantas untuk dibentak sesering mungkin," ujar Ny. Zemira sembari tersenyum.
Salma dan Gusiana lantas mengernyitkan dahi mereka. "Kenapa?" tanya Gusiana.
"Dia pekerja baru disini, belum genap dua minggu dia bekerja disini, tapi tingkahnya sudah bisa membuat semua orang merasa muak padanya," jawab Ny. Zemira.
"Lalu, kenapa kau tidak memecatnya saja?"
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Akan sangat panjang jika dijelaskan, namun semua anggota keluargaku sudah tahu alasanku, jadi, kau hanya perlu waktu untuk bisa paham tanpa harus kujelaskan, seperti mereka."
"Aku rasa kak Karin tidak memuakkan. Dia hanya tidak sengaja menabrak bibi, kan? Kenapa hal itu membuat kalian muak padanya?" timpal Salma.
"Ok, mari bahas hal yang lain. Lupakan Karin. Ini sudah agak siang, aku takut terlambat masuk kerja, jadi, kenapa tidak kita mulai saja sarapan pagi ini?" kata Arvin.
"Tapi, browniesnya tersisa dua kotak dari empat kotak," ujar Gusiana yang khawatir.
"Tidak apa, itu lebih dari cukup, tidak usah memikirkan hal itu, anggap saja sejak awal kau memang membuat dua loyang. Karin tak lebih dari sekedar bisikan setan," ucap Ny. Zemira.
"Baiklah."
Ny. Zemira tersenyum. "Ayo kita ke ruang makan dan berkenalan disana."
Mereka kemudian bubar dari pergi ke ruang makan, namun Salma menahan Arvin, dan Raya menyadari hal itu.
'Astaga, bibi dan keponakannya sama saja. Sama-sama menjijikkan, sama-sama norak, dan sama-sama pemain drama,' batin Raya sambil memutar sempurna kedua bola matanya. Ia lantas melanjutkan langkahnya, karena ia sadar kalau dirinya menjadi ganjalan yang membuat Salma menahan diri untuk berbicara pada Arvin.
"Apa?" tanya Arvin pada Salma setelah Raya pergi. Namun Salma terlihat ragu untuk menjawab.
"A-aku ..."
"Kau kenapa?"
"Tidak jadi," kata Salma, ia lalu berniat untuk pergi ke ruang makan.
"Katakan padaku, apa ada hal yang mengganggumu?" tanya Arvin, ia masih belum menyerah.
'Arvin, andai kau tahu, bahwa hal yang menggangguku berasal dari dirimu. Tapi entah kenapa aku tidak sanggup mengatakannya. Aku takut kau tersinggung,' batin Salma.
"Ada," jawab Salma.
"Apa? Katakan padaku, biarkan aku menuntaskan masalahmu."
"Yah, sebenarnya aku juga ingin kau membantuku, tapi, aku lupa ingin mengatakan apa."
Mendengar hal itu, Arvin pun langsung tertawa terbahak-bahak.
"Astaga, kau ini," ujar Arvin.
"Hei, aku lupa ingin mengatakan hal apa, dan hal itu pasti penting, dan kau malah tertawa," protes Salma.
"Baik, baik. Aku minta maaf, gadis polos yang tidak polos."
"Iih! Kau menyebalkan!" gerutu Salma, ia lalu pergi ke ruang makan, meninggalkan Arvin yang melanjutkan tawanya.
'Maafkan aku, aku berbohong padamu,' batin Salma.
Ya, Salma berbohong. Salma berbohong pada Arvin untuk kebaikannya dan yang lainnya. Bagaimana Salma bisa lupa kalau sebenarnya ia ingin menanyakan pada kekasihnya itu tentang Arvin yang tidak menjemputnya dan Gusiana? Bagaimana Salma bisa lupa kalau ia sebenarnya ingin mempertanyakan keberadaan Arvin ketika Gusiana membentak-bentak Jhana tadi?.
2 pertanyaan itu, adalah pertanyaan yang tidak akan bisa Salma lupakan sepanjang hidupnya, sebab 2 pertanyaan itu adalah 2 pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah bisa terjawab seumur hidupnya. Salma bukannya tidak mau mempertanyakan kedua hal itu pada Arvin, ia hanya menjaga perasaan pria itu, sebab Neneknya telah mengatakan bahwa pendapat setiap orang berbeda. Jika menurut Salma ia layak mempertanyakan kedua hal itu, belum tentu Arvin merasa kedua hal itu layak untuk dipertanyakan Salma padanya. Jadi Salma memilih untuk memendam 2 pertanyaan itu jauh di dalam pikirannya.
Salma memberikan jawaban yang tidak benar pada Arvin itu hanya agar Arvin tidak merasa kalau Salma sedang marah padanya, dan jika Salma menjawab 'tidak ada' tadi, kemungkinan suasana diantara mereka akan menjadi berbeda. Mungkin Arvin akan sedikit menjauhi Salma dan membiarkan kekasihnya itu menyelesaikan masalahnya sendiri--menurut pikiran Arvin-- dan membuat Salma semakin heran dengan perubahan sikap Arvin. Dan hal itu bisa saja menjadi keberuntungan bagi Khansa.
Mungkin yang dihindari Salma hanya keributan yang bisa saja terjadi apabila dirinya menghindar dari pertanyaan Arvin, jadi ia berpura-pura lupa agar suasana antara dirinya dan Arvin bisa kembali seperti semula dengan Arvin yang tidak akan mempertanyakan hal itu lagi padanya. Meskipun kedua pertanyaan itu masih menganggu pikiran Salma.
Sementara itu, di halaman depan, Jhana berniat untuk mengutip brownies-brownies Gusiana yang jatuh, namun Jaya melarangnya.
"Eh! Eh! Biar aku saja, tugasku adalah membersihkan wilayah ini. Kau lanjutkan saja pekerjaanmu di dalam," ucap Jaya.
"Tapi ini adalah tanggung jawabku," ujar Jhana.
"Sudah, ikuti saja kata-kataku. Pergilah."
"Baiklah." Jhana kemudian masuk kedalam.
"Ayo kita susul ibu," kata Fina pada Mona.
"Jangan," sanggah Mona.
"Kenapa?"
"Biarkan ibu menenangkan dirinya. Amarah wanita tua itu sangat mengganggu."
Fina lantas mendengkus. "Baiklah."
Saat hari semakin mengarah ke siang, mansion Dhananjaya mulai ditinggal pergi oleh para anggota keluarga pemiliknya. Termasuk Salma dan Arvin yang kini tengah berdua di dalam mobil Arvin, dalam perjalanan menuju rumah makan Populer. Agaknya Salma mulai melupakan tentang hal-hal yang menganggunya mengenai Arvin, dan ia memulai percakapan yang normal.
"Boleh aku bertanya?" ucap Salma.
"Kenapa tidak?" ujar Arvin.
"Kenapa kalian semua membenci kak Karin? Apa kesalahannya?"
"Hmm, kami memiliki alasan masing-masing, jadi kau langsung tanyakan saja satu persatu pada orang-orang yang ingin kau tahu alasannya."
"Kau tidak tahu alasan mereka?"
"Aku bahkan tidak mengerti kenapa mereka juga ikut-ikutan membenci Karin."
"Loh?"
"Dia tidak melakukan kesalahan apapun, Salma, hanya saja tingkahnya membuat kami muak. Mungkin permainannya agak halus, tapi satu persatu diantara kami akan merasakan sikapnya yang agak aneh."
"Apa yang membuatmu membencinya?"
"Sebenarnya aku hanya tidak suka padanya, bukan membencinya."
"Kupikir itu sama. Argh, jawab saja pertanyaanku."
"Dia pernah menguping pembicaraanku dan ibuku, dan hal itu sudah tentu sangat tidak sopan. Hal itu yang membuatku tidak menyukainya," jelas Arvin.
Salma kemudian terdiam.
"Kau benar, menguping pembicaraan orang memang sebuah tindakan yang tidak ada sopan-sopannya. Tapi, nenekku berkata, kalau setiap orang memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda. Jadi, jika menurut kita menguping pembicaraan orang lain itu adalah yang tidak sopan, mungkin bagi kak Karin tidak," kata Salma.
"Nenekmu benar. Mungkin aku tidak akan tidak terlalu menyukainya jika isi pembicaraanku dan ibuku berbeda dari yang kami bicarakan hari itu," ucap Arvin.
"Apa maksudmu?"
"Pembicaraan kami bersifat privasi. Pembicaraan itu seharusnya hanya boleh diketahui oleh ibuku dan aku saja, kami tidak akan memberitahu siapapun tentang isi pembicaraan kami. Dan Karin menguping."
"Rahasia antara ibu dan salah satu anak laki-lakinya?"
"Kupikir bisa dibilang begitu, meskipun pada kenyataannya topik pembicaraan kami saat itu tidak hanya tentang kami berdua."
"Jika pembicaraan kalian tidak bersifat publik, lalu bagaimana kak Karin bisa menguping? Maksudku, pembicaraan yang bersifat privasi akan dilakukan ditempat yang bersifat privasi juga, kan?"
"Yah, soal itu, aku dan ibuku berbicara di ruang makan saat itu."
"Jadi kenapa kau mengatakan kalau pembicaraan kalian bersifat privasi?"
"Pembicaraan itu terjadi secara tidak sengaja, saat kami hanya berdua berada di ruang makan."
"Setidaknya pastikan dulu kalau ruangan itu aman dari siapapun, kan? Kau tidak boleh menyalahkannya sepenuhnya, karena dia bisa mendengar pembicaraan bibi Zemira dan kau itu juga salahmu."
"Ya, mungkin itu salahku," ujar Arvin dengan nada yang rendah.
'Andai kau tahu bagaimana situasinya saat itu,' batin Arvin.
Sementara itu, di mansion Dhananjaya, pada bagian lantai 2, Bunga dan Raya bertemu ketika Bunga baru saja turun dari lantai 3, kebetulan Raya baru keluar dari kamarnya. Memang sejak Bunga pulang dari rumah Jasmine kemarin, ia dan iparnya itu tidak saling bicara sama sekali, padahal biasanya mereka sangat kompak, tidak peduli jika Raya sebenarnya bukan siapa-siapa lagi di mansion tersebut, sebab hanya Arka lah yang membuat Raya bisa bertahan di mansion itu. Tapi sejak Bunga merasa kalau Raya agak mengerikan dengan rencana-rencana pembunuhannya, Bunga sedikit menjauhinya.
Dan sekarang, mereka berhadapan.
Bunga berusaha mengalihkan pandangannya dari Raya, dan Raya tampaknya paham akan hal itu. Bukannya merasa risih, Raya justru menyikapi sikap Bunga dengan tenang dan merasa lucu dengan hal itu. Ia kemudian turun ke lantai 1.
"Kenapa dia tersenyum?" gumam Bunga.
Di dapur, Kania terlihat sibuk membuat 2 gelas jus. Wanita paruh baya itu ditemani oleh Jhana yang hanya menjadi penonton, namun Jhana tak melihatnya.
"Karin, bisa aku meminga bantuanmu?" tanya Kania.
"Ya, apa?" tanya Jhana balik.
"Bisa kau antar ini ke ruang tamu?" ucap Kania sembari memberikan sebuah nampan berisi 2 gelas jus yang siap diminum.
"Ruang tamu? Tapi, bukannya di ruang tamu ada Nyonya Zemira dan Nyonya Gucci?"
"Ya, jus-jus ini memang untuk mereka."
"Aku bisa mengantarnya sebenarnya, tapi, mengingat kejadian tadi pagi, aku ragu kalau jus ini akan diminum oleh Nyonya Gucci."
"Lupakan kejadian itu. Kau sudah meminta maaf padanya, kan? Jangan merasa bersalah lagi."
"Apa kak Kania yakin?"
"Ya, tentu saja. Aku yang akan bertanggung jawab jika Nyonya Gucci tidak meminum jusnya."
"Tapi masalah yang sebenarnya bukan tentang jusnya."
"Aku tahu, aku tahu. Tapi, antar saja dulu."
"Ok, baiklah." Jhana lantas mengambil nampan tersebut dan pergi ke ruang tamu.
Dan di ruang tamu, Gusiana larut dalam perbincangan dengan Ny. Zemira. Mereka terlihat sangat akrab, meskipun baru beberapa jam saling mengenal.
"Ahahaha. Salma memang terkadang polos, tapi dia Beauty and the Beast," ujar Gusiana.
"Hah?" kata Ny. Zemira seraya mengernyitkan dahinya.
"Engh, apa? Maksudku, cantik. Iya, Salma itu cantik, kan?"
"Tentu, dia juga baik hati."
'Astaga, bisa gawat jika aku berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan sembarangan pada anggota keluarga ini. Salah sedikit saja, mereka pasti tahu,' batin Gusiana.
Disaat Gusiana ingin melanjutkan pembicaraan, datanglah Jhana dengan nampannya + rasa gugupnya akibat Gusiana dan Ny. Zemira menyadari keberadaannya ketika ia baru sampai di pintu. Raya yang kebetulan baru turun, memutuskan untuk memperhatikan drama apa yang akan terjadi selanjutnya.